Terlalu bodoh tuk mengerti. Aku memang bodoh. Terlalu banyak hal yang kulihat namun tak dapat kuserap dengan baik. Banyak hal mengawang, tak ada satu pun yang kutangkap. Penat. Beban rasanya bertumpuk di kala diri merasa sok kuat, sok hebat. Inilah aku.
Otakku kah yang menyusut atau dunia yang makin memuai? Serasa terlalu sempit untukku mengolah lagi liku dunia. Padahal dengan perbandingan manusia, aku baru saja akan memulai puncak kejayaan. Banyak hal yang tak penting, larut kupikirkan. Banyak pula hal yang penting dan malah luput dari pandangan.
Dunia memang berubah. Otak ini tak seencer dulu lagi. Membrannya tak lagi berongga untuk dapat menyerap waktu. Seseorang yang dulu dekat, kini menjauh. Hingga tak nampak jejaknya yang pernah mendampingiku. Janji yang telah menculiknya. Menculiknya dari kubikel waktu yang dulu sebagian besar kami isi bersama. Dia berubah, dari sosok yang dulu kukagumi setengah mati, menjadi sosok yang kupandang sebelah mata, begitu juga di mata umum.
Tahukah kau, tingkah lakumu begitu mencolok? Justru kelenyapanmu yang begitu menumpuk membuat orang tak acuh akan dirimu. Sadarkah? Aku tak tahu mana jalan yang sungguh-sungguh benar, jalanku atau jalanmu. Adakah jalan ini akan menyatu lagi di waktu yang tak pernah kita duga kapan datangnya?
Banyak hal berlalu, banyak hal yang makin tak kutahu. Terpaku dengan mulut membulat sempurna, menatap orang-orang hebat yang tampil di depan maupun yang bicara di belakang. Dan aku berada di antaranya, hanya memandangi tanpa pernah bercampur.
Yogya, 27 Maret 2012
Di kerumunan yang mengucilkanku.
27 Mar 2012
18 Mar 2012
Bahagia
Secarik kata yang definisinya terlalu merancah syaraf. Memiliki kekuatan magis luar biasa yang membuat zat tersenyum karenanya. Suatu kata, yang tak bisa diterjemahkan. Hanya dapat dirasakan. Bagai menggapai bintang.
Lalu apa yang bisa menciptakannya?
Terlalu kisruh dan kaku rasanya bila diterangkan di alam teori. Apapun. Hal-hal kecil maupun besar bisa menciptakannya. Bahagia itu sederhana. Begitulah yang sedang tren didengungkan para pecinta dunia maya. Ini nyata. Cobalah ikuti serangkaian cara untuk bahagia berikut ini.
Nyamankan diri anda, bisa bersandar pada kursi yang empuk atau sekalian rebah di tempat tidur.
Tarik napas panjang dan bersamaan dengan itu, tutup mata anda.
Ketika mata anda tertutup sempurna, tarik lagi napas anda sambil rasakan setiap molekul oksigen menelusup saluran hidung anda. Ia berlari secepat mungkin sampai ke paru-paru dan bertukar dengan karbondioksida. Dan ketika anda melepaskannya, saat itulah sang Karbondioksida telah keluar.
Ulangi cara di atas, sambil bayangkan, bersamaan dengan oksigen yang anda hirup, wajah-wajah yang amat anda sayangi muncul dan tersenyum di hadapan anda. Mereka hadir, kemudian bertahan sepersekian detik sebelum lenyap bersama gas yang anda tukarkan.
Bagaimana? bisa mengukur kesederhaan perasaan Bahagia itu? Begitu pula yang orang lain rasakan terhadap anda. Kita tak pernah tahu cobaan seberat apa yang dilalui seseorang. Namun, selama mereka masih bisa bernafas, tersenyumlah pada mereka. Karena bahagia itu juga dapat menular dengan caranya sendiri. Cara yang sangat sederhana.
JANGAN LUPA praktekkan kepada kedua orang tua anda juga. Karena kebahagiaan mereka akan berlipat ganda saat anda bahagia. Terimakasih.
Ria R. Ramadan
18.03.2012
Lalu apa yang bisa menciptakannya?
Terlalu kisruh dan kaku rasanya bila diterangkan di alam teori. Apapun. Hal-hal kecil maupun besar bisa menciptakannya. Bahagia itu sederhana. Begitulah yang sedang tren didengungkan para pecinta dunia maya. Ini nyata. Cobalah ikuti serangkaian cara untuk bahagia berikut ini.
Nyamankan diri anda, bisa bersandar pada kursi yang empuk atau sekalian rebah di tempat tidur.
Tarik napas panjang dan bersamaan dengan itu, tutup mata anda.
Ketika mata anda tertutup sempurna, tarik lagi napas anda sambil rasakan setiap molekul oksigen menelusup saluran hidung anda. Ia berlari secepat mungkin sampai ke paru-paru dan bertukar dengan karbondioksida. Dan ketika anda melepaskannya, saat itulah sang Karbondioksida telah keluar.
Ulangi cara di atas, sambil bayangkan, bersamaan dengan oksigen yang anda hirup, wajah-wajah yang amat anda sayangi muncul dan tersenyum di hadapan anda. Mereka hadir, kemudian bertahan sepersekian detik sebelum lenyap bersama gas yang anda tukarkan.
Bagaimana? bisa mengukur kesederhaan perasaan Bahagia itu? Begitu pula yang orang lain rasakan terhadap anda. Kita tak pernah tahu cobaan seberat apa yang dilalui seseorang. Namun, selama mereka masih bisa bernafas, tersenyumlah pada mereka. Karena bahagia itu juga dapat menular dengan caranya sendiri. Cara yang sangat sederhana.
JANGAN LUPA praktekkan kepada kedua orang tua anda juga. Karena kebahagiaan mereka akan berlipat ganda saat anda bahagia. Terimakasih.
Ria R. Ramadan
18.03.2012
6 Feb 2012
The Diary
catatan sebelumnya: Diary pt 3 | Diary pt 2 | Diary pt 1
12 Juni 2011
Hari ini aku menemani Nisa berbelanja. Sudah lama kami tak bertemu. Aku sungguh bahagia bisa bertemu dengannya lagi. Sayangnya, raut bahagiaku yang kutunjukkan semaksimal mungkin, tetap terbaca aneh olehnya.
“Kamu kenapa sih Ri? Kok mukamu malah sedih gitu? Gak seneng ya, ketemu aku?”
“Ah, bukan. Bukan Begitu Nis. Aku hanya.. “
“Atau kau sedang terlalu lelah, kalau begitu seharusnya kau istirahat. Kan kita bisa belanja lain hari.”
“Hm, mungkin sedikit lelah. Tapi kalau istirahat sekarang nanggung. Kita selesaikan dulu belanja kita.”
“Hm, baiklah kalau itu maumu. Oya, lagipula kau belum menemukan gaun yang pas untuk pesta pernikahan kak Tyo kan?”
Ah, kenapa juga harus kausebut nama itu? “Ya. Baiklah, mari kita lanjut cari gaun.” aku menyeretnya keluar dari kafe bernuansa italia tersebut.
Aku akhirnya tertarik pada salah satu busana yang dipajang di sebuah butik. Setelah masuk, aku menuju kamar pas untuk mencobanya, sedangkan Nisa sibuk memilih aksesoris. Baru aku akan memasuki salah satu bilik yang terbuka, tanganku tiba-tiba ditarik paksa dan diseret ke suatu arah. Dalam sekejap aku sudah berada dalam pelukan seseorang dan nampaknya dia mengunci pintu bilik.
Aku mencoba mengangkat wajah, melihat siapa dia. Walaupun parfumnya sangat kukenal. Dan dugaanku terbukti. Pria ini adalah dia.
