24 Jul 2013

Dentang

Tik.

Aku duduk di ruang tamumu. Isi pikiranku masih ringan.

Tik. Detik kelima.

Kupandangi langkahmu yang terburu, mengambil ponsel yang deringnya memanggilmu.

Tik. Detik keenam puluh.

Kujelajahi jejakmu dengan ekor mataku. Engkau kemudian pamit, lalu mengejar waktu. "Tunggulah sebentar," katamu.

Tik. Detik keenam puluh lima.

Aku iri. Aku memaki pada ponselmu. Memaki pada gerak-gerikmu yang luputkan aku. Rupanya ia lebih menarik perhatianmu ketimbang aku.

Tik. Detik keempat ribu delapan ratus.

Engkau tak kunjung tiba. Aku resah. Segenap waktu kau di sini pun, kau tak jua memberiku perhatian. Padahal, kau janjikan tahun ini kita menikah. Tapi nyatanya, Setiap aku menghampirimu, kau malah memisahkan diri.

Tik. Detik kesembilan puluh.

Bel rumahmu berbunyi. Aku melihat bayangan seseorang di sana. Yang kuharap adalah engkau yang memberi kejutan. Meski kuakui kau bukan tipe pria romantis. Penuh rasa penasaran, aku menuju pintu.
Rona merah semerbak di wajahku kala sebuket penuh mawar merah tepat di hadapanku. Namun sedikit kecewa, kau tidak mengantarnya sendiri. Petugas toko bunga itu kemudian pamit pergi.

Tik. Detik keseratus.
Aku bosan. Aku hendak menjemputmu yang tak lagi pasti. Aku tak mau lagi bermain dengan khayalan. Kusembunyikan nyaris hendak kubuang.

Tik. Detik keseratus lima puluh tiga.
Lampu penyebrangan hijau menyala. Kuambil langkah seribu.

Tik. Detik keseratus lima puluh lima.
Bug! Badanku tersenggol dan entah mengapa semua menjadi samar. Aku melayang, mungkin akan menjadi kupu-kupu. Biarlah aku berubah, mungkin dengan begitu, ku bisa mendampingimu.

Rindu

Lama sudah tak bersua. Jaring laba-laba mulai menggelayut di sudut ruangmu. Hampa.
Sudah hampir dua bulan, kasihku. Lagu sunyi mulai bermain seiring jemarimu melangkah. Tentang sepi, yang mengoyak minggu ini. Di dasar sana, penuh abu rindu. Aku rindu padamu.