Tyo’s diary
12 Juni 2011
Lagi, aku melihatnya melenggang di hadapanku. Seketika perasaan rinduku bertumpuk dan membuncah luar biasa. Hingga tanpa kusadari, aku menarik tangannya dan bersembunyi di bilik tempatku mengepas pakaian tadi.
Kusadari perlahan gerakan di wajahnya. Ia menatapku. Lama, sangat lama. Aku pun menatap dalam kedua bola matanya. Kuselami tanpa menghiraukan waktu. Ada kerapuhan di sana. Sepercik kerinduan, aku tahu. Tapi aku masih tak yakin.
Kueratkan pelukanku dan kubenamkan wajahku di sela lehernya. Menghisap setiap wangi tubuhnya. Ya, wangi ini. Masih sama sejak sebulan lalu. Bahkan enam tahun lalu.
“Kak, lepaskan.” Tubuhnya menggeliat pelan. Aku menahannya dan malah semakin mengeratkan pelukanku padanya. Ia masih juga berusaha berontak.
“Biarkan. Untuk 10 menit saja. Kumohon.”
Perlawanannya melemah. Kurasa ia sebenarnya juga tidak mau berpisah.
Kurasakan nafasnya mulai teratur. Kuendus harum yang semerbak di bahunya. “Kak, jangan. Jangan begini. Ah!”
Tak lagi peduli dengan ocehannya. Aku terus melepaskan rinduku di jenjang lehernya. Hingga tangannya melepas sesuatu yang sedari tadi digenggamnya.
Aku berhenti dan mengambil barang yang jatuh itu. Sebuah gaun sutra warna putih dengan bordir merah di bagian leher dan pinggang. “Ini, untuk kaupakai? Memang mau ada acara apa?”
Ia seperti tersadar langsung menundukkan wajahnya. Perlahan ia berjongkok di ruangan yang cukup sempit ini. Ia memegang bagian bawah gaun itu.
“Kak. Mengapa kemarin kau mencariku? Kalau tahu kau akan menikah, aku takkan menerima undanganmu itu!” suara yang datar, kutahu. Dengan kata-kata yang lugas, itulah khasnya.
Riri’s diary
13 Juni 2011 (dini hari)
Ah, maaf. Aku menangis hingga tertidur. Dan ternyata hari sudah berganti. Entahlah, tangisanku tak kunjung reda tadi malam. Kupikir aku akan mati kehabisan air mata. Haha, mana mungkin air mata bisa habis kan ya? Apalagi hanya untuk manusia semacam kak Tyo.
Ah, iya. Baiklah. Kulanjutkan saja ceritanya. Gaun pilihanku kemarin akhirnya basah oleh airmata dan aku terpaksa harus membelinya. Bahkan aku masih ingat ketika penjaga kasir menanyai mataku yang seperti diperas habis. Aku buru-buru berlari hingga bahkan melupakan Nisa. Biarlah, paling nanti dia mengomeliku lewat sms.
Kupandangi gaun sialan yang kini tergantung di kamarku. AH! Sial. Kenapa juga aku harus membeli warna merah? Kenapa tidak warna biru saja? Kenapa harus merah, warna favorit pemuda sialan itu? Gerutuku menyadari warnanya yang tak kuperhatikan sebelumnya. Jangan-jangan..
Kutarik gaun yang masih agak basah itu. Sejujurnya aku ingin merobeknya langsung. Tapi apa yang kulakukan? Aku berjalan ke depan lemari bajuku yang pintunya terbuat dari kaca cermin. Melepas baju yang kupakai dan menggantikannya dengan gaun merah sebatas dada tersebut. Selamat! Ukurannya pas di tubuhku. Hahh.. syukurlah! Masih kupandangi gaun itu dari cermin. Kuputar-putar tubuh ke berbagai sudut hingga kutemukan sesuatu. Dan airmataku pun meluncur lagi.
Kuusap sesuatu seperti noda merah di leherku itu. Noda yang tak bakal menghilang dalam 3 hari, atau lebih. Aku membuka laci lemari. Mencari syal warna senada. Tak kutemukan. Panik, aku mencari hal lain yang bisa kupadupadankan. Ketemu syal kuning matang, sepatu emas, ikat pinggang emas dan purse marun dengan lacing emas.
“Huaaahh!! Cukup!” Teriakku kesal tak lain kepada diriku sendiri.
~I’m lucky I’m in love with my bestfriend, lucky to have been where I have been..
Segera kusambar ponsel dari seprai hijauku. Setelah melihat nama, dengan mengambil napas panjang 3 kali, kutekan tombol hijau. “Ya, ada apa Piyu?”
Setelah beberapa anggukan dan kata “oke”, kututup gagang telepon dengan lega. “Semoga ini bisa me-refresh otak dan batinku.”
24 Jan 2012
Angel and Prince
Augstova 17, 2039 - Candull Land
I'm just wasting moments in the garden. When suddenly I see a beautiful white lady crying near the pond. I come to her. "Hey lady, what's wrong?"
She doesn't answer but points at the sky and keep crying. Not moving except her hands and tears. I pick out my knitted handkerchief and sob her tears. "Ssh.. It'll be alright, It's alright. Stop your tears and tell me what's going on."
The lady calms down. And in seconds I see her beautiful black eyes. It's framed by her pony black hair and white face. She is gorgeous!
"Mm-Mister, why do you care so much to me? And your looks, seemed not like a commoner does. I mean who are you?"
Ooh. So you don't know me? Are you foreigner? "Let me introduce, I am Marzekoni Montovaggio, the Prince of this nation."
"Ma.. Mar..ze.. what?"
"Ah, you can call me Zeko if it's too difficult to spell."
"Ah, Prince Zeko, yeah. It's better. My name is Wati. I come from there." she points up there, to the sky. My eyebrow raised, how come she could..? "It's a long story. I can tell you but could you save me from the people first, please?"
"Okay, you can follow me, Lady Wati."
I guide her towards my pavillion. Secretly, as she asked. I told my servants to guestroom and give her cloths. Then I asked her to come for dinner.
Time runs out, the sun went down. My servants told me that the table is ready. I said ok and order them to call my "guest". Yep the late beautiful young lady. Then I go alone to dining room. Even a prince, I don't feel nice being in the castle. So I beg for this pavillion to my father, and he let me go easily.
I've been on my chair but waiting her a lil longer. My servants come and lead that lady to sit down. For a while, I stunned by her beautiful faces with the dress and make up. She looks more gorgeous! Is she a goddess?
"Could you leave us, please?" I order them to back at the kitchen. This is my priceless guest over the year. I should respect her. So they leave the dining room. "Lady Wati, take your first spoon first, please."
"I'm so pleased, thank you. You too, Prince Zeko."
"Lady, honestly, you look gorgeous! And more gorgeous tonight." She smiles and her face is blooming. "Are you a Goddess, maybe?" I speaks a while after dinner.
"An angel exactly." she corrects. I'm stunning. "Do you ever known that heaven has also a kingdom?"
"Nope." shake my head.
"Heaven has also a Kingdom. We call it Kahyangan." I nod. "There live also God as a king, and Goddess as the Queen. And we are angels, live to serve them. Like your servants do."
"Is it? So how about the prince? Are there price or princess who'll be the next God?"
"No. But there are titles for the angels. Angels got them by work. So here I am."
"Wh-What? You work?"
"Yup. I must pick prayers from humans and deliver it to God. I pick about 1 million a day."
"Wow, work that much and you still look gorgeous!"
"Yeah, but I lost something. So I can't back to Kahyangan."
"What is it? Is it that important?"
"Of course! It's my wings! Without them I can't flew back."
"Let me help you. and until we find it, you stay here. Okay?"
"But I have one condition. You must not tell anyone that I'm "different", okay?" I nod and let her drink juice.
"Understood, young lady!"
#continued tomorrow
13 Jan 2012
Indonesia Itu Surga! eps 1
Sudah lama sebenernya aku pengen bikin sebuah tulisan tentang tanah airku yang sangat kusayangi ini. Namun terhalang oleh beban lain yang semakin bertubi. Baiklah, akhirnya keluangan waktu hari ini kumanfaatkan. Ini dia, sebuah semangat bagi kalian warga Indonesia, juga sebuah undangan pada seluruh manusia di bumi supaya dapat berkunjung ke negaraku.
Pilihan judul ocehan kali ini, "Indonesia Itu Surga!", karena saya ingin membuka mata kita semua, bahwa dibalik berita-berita negatif yang udah kaya sampah di Bantar Gebang, masih tersimpan berjuta harta karun milik Ibu Pertiwi.
Terinspirasi juga oleh seorang Jepang, yang siang ini sedang menyantap masakan Indonesia. Maka pikiran saya langsung terpancing, "Berapa harga makanan ini di sana? Yang di sini hanya sekitar 15 ribu rupiah." Ya, saya sangat mudah terpancing dengan makanan. Tahukah anda, bahwa resolusi Kementerian Pariwisata juga sedang menggalakkan kuliner sebagai potensi pariwisata? Hemm, menarik ya?
eps 1: Indonesia, Surganya Kuliner
Suburnya negara Indonesia. Hampir semua tanaman dapat tumbuh di negeri ini. Sehingga untuk kebutuhan pangan, sandang, dan papan mudah terpenuhi. Memang Indonesia belum secanggih negara-negara maju (ya namanya juga masih berkembang), tapi keuntungannya, dimana pun anda tersesat, anda masih dapat bertahan hidup untuk waktu yang lama.
Coba sebut makanan pokok Indonesia! Pasti anda akan menjawab "Nasi." Padahal masih banyak penduduk Indonesia yang tidak memilih nasi sebagai makanan pokoknya. Ada singkong, ubi jalar, jagung, sagu, kentang yang sama-sama mengandung karbohidrat tinggi, tapi lebih rendah dari nasi. Aneka makanan ini sering dikonsumsi penduduk yang sedang dalam diet, atau petani beras yang jarang makan hasil panen mereka.
Lalu beralih ke sayur. Sekian negara yang pernah saya kunjungi, jarang yang menyuguhkan sayuran hijau selengkap di Indonesia. Bahkan negara tetangga sendiri, selama saya di sana, jarang menemukan sayuran. Kalaupun ada, bumbu yang diracik kurang senendang yang di Indonesia. Indonesia memang surga!
Anda berkunjung ke Indonesia, dan susah mencocokkan lidah? Mungkin anda datang ke tempat makan yang salah! Anda suka masakan apa? Manis? Maka pergilah ke rumah makan masakan Jawa. Jika anda doyan yang pedas dan bersantan, maka pantasnya ke rumah makan masakan Padang atau Manado. Asin? Oh, itu sih dapur Sunda ahlinya. Atau mau yang berkuah? Soto, Bakso, atau Sop banyak tersedia dalam berbagai pilihan. Nikmat ya Indonesia? Iyalah, feels like heaven gituu!
Pilihan judul ocehan kali ini, "Indonesia Itu Surga!", karena saya ingin membuka mata kita semua, bahwa dibalik berita-berita negatif yang udah kaya sampah di Bantar Gebang, masih tersimpan berjuta harta karun milik Ibu Pertiwi.
Terinspirasi juga oleh seorang Jepang, yang siang ini sedang menyantap masakan Indonesia. Maka pikiran saya langsung terpancing, "Berapa harga makanan ini di sana? Yang di sini hanya sekitar 15 ribu rupiah." Ya, saya sangat mudah terpancing dengan makanan. Tahukah anda, bahwa resolusi Kementerian Pariwisata juga sedang menggalakkan kuliner sebagai potensi pariwisata? Hemm, menarik ya?
eps 1: Indonesia, Surganya Kuliner
Suburnya negara Indonesia. Hampir semua tanaman dapat tumbuh di negeri ini. Sehingga untuk kebutuhan pangan, sandang, dan papan mudah terpenuhi. Memang Indonesia belum secanggih negara-negara maju (ya namanya juga masih berkembang), tapi keuntungannya, dimana pun anda tersesat, anda masih dapat bertahan hidup untuk waktu yang lama.
Coba sebut makanan pokok Indonesia! Pasti anda akan menjawab "Nasi." Padahal masih banyak penduduk Indonesia yang tidak memilih nasi sebagai makanan pokoknya. Ada singkong, ubi jalar, jagung, sagu, kentang yang sama-sama mengandung karbohidrat tinggi, tapi lebih rendah dari nasi. Aneka makanan ini sering dikonsumsi penduduk yang sedang dalam diet, atau petani beras yang jarang makan hasil panen mereka.
Lalu beralih ke sayur. Sekian negara yang pernah saya kunjungi, jarang yang menyuguhkan sayuran hijau selengkap di Indonesia. Bahkan negara tetangga sendiri, selama saya di sana, jarang menemukan sayuran. Kalaupun ada, bumbu yang diracik kurang senendang yang di Indonesia. Indonesia memang surga!
Anda berkunjung ke Indonesia, dan susah mencocokkan lidah? Mungkin anda datang ke tempat makan yang salah! Anda suka masakan apa? Manis? Maka pergilah ke rumah makan masakan Jawa. Jika anda doyan yang pedas dan bersantan, maka pantasnya ke rumah makan masakan Padang atau Manado. Asin? Oh, itu sih dapur Sunda ahlinya. Atau mau yang berkuah? Soto, Bakso, atau Sop banyak tersedia dalam berbagai pilihan. Nikmat ya Indonesia? Iyalah, feels like heaven gituu!
12 Jan 2012
Jendela Hati
samar
bagaikan sebuah bayangan
yang kautemui dalam sebuah bingkai
penuh
bahkan sudah kukunci
pintu hati yang telah terisi
kuncinya telah kubuang
hingga aku lupa tempatnya
tetapi
bayangan itu
yang terus menghantui
masih terseok
melampaui batas akal
membayang
meski menit pun tak mencukupi
kutahu itu masa lalu
namun dalam setiap incinya
terdapat noda yang ia cipratkan
noda yang melampaui jendela
akhirnya membekas
keras
ah! sebuah jendela!
jendela hati yang rupanya memang belum kukunci
ketika semilir angin yang masuk
membangkitkan aroma tersendiri dari noda
maaf sepertinya jendela tak bisa ditutup
berkali kucoba, ia masih saja menyisakan lubang
---
Rimie Ramadan
12.01.2012
Label:
poem
8 Jan 2012
Jogja Diguyur Hujan
Hujan basahi kotaku
Deras
Menyapu debu
Irama percikan
Berdendang seiring pecahnya
Tetes
Mengiring
semerbak segar
Teduhkan jiwa
Hujan
Ketika air menjadi
Pasukan penutup mata
Mengiring mimpi dalam lelap
---
08.01.2012
Rimie Ramadan
diiringi musik sang hujan
Label:
hujan
bang Jungmo jahaaat
okelah bang. pas gue tau dan hapal kebiasaan lo ciuman sama Heechul, gue terima. Gue terima dengan lapang dada. Tapi ini, lo ciuman sama Tiffany?! Gue gak terimaa!! CUKUP. Roar!
Sorry ya blog, lo jadi tempat sampah banget seminggu (ato mungkin sebulan?) dan gue belum memberikan sampah mutiara lagi buat lo. Maaf banget banget banget banget.
Sebenernya gue udah bikin sebuah cerpen, tapi masih kotretan. Alias coret-coretan. Tapi rencananya mau gue bikin buku. Gak di upload di sini. Ntar deh, kalo bukunya udah jadi, gue taro di lo juga. okei?
oya, gue mau sedikit posting tentang liburan kemarin. pas gue jadi tour guide anak2 jakarta. but, di next posting yaaa..
Sorry ya blog, lo jadi tempat sampah banget seminggu (ato mungkin sebulan?) dan gue belum memberikan sampah mutiara lagi buat lo. Maaf banget banget banget banget.
Sebenernya gue udah bikin sebuah cerpen, tapi masih kotretan. Alias coret-coretan. Tapi rencananya mau gue bikin buku. Gak di upload di sini. Ntar deh, kalo bukunya udah jadi, gue taro di lo juga. okei?
oya, gue mau sedikit posting tentang liburan kemarin. pas gue jadi tour guide anak2 jakarta. but, di next posting yaaa..
Label:
curhat
23 Des 2011
Post-Vacuum
maaf, sekitar 2 minggu ini saya vakum postingan karena mengejar deadline tugas. padahal belum bisa disebut selesai. ya, semua itu BELUM SELESAI.
sekitar 2 jam lagi, pembantaian berikutnya dimulai, sedangkan saya malah terduduk mengantuk di warnet. Sungguh ingin ini berakhir. Ya, lekaslah berakhir wahai studio!
Jantung semua anak arsi mungkin sudah melewati klimaks saat ini. Kecuali kelompokku dan kelompok Anggi. huah. Bapak itu sibuk, lebih sibuk dari anggota DPR yang bisa tertidur saat rapat. Bapak itu, seorang building scientist yang di Indonesia bisa dihitung jari jumlahnya. Bapak itu, yang dulu membuat nilai studioku pun ambruk.
Dan kini, dirinya harus kuhadapi lagi. Di satu sisi, aku kagum padanya. Di sisi lain, aku takut. Bapak itu lebih menekankan pada 3D. Juga pada aplikasi fisika bangunan terhadap desain.
Aku tak bisa bicara, untuk saat ini. Ngantuk. Dadaah.
sekitar 2 jam lagi, pembantaian berikutnya dimulai, sedangkan saya malah terduduk mengantuk di warnet. Sungguh ingin ini berakhir. Ya, lekaslah berakhir wahai studio!
Jantung semua anak arsi mungkin sudah melewati klimaks saat ini. Kecuali kelompokku dan kelompok Anggi. huah. Bapak itu sibuk, lebih sibuk dari anggota DPR yang bisa tertidur saat rapat. Bapak itu, seorang building scientist yang di Indonesia bisa dihitung jari jumlahnya. Bapak itu, yang dulu membuat nilai studioku pun ambruk.
Dan kini, dirinya harus kuhadapi lagi. Di satu sisi, aku kagum padanya. Di sisi lain, aku takut. Bapak itu lebih menekankan pada 3D. Juga pada aplikasi fisika bangunan terhadap desain.
Aku tak bisa bicara, untuk saat ini. Ngantuk. Dadaah.
Label:
curhat
1 Des 2011
Makan Bangkaiku!
Silakan!
Ini nadiku boleh kauputuskan
Ini dagingku boleh kausayat
Ini mataku boleh kaukunyah
Silakan!
Kalau kau mau silakan!
Aku tak melarangnya!
Daripada lidahmu
diam-diam mendaratkan panah bertubi
Daripada tanganmu
Menancapkan pedang dari belakang
Silakan!
Aku tak melarang
Silakan!
Aku tak menghujat
Kerelaan ini
dengan satu syarat:
Jangan makan bangkaiku!
Rimie Ramadan
01. 12. 2011
Label:
poem
25 Nov 2011
My endless love (2nd part)
Sebuah cahaya putih berkilau membuka kelopak mataku. Aku terbangun dalam pangkuan seorang gadis. Gadis manis berambut ikal. Ia tersenyum padaku. Manis sekali.
"Rahma?" aku menegakkan tubuhku dan menghadap sosok sahabatku itu. "Kenapa aku bisa tertidur di pangkuanmu?"
Ia tersenyum, "Entahlah, mungkin kau terlalu lelah bermain tadi. Lihatlah, gitarmu sampai kaupeluk."
Mataku mengikuti arah telunjuknya. Saat ini sang gitar sedang bersandar sembari mengamati kami. Aku tersenyum lalu tertawa kecil. "Ya, saking cintanya aku pada musik."
Rahma ikut tertawa kecil. "Bahkan saat bermain denganku kau pun tak lepas dari gitarmu. Dasar musisi profesional."
"Aam.." belum selesai kalimatku, tangannya mengalung di belakang leherku. Setengah tak percaya, mataku melotot. "Rah..ma?"
Gadis itu diam sejenak. Memeluk hangat diriku. "Rama, capailah impianmu itu. Berusahalah semampumu untuk menggapainya. Aku akan selalu mendukungmu."
Sementara aku merasakan sesuatu yang hangat membasahi bahuku. Aku mendorongnya sedikit, menatap wajah mungilnya. Matanya memerah, dipenuhi kristal paling berharga miliknya.
"Terimakasih Rahma. Tapi kau tidak perlu sampai menangis seperti ini. Kita melangkah bersama. Menggapai cita-cita kita dengan cara kita masing-masing. Aku juga akan selalu mendukungmu. Ya?" Tanyaku meyakinkan. Tapi yang kulihat, Rahma malah menunduk. "Ya?" kuulangi pertanyaanku untuk meyakinkan diri.
Dia menggeleng tipis. Bahkan kalau tak kauperhatikan, dia seperti diam saja. Baju putihnya bahkan tak bergoyang sedikitpun. "Tidak bisa." kalimatnya keluar bersama isak tangis.
"Mengapa tidak?"
"Karena.." ia menutup wajahnya, "karena tempat kita sudah berbeda.."
Dahiku mengernyit. 5 detik berselang, baru kumengerti maksudnya. "Oh iya, kamu pindah ke Korea kan? Tapi kan tidak ada alasan yang menghalangimu untuk menggapai cita-cita kan?"
Isaknya menderas. "Keadaannya sudah berbeda, Rama!" Ia menghapus lagi airmatanya. membiarkan zat bening itu mengalir dari celah jemari. "Sudahlah, kita hentikan saja percakapan ini. Aku tak mau debat denganmu."
Aku membuka tangan yang menutupi wajahnya. Telapak tanganku meraih wajah mungil tersebut. Bibirku menempel, mengecup lembut keningnya. Namun perlahan, sosok itu menghilang sesaat setelah tangisnya berhenti. Belum sempat terjawab keherananku, aku sudah ditarik oleh suara lainnya.
"Den, bangun! Hari ini piket kelas kan, Den?"
Kerjap! Mataku terbuka. Kembali ke kamarku dengan pemandangan kosong. Hanya Bi Inem menyisakan kepalanya di muka pintu. Aku mengacungkan ibu jari, tanda sudah bangun. Bibi mengangguk dan mengeluarkan kepalanya dari kamarku.
Aku bangkit duduk. Di antara sprei putih yang berantakan, kutemukan sebuah kertas yang sudah kucel. Kuambil dan kubaca kembali.
Halo Rama sahabatku,
Sedih untuk menyampaikan hal ini, tapi maaf, aku harus pergi. Ayah dipindahtugaskan ke Seoul 6 bulan ke depan. Aku dan ibu harus ikut, sementara Mbak Sarmi pulang kampung. Aku belum memberitahu siapa-siapa soal ini, kecuali Mio--tau kan? boneka kucing favoritku--yang sudah kuberikan pada keponakan Mbak Sarmi. Jadi kemungkinan besar kau orang pertama yang mengetahui kepergianku. Senang tidak?
Maaf jika kau malah sedih. Sejujurnya, aku juga baru diberitahu ayah saat beliau mengajak makan malam di luar seminggu lalu. Aku bahkan tak siap dengan semua ini. Meninggalkan semuanya dan hidup di negeri orang. Meninggalkanmu, sahabatku.
Oya, perpisahan seminggu lagi, bukan? Kau sudah mempersiapkannya? Cepat persiapkan! Jangan hanya bermain gitar! Secepatnya pilih Prom Queen mu. *Aku tau, kau ingin aku yang menjadi pasanganmu. Tapi mustahil, bukan? Jangan lupa sampaikan salamku untuk teman-teman dan ucapan selamat bagi yang menjadi pasanganmu.
Sudah dulu ya. Aku harus melanjutkan packing. Ingat, kalau mau terjun di dunia musik, lebih baik tenggelam, basah sekalian. Jangan hanya minta cipratannya. Kutunggu kau menjadi musisi profesional. Aku akan selalu ada dalam setiap petikan gitarmu.
Sahabat yang mencintaimu,
Rahma
Aku melipat surat itu. Merapikannya kembali. Memasukkannya ke dalam amplop marun yang diberikan Bi Inem tadi malam. Lalu segera ke kamar mandi untuk mandi dan mencuci wajah yang berairmata.
Sekolah tetap ramai seperti biasa. Walaupun sudah mau perpisahan, mereka tetap sibuk mengoceh, terutama wanita. Kaum berisik itu heboh membicarakan penampilan saat prom nanti. Aku melewatinya dan bertemu Ardi. Ia hendak ke perpustakaan untuk mengembalikan buku. Aku mengikutinya.
Di perpus, Aku dan Ardi mengantri pada loket pengembalian buku. Sambil menerawang, menyapu sudut perpustakaan, aku melihat TV Plasma di tengah ruangan tengah menyiarkan berita. Sepertinya tentang pesawat jatuh. "Akhir-akhir ini sering sekali pesawat jatuh." komentarku lirih.
Aku mendekati televisi itu, tertarik pada pesawatnya yang kali ini cukup besar dan puluhan nyawa bergelimpangan di dalamnya. Lalu, muncullah headline dari berita tersebut,
"Pesawat Garuda Rute Jakarta-Seoul Jatuh Terbakar"
TAMAT
---
Rimie Ramadan
25.11.2011
"Rahma?" aku menegakkan tubuhku dan menghadap sosok sahabatku itu. "Kenapa aku bisa tertidur di pangkuanmu?"
Ia tersenyum, "Entahlah, mungkin kau terlalu lelah bermain tadi. Lihatlah, gitarmu sampai kaupeluk."
Mataku mengikuti arah telunjuknya. Saat ini sang gitar sedang bersandar sembari mengamati kami. Aku tersenyum lalu tertawa kecil. "Ya, saking cintanya aku pada musik."
Rahma ikut tertawa kecil. "Bahkan saat bermain denganku kau pun tak lepas dari gitarmu. Dasar musisi profesional."
"Aam.." belum selesai kalimatku, tangannya mengalung di belakang leherku. Setengah tak percaya, mataku melotot. "Rah..ma?"
Gadis itu diam sejenak. Memeluk hangat diriku. "Rama, capailah impianmu itu. Berusahalah semampumu untuk menggapainya. Aku akan selalu mendukungmu."
Sementara aku merasakan sesuatu yang hangat membasahi bahuku. Aku mendorongnya sedikit, menatap wajah mungilnya. Matanya memerah, dipenuhi kristal paling berharga miliknya.
"Terimakasih Rahma. Tapi kau tidak perlu sampai menangis seperti ini. Kita melangkah bersama. Menggapai cita-cita kita dengan cara kita masing-masing. Aku juga akan selalu mendukungmu. Ya?" Tanyaku meyakinkan. Tapi yang kulihat, Rahma malah menunduk. "Ya?" kuulangi pertanyaanku untuk meyakinkan diri.
Dia menggeleng tipis. Bahkan kalau tak kauperhatikan, dia seperti diam saja. Baju putihnya bahkan tak bergoyang sedikitpun. "Tidak bisa." kalimatnya keluar bersama isak tangis.
"Mengapa tidak?"
"Karena.." ia menutup wajahnya, "karena tempat kita sudah berbeda.."
Dahiku mengernyit. 5 detik berselang, baru kumengerti maksudnya. "Oh iya, kamu pindah ke Korea kan? Tapi kan tidak ada alasan yang menghalangimu untuk menggapai cita-cita kan?"
Isaknya menderas. "Keadaannya sudah berbeda, Rama!" Ia menghapus lagi airmatanya. membiarkan zat bening itu mengalir dari celah jemari. "Sudahlah, kita hentikan saja percakapan ini. Aku tak mau debat denganmu."
Aku membuka tangan yang menutupi wajahnya. Telapak tanganku meraih wajah mungil tersebut. Bibirku menempel, mengecup lembut keningnya. Namun perlahan, sosok itu menghilang sesaat setelah tangisnya berhenti. Belum sempat terjawab keherananku, aku sudah ditarik oleh suara lainnya.
"Den, bangun! Hari ini piket kelas kan, Den?"
Kerjap! Mataku terbuka. Kembali ke kamarku dengan pemandangan kosong. Hanya Bi Inem menyisakan kepalanya di muka pintu. Aku mengacungkan ibu jari, tanda sudah bangun. Bibi mengangguk dan mengeluarkan kepalanya dari kamarku.
Aku bangkit duduk. Di antara sprei putih yang berantakan, kutemukan sebuah kertas yang sudah kucel. Kuambil dan kubaca kembali.
Halo Rama sahabatku,
Sedih untuk menyampaikan hal ini, tapi maaf, aku harus pergi. Ayah dipindahtugaskan ke Seoul 6 bulan ke depan. Aku dan ibu harus ikut, sementara Mbak Sarmi pulang kampung. Aku belum memberitahu siapa-siapa soal ini, kecuali Mio--tau kan? boneka kucing favoritku--yang sudah kuberikan pada keponakan Mbak Sarmi. Jadi kemungkinan besar kau orang pertama yang mengetahui kepergianku. Senang tidak?
Maaf jika kau malah sedih. Sejujurnya, aku juga baru diberitahu ayah saat beliau mengajak makan malam di luar seminggu lalu. Aku bahkan tak siap dengan semua ini. Meninggalkan semuanya dan hidup di negeri orang. Meninggalkanmu, sahabatku.
Oya, perpisahan seminggu lagi, bukan? Kau sudah mempersiapkannya? Cepat persiapkan! Jangan hanya bermain gitar! Secepatnya pilih Prom Queen mu. *Aku tau, kau ingin aku yang menjadi pasanganmu. Tapi mustahil, bukan? Jangan lupa sampaikan salamku untuk teman-teman dan ucapan selamat bagi yang menjadi pasanganmu.
Sudah dulu ya. Aku harus melanjutkan packing. Ingat, kalau mau terjun di dunia musik, lebih baik tenggelam, basah sekalian. Jangan hanya minta cipratannya. Kutunggu kau menjadi musisi profesional. Aku akan selalu ada dalam setiap petikan gitarmu.
Sahabat yang mencintaimu,
Rahma
Aku melipat surat itu. Merapikannya kembali. Memasukkannya ke dalam amplop marun yang diberikan Bi Inem tadi malam. Lalu segera ke kamar mandi untuk mandi dan mencuci wajah yang berairmata.
Sekolah tetap ramai seperti biasa. Walaupun sudah mau perpisahan, mereka tetap sibuk mengoceh, terutama wanita. Kaum berisik itu heboh membicarakan penampilan saat prom nanti. Aku melewatinya dan bertemu Ardi. Ia hendak ke perpustakaan untuk mengembalikan buku. Aku mengikutinya.
Di perpus, Aku dan Ardi mengantri pada loket pengembalian buku. Sambil menerawang, menyapu sudut perpustakaan, aku melihat TV Plasma di tengah ruangan tengah menyiarkan berita. Sepertinya tentang pesawat jatuh. "Akhir-akhir ini sering sekali pesawat jatuh." komentarku lirih.
Aku mendekati televisi itu, tertarik pada pesawatnya yang kali ini cukup besar dan puluhan nyawa bergelimpangan di dalamnya. Lalu, muncullah headline dari berita tersebut,
"Pesawat Garuda Rute Jakarta-Seoul Jatuh Terbakar"
TAMAT
---
Rimie Ramadan
25.11.2011
Label:
general ficts
23 Nov 2011
Happy Birthday Pondok Rimie!
Akhirnya setelah seharian bergentayangan di kota Jogja, aku punya kesempatan untuk merayakan ulang tahunmu Nak. Maafkan bunda ya Nak.
*Merayakan? Tapi.. dengan apa? tak terlihat apa-apa lho, Bunda!*
Yah, mungkin kau tak melihatnya Nak. Namun targetku untuk merayakan hari jadimu ini berhasil kuraih.
*Apa itu, Bunda?*
Sebuah buku. Yang memuat karya-karya yang sebagiannya telah kusimpan padamu.
*Oh, begitu ya Bunda? Wah, selamat ya buat Bunda! Terus, mana dong bukunya?*
Itu, ada di "calon ayah" kamu. kan sekalian..
*Sekalian apa Bun?*
Hehehee.. ada deh. Sesuatu pokoknya.
*Ah si Bunda gitu ah!*
Biarin! Hihii. Mau bunda kasih liat bentuknya gak?
*Mauuu!!!*
Tapi ntar malem ya, jgn sekarang. Bentar lagi calon papamu jemput.
*Pasti mau makan bareng?*
Hm!
*Dan pasti aku ga diajak!*
Gimana ngajaknya? Toh kamu makanannya kan tulisanku. Noh, tambah berisi kan kamu!
Yaudah ya, bunda tinggal dulu. Dadaaahh!!!
*Merayakan? Tapi.. dengan apa? tak terlihat apa-apa lho, Bunda!*
Yah, mungkin kau tak melihatnya Nak. Namun targetku untuk merayakan hari jadimu ini berhasil kuraih.
*Apa itu, Bunda?*
Sebuah buku. Yang memuat karya-karya yang sebagiannya telah kusimpan padamu.
*Oh, begitu ya Bunda? Wah, selamat ya buat Bunda! Terus, mana dong bukunya?*
Itu, ada di "calon ayah" kamu. kan sekalian..
*Sekalian apa Bun?*
Hehehee.. ada deh. Sesuatu pokoknya.
*Ah si Bunda gitu ah!*
Biarin! Hihii. Mau bunda kasih liat bentuknya gak?
*Mauuu!!!*
Tapi ntar malem ya, jgn sekarang. Bentar lagi calon papamu jemput.
*Pasti mau makan bareng?*
Hm!
*Dan pasti aku ga diajak!*
Gimana ngajaknya? Toh kamu makanannya kan tulisanku. Noh, tambah berisi kan kamu!
Yaudah ya, bunda tinggal dulu. Dadaaahh!!!
Label:
happy bday my blog
22 Nov 2011
My endless love
---Rahma "In"
"Hei, berhentilah memujiku! Aku tak mau dengar!" teriakku kepada sahabatku, Rama. Selalu saja begini. Kalau sedang istirahat belajar, dia pasti mengambil gitarku dan memainkan lagu khusus untukku. Yang isinya hanya pujian gombal.
And when you smile, the whole world stops and stared for a while, 'cause girl you're amazing, just the way you are.
Lagi, kuambil sebatang choco roll dan kujejalkan ke mulutnya supaya diam. Lagi, dia menggigitnya dan menyuapkan sisanya padaku. Ah, Tuhan. Kenapa dia selalu seperti ini? Bagaimana kalau aku tak bersamanya lagi? Padahal tinggal beberapa bulan lagi aku pindah dan aku tak tega memberitahunya.
---Rahma "Out", Rama "In"
And when you smile, the whole world stops and stared for a while, 'cause girl you're amazing, just the way you are.
Aku menyanyikannya sampai habis tanpa sedikitpun mengalihkan pandanganku padanya. Lagi-lagi mukanya memerah. Dia terpesona.
Rahma, dia sahabatku dan aku mencintainya. Aku menyukainya sejak ia duduk sebangku denganku kelas 5 SD. Waktu itu kami sudah lama bertetangga, tapi tak pernah saling mengenal karena individualisme komplek kami sangat tinggi. Bahkan ayah ibu kami mungkin tak pernah bertemu jika bukan karena kami.
Sejak itu kami selalu menghabiskan waktu bersama. Mengerjakan tugas, bermain dan lainnya. Bahkan kami berhasil masuk ke SMP yang sama. Hingga saat ini, status kami bersahabat walaupun aku sering secara tidak langsung mengatakan aku mencintainya. Tapi aku sudah berniat, saat perpisahan nanti akan kuperjelas perasaan ini.
---Rama "Out", Rahma "In"
Aku berhasil mengelabuinya. Dan juga perasaanku sendiri. Sejuta rasa sesal bercampur sedih mewarnai penantianku akan datangnya hari ini.
Kulihat wajah ayah dan ibu yang juga nampak mencemaskanku. Berulang kali kukatakan baik-baik saja meskipun aku selalu menunduk, menyembunyikan airmataku. Perpisahan masih seminggu lagi, tapi bagiku hari inilah perpisahan sesungguhnya. Dari kota ini, dari negeri ini dan dari Rama.
Rama. Hanya ada kata maaf yang bisa kudengungkan tiap mengingat namanya.
Ting-tong! "Kepada penumpang pesawat Garuda Airlines tujuan Jakarta-Seoul dengan nomor penerbangan XXX harap memasuki armada melalui pintu G7."
"Selamat tinggal."
---
Rahma, dimanakah kau berada? Rindu aku ingin jumpa, meski lewat nada..
Aku melepas gitarku. "Hey girl, where are you? Don't you know I miss you so bad?" Aku mengambil sebuah bingkai foto. Di sana, aku dan Rahma berpose bak penyihir. "Can you give a little magic to mend my heart?"
"I don't know why but feel scared right now. Please tell if this just a mistaken." Aku meraba dadaku. Ada rasa takut dan gelisah di sana. Takut, kalau saja ia menghilang. Gelisah, apa benar aku masih dapat mengatakan perasaanku ini?
4 hari kemudian, aku benar-benar mencapai puncak gelisah. Karena seminggu ini Rahma terus saja tak ada kabar. Aku tanya ayah dan ibu pun jawabannya nihil. Aku tanya teman-teman sekelasnya, mereka malah balik bertanya.
Tok, tok!
"Masuk!"
Bi Inem membuka pintu dan masuk dengan sopan. "Den, ini ada titipan surat dari pembantunya Non Rahma."
Surat? Untuk apa Mbak Sarmi--pembantu keluarga Rahma-- mengirimiku surat? "Coba lihat Bi."
Bi Inem menyerahkan sepucuk surat beramplop marun. Kuambil, lalu kuamati. Mataku berhenti pada huruf-huruf yang terangkai sebagai pengirim surat itu. Peganganku mengencang. Dua bola mataku tak mau beranjak sedikitpun. Tersirat pemikiran, "Mengapa hanya sebuah surat?"
"Den?" suara Bi Inem menggeser perhatianku. "Aden nggak papa?"
"Oh, iya Bi. Nggak papa kok. Makasih ya Bi."
Bi Inem mengangguk lalu pamit dengan unggah-ungguh khas orang Jawa.
Tinggallah aku sendiri di kamar ini. Bersama surat itu. Benda yang memuncakkan rinduku pada seorang Rahma. Bidadari yang tiba-tiba menghilang dari muka bumi.
Perlahan kuraih amplop itu, kubuka, dan kutarik isinya.
---
Rimie Ramadan
NB: sebetulnya ini posting udah dari bulan Juni tapi emang terbengkalai.
hari ini baru coba mencari sambungan ide dan kira2 rampung sekitar 1-2 chapter lagi.
jadi, aku gak pasang tanggal ah, malu. hehee.
"Hei, berhentilah memujiku! Aku tak mau dengar!" teriakku kepada sahabatku, Rama. Selalu saja begini. Kalau sedang istirahat belajar, dia pasti mengambil gitarku dan memainkan lagu khusus untukku. Yang isinya hanya pujian gombal.
And when you smile, the whole world stops and stared for a while, 'cause girl you're amazing, just the way you are.
Lagi, kuambil sebatang choco roll dan kujejalkan ke mulutnya supaya diam. Lagi, dia menggigitnya dan menyuapkan sisanya padaku. Ah, Tuhan. Kenapa dia selalu seperti ini? Bagaimana kalau aku tak bersamanya lagi? Padahal tinggal beberapa bulan lagi aku pindah dan aku tak tega memberitahunya.
---Rahma "Out", Rama "In"
And when you smile, the whole world stops and stared for a while, 'cause girl you're amazing, just the way you are.
Aku menyanyikannya sampai habis tanpa sedikitpun mengalihkan pandanganku padanya. Lagi-lagi mukanya memerah. Dia terpesona.
Rahma, dia sahabatku dan aku mencintainya. Aku menyukainya sejak ia duduk sebangku denganku kelas 5 SD. Waktu itu kami sudah lama bertetangga, tapi tak pernah saling mengenal karena individualisme komplek kami sangat tinggi. Bahkan ayah ibu kami mungkin tak pernah bertemu jika bukan karena kami.
Sejak itu kami selalu menghabiskan waktu bersama. Mengerjakan tugas, bermain dan lainnya. Bahkan kami berhasil masuk ke SMP yang sama. Hingga saat ini, status kami bersahabat walaupun aku sering secara tidak langsung mengatakan aku mencintainya. Tapi aku sudah berniat, saat perpisahan nanti akan kuperjelas perasaan ini.
---Rama "Out", Rahma "In"
Aku berhasil mengelabuinya. Dan juga perasaanku sendiri. Sejuta rasa sesal bercampur sedih mewarnai penantianku akan datangnya hari ini.
Kulihat wajah ayah dan ibu yang juga nampak mencemaskanku. Berulang kali kukatakan baik-baik saja meskipun aku selalu menunduk, menyembunyikan airmataku. Perpisahan masih seminggu lagi, tapi bagiku hari inilah perpisahan sesungguhnya. Dari kota ini, dari negeri ini dan dari Rama.
Rama. Hanya ada kata maaf yang bisa kudengungkan tiap mengingat namanya.
Ting-tong! "Kepada penumpang pesawat Garuda Airlines tujuan Jakarta-Seoul dengan nomor penerbangan XXX harap memasuki armada melalui pintu G7."
"Selamat tinggal."
---
Rahma, dimanakah kau berada? Rindu aku ingin jumpa, meski lewat nada..
Aku melepas gitarku. "Hey girl, where are you? Don't you know I miss you so bad?" Aku mengambil sebuah bingkai foto. Di sana, aku dan Rahma berpose bak penyihir. "Can you give a little magic to mend my heart?"
"I don't know why but feel scared right now. Please tell if this just a mistaken." Aku meraba dadaku. Ada rasa takut dan gelisah di sana. Takut, kalau saja ia menghilang. Gelisah, apa benar aku masih dapat mengatakan perasaanku ini?
4 hari kemudian, aku benar-benar mencapai puncak gelisah. Karena seminggu ini Rahma terus saja tak ada kabar. Aku tanya ayah dan ibu pun jawabannya nihil. Aku tanya teman-teman sekelasnya, mereka malah balik bertanya.
Tok, tok!
"Masuk!"
Bi Inem membuka pintu dan masuk dengan sopan. "Den, ini ada titipan surat dari pembantunya Non Rahma."
Surat? Untuk apa Mbak Sarmi--pembantu keluarga Rahma-- mengirimiku surat? "Coba lihat Bi."
Bi Inem menyerahkan sepucuk surat beramplop marun. Kuambil, lalu kuamati. Mataku berhenti pada huruf-huruf yang terangkai sebagai pengirim surat itu. Peganganku mengencang. Dua bola mataku tak mau beranjak sedikitpun. Tersirat pemikiran, "Mengapa hanya sebuah surat?"
"Den?" suara Bi Inem menggeser perhatianku. "Aden nggak papa?"
"Oh, iya Bi. Nggak papa kok. Makasih ya Bi."
Bi Inem mengangguk lalu pamit dengan unggah-ungguh khas orang Jawa.
Tinggallah aku sendiri di kamar ini. Bersama surat itu. Benda yang memuncakkan rinduku pada seorang Rahma. Bidadari yang tiba-tiba menghilang dari muka bumi.
Perlahan kuraih amplop itu, kubuka, dan kutarik isinya.
---
Rimie Ramadan
NB: sebetulnya ini posting udah dari bulan Juni tapi emang terbengkalai.
hari ini baru coba mencari sambungan ide dan kira2 rampung sekitar 1-2 chapter lagi.
jadi, aku gak pasang tanggal ah, malu. hehee.
Label:
general ficts
Lapis Transparan
Warna itu
Warna menyejukkan
Warna itu selalu kurindu
Warna yang kautunjukkan padaku
Warna itu
Sering kubayangkan
Memiliki ubahan warna yang lain
Gradien, Analog atau bahkan mungkin Komplementer
Namun sering kutepis
Karena kupercaya pada warna itu
Warna ini
Yang aku punyai
Yang sering kutunjukkan
Agaknya memiliki lapisan lain
Dan belum pernah kutunjukkan
Seringkali
ku berharap warna itu dan warnaku menyatu
Membentuk gradasi indah
Tapi ternyata
Aku sendiri bimbang
Warna mana yang akan kuberikan
Apabila ketika bercampur
Seketika warna yang lain melesak
mengobrak-abrik gradasi indah itu
Mengoyak pencampuran yang kadung menyatu
Apa
yang tersisa?
Warna itu
Warna kerapuhan
sekaligus kegigihan
Warna kesetiaan
namun meragukan
Warna sejelas kilat
yang kadang samar
Lalu warnaku
komplementer yang hendak kupilih
mencoba menyatukan diri
Mengoyak lapisannya sendiri
Lapis transparan yang kini menipis
dan menceburkan diri, larut dalam warnanya
Kepercayaan
itulah yang dibutuhkan
Selarut apapun kau
harus percaya
---
Rimie Ramadan
22.11.2011
sehabis membengkakkan mata
Label:
poem
14 Nov 2011
Sudut Pandang
Kukurung semua memori
Batasi semua ambisi
Terpojok dalam ruang isolasi
Engkau di sana
Berdiri dan hampa
Menatap samar
Aku yang bahagia
Perlahan kaca berembun
menyimpan hembusan nafasmu
Tercekat dalam pengikhlasan terpaksa
Label:
poem
Kisah si Serbuk Sari
Tertiup angin dari sebatang bunga induk
Melayang, menjelajah bening udara
Perjalanan mengetengahkan berjuta
putik yang menyembul di tengah kelopak
Aku bergerak berdasar petunjuk Sang Angin
Bertebaran bunga indah nan cerah bagai mentari
Yang menarik untuk dihinggapi
Tapi Sang Angin
Malah mendaratkanku pada
Satu bunga yang nyaris layu
Yang warnanya kusam
lagi keriput batang putiknya
Tak disangka
Kedatanganku membuat Sang Putik tersenyum
Hati pun terkesima
Aku menyatukan diriku padanya
dengan segenap keikhlasan jiwa raga
Kehendak Sang Angin
Memunculkan bakal buah pada
bunga yang hampir mati
Rimie Ramadan
14.11.2011
Label:
poem
TRAX - Blind
Even if you lean your head against me and blankly look at me, you don’t know
I spread my arms and say that it feels so cool but you still don’t know
I spread my arms and say that it feels so cool but you still don’t know
I am invisible but I am standing in front of you
But your eyes look past me
But your eyes look past me
* Just once, just once, please look for me
The more you feel, the more you feel
I become more and more invisible
At the end of my desperate prayers
If only you will find me so that I can have you in my arms
The more you feel, the more you feel
I become more and more invisible
At the end of my desperate prayers
If only you will find me so that I can have you in my arms
In the hazy winter frost, I try to draw my heart but you don’t know
I gather the scattered raindrops and shed them instead of tears but you don’t know
I gather the scattered raindrops and shed them instead of tears but you don’t know
I am cold but I am flowing toward you
I despise myself for being square
I despise myself for being square
* repeat
My heart is cracked, cut and broken
At the end of a rough day
When I am broken into pieces, you would be able to see me
At the end of a rough day
When I am broken into pieces, you would be able to see me
** You can’t see so I love you like this
Even your fingerprints in the corner
I strongly engrave them into me
My blackened and bruised heart-
I take it out and show it to you
But you just say that looks pitch-black outside
Even your fingerprints in the corner
I strongly engrave them into me
My blackened and bruised heart-
I take it out and show it to you
But you just say that looks pitch-black outside
You can’t see so you say that looks pitch-black outside
You just endlessly look outside the window
You just endlessly look outside the window
Translation Credits:
pop!gasa
pop!gasa
TRAX - Like A Dream
I faintly remember it now, our shy confessions
Even unplanned dates made every day so happy
At some point the seasons passed and time went by
The accustomed two eyes with no feeling makes me so sad
Even unplanned dates made every day so happy
At some point the seasons passed and time went by
The accustomed two eyes with no feeling makes me so sad
* Please prevent her lips and my lips from speaking of separation
It’s not just any love – only regret will remain
Please allow her lips and my lips to confess our love again
Let’s go back to our longful dream of that night when we first kissed
It’s not just any love – only regret will remain
Please allow her lips and my lips to confess our love again
Let’s go back to our longful dream of that night when we first kissed
Wordlessly, only sighs increase – yawns come out from the obvious expressions
The streets where we used to hold hands now only have cold wind
The song we listened to on our drunken nights
I tried to sing it as I smiled but in my eyes, tears well up
The streets where we used to hold hands now only have cold wind
The song we listened to on our drunken nights
I tried to sing it as I smiled but in my eyes, tears well up
* repeat
As I walk on the path of time, the world of you and I, which used to shine
Become miserable memories and keeps on faintly erasing
Become miserable memories and keeps on faintly erasing
Please prevent her lips and my lips from speaking of separation
We’re not the type to smile and say goodbye – we’re just going to shed tears
Please allow her lips and my lips to confess our love again
Let’s go back to our longful dream of that night when we first kissed
We’re not the type to smile and say goodbye – we’re just going to shed tears
Please allow her lips and my lips to confess our love again
Let’s go back to our longful dream of that night when we first kissed
Oh- It’s Like A Dream
credits: http://snsdlyrics.wordpress.com
credits: http://snsdlyrics.wordpress.com
12 Nov 2011
Tahukah Kau?
Tahukah kau
di setiap hariku bersamamu
Selalu kupasang wajah ceria tanpa durja
Tak luput senyuman dan lengkung mentari di mataku
Tahukah kau
bahwa di setiap memandang wajahmu
satu hal yang tak ingin kulakukan
ialah membuatmu terluka
Tahukah kau
aku ingin menjadi penghibur bagimu
selalu
karena itu aku akan selalu tersenyum
dengan begitu kau juga tersenyum
melepas segala beban di pundakmu
walau hanya untuk sementara
Tahukah kau
bahwa seringkali
kala kau terlelap
aku merenung
bertanya pada diriku sendiri
Sanggupkah aku menjagamu
Di setiap aku ada ataupun tidak
Sanggupkah aku menghiburmu
Meskipun hatiku sendiri sedang gundah
Bagaimana jika tanpa sadar
aku lengah menjagamu
aku mengecewakanmu
aku mengacuhkanmu
tak bisa tersenyum untukmu
Aku
yang tak pernah tahu cara membereskan kasur
yang tak pernah makan dengan porsi kecil
yang selalu menghabiskan waktu dengan hal yang kusuka
yang tak bisa menjawab permasalahan kantormu
yang tak pernah bisa sebaik wanita-wanita indah lainnya
Namun selalu
kau puji aku
layaknya seorang bidadari surga
yang turun ke bumi dan berlabuh di pelukanmu
kau merasa beruntung
aku telah memilihmu
padahal aku pun belum merasa
mampu menjalaninya
mengemban keanggunan seorang wanita
dalam pribadi yang jauh dari sempurna ini
Tahukah kau
Aku selalu bertanya
Mengapa begini?
Mengapa kau memilihku?
Padahal aku hanyalah seonggok sampah
makhluk busuk yang tak pernah tau cara merengkuh matahari
agar meleburkannya ke dalam abu
Rimie Ramadan
12.11.2011
sambil memandang bintang yang terlelap
di setiap hariku bersamamu
Selalu kupasang wajah ceria tanpa durja
Tak luput senyuman dan lengkung mentari di mataku
Tahukah kau
bahwa di setiap memandang wajahmu
satu hal yang tak ingin kulakukan
ialah membuatmu terluka
Tahukah kau
aku ingin menjadi penghibur bagimu
selalu
karena itu aku akan selalu tersenyum
dengan begitu kau juga tersenyum
melepas segala beban di pundakmu
walau hanya untuk sementara
Tahukah kau
bahwa seringkali
kala kau terlelap
aku merenung
bertanya pada diriku sendiri
Sanggupkah aku menjagamu
Di setiap aku ada ataupun tidak
Sanggupkah aku menghiburmu
Meskipun hatiku sendiri sedang gundah
Bagaimana jika tanpa sadar
aku lengah menjagamu
aku mengecewakanmu
aku mengacuhkanmu
tak bisa tersenyum untukmu
Aku
yang tak pernah tahu cara membereskan kasur
yang tak pernah makan dengan porsi kecil
yang selalu menghabiskan waktu dengan hal yang kusuka
yang tak bisa menjawab permasalahan kantormu
yang tak pernah bisa sebaik wanita-wanita indah lainnya
Namun selalu
kau puji aku
layaknya seorang bidadari surga
yang turun ke bumi dan berlabuh di pelukanmu
kau merasa beruntung
aku telah memilihmu
padahal aku pun belum merasa
mampu menjalaninya
mengemban keanggunan seorang wanita
dalam pribadi yang jauh dari sempurna ini
Tahukah kau
Aku selalu bertanya
Mengapa begini?
Mengapa kau memilihku?
Padahal aku hanyalah seonggok sampah
makhluk busuk yang tak pernah tau cara merengkuh matahari
agar meleburkannya ke dalam abu
Rimie Ramadan
12.11.2011
sambil memandang bintang yang terlelap
Langganan:
Postingan (Atom)