6 Feb 2012

The Diary

catatan sebelumnya: Diary pt 3 | Diary pt 2 | Diary pt 1
12 Juni 2011
Hari ini aku menemani Nisa berbelanja. Sudah lama kami tak bertemu. Aku sungguh bahagia bisa bertemu dengannya lagi. Sayangnya, raut bahagiaku yang kutunjukkan semaksimal mungkin, tetap terbaca aneh olehnya.
“Kamu kenapa sih Ri? Kok mukamu malah sedih gitu? Gak seneng ya, ketemu aku?”
“Ah, bukan. Bukan Begitu Nis. Aku hanya.. “
“Atau kau sedang terlalu lelah, kalau begitu seharusnya kau istirahat. Kan kita bisa belanja lain hari.”
“Hm, mungkin sedikit lelah. Tapi kalau istirahat sekarang nanggung. Kita selesaikan dulu belanja kita.”
“Hm, baiklah kalau itu maumu. Oya, lagipula kau belum menemukan gaun yang pas untuk pesta pernikahan kak Tyo kan?”
Ah, kenapa juga harus kausebut nama itu? “Ya. Baiklah, mari kita lanjut cari gaun.” aku menyeretnya keluar dari kafe bernuansa italia tersebut.
Aku akhirnya tertarik pada salah satu busana yang dipajang di sebuah butik. Setelah masuk, aku menuju kamar pas untuk mencobanya, sedangkan Nisa sibuk memilih aksesoris. Baru aku akan memasuki salah satu bilik yang terbuka, tanganku tiba-tiba ditarik paksa dan diseret ke suatu arah. Dalam sekejap aku sudah berada dalam pelukan seseorang dan nampaknya dia mengunci pintu bilik.
Aku mencoba mengangkat wajah, melihat siapa dia. Walaupun parfumnya sangat kukenal. Dan dugaanku terbukti. Pria ini adalah dia.
Tyo’s diary
12 Juni 2011
Lagi, aku melihatnya melenggang di hadapanku. Seketika perasaan rinduku bertumpuk dan membuncah luar biasa. Hingga tanpa kusadari, aku menarik tangannya dan bersembunyi di bilik tempatku mengepas pakaian tadi.
Kusadari perlahan gerakan di wajahnya. Ia menatapku. Lama, sangat lama. Aku pun menatap dalam kedua bola matanya. Kuselami tanpa menghiraukan waktu. Ada kerapuhan di sana. Sepercik kerinduan, aku tahu. Tapi aku masih tak yakin.
Kueratkan pelukanku dan kubenamkan wajahku di sela lehernya. Menghisap setiap wangi tubuhnya. Ya, wangi ini. Masih sama sejak sebulan lalu. Bahkan enam tahun lalu.
“Kak, lepaskan.” Tubuhnya menggeliat pelan. Aku menahannya dan malah semakin mengeratkan pelukanku padanya. Ia masih juga berusaha berontak.
“Biarkan. Untuk 10 menit saja. Kumohon.”
Perlawanannya melemah. Kurasa ia sebenarnya juga tidak mau berpisah.
Kurasakan nafasnya mulai teratur. Kuendus harum yang semerbak di bahunya. “Kak, jangan. Jangan begini. Ah!”
Tak lagi peduli dengan ocehannya. Aku terus melepaskan rinduku di jenjang lehernya. Hingga tangannya melepas sesuatu yang sedari tadi digenggamnya.
Aku berhenti dan mengambil barang yang jatuh itu. Sebuah gaun sutra warna putih dengan bordir merah di bagian leher dan pinggang. “Ini, untuk kaupakai? Memang mau ada acara apa?”
Ia seperti tersadar langsung menundukkan wajahnya. Perlahan ia berjongkok di ruangan yang cukup sempit ini. Ia memegang bagian bawah gaun itu.
“Kak. Mengapa kemarin kau mencariku? Kalau tahu kau akan menikah, aku takkan menerima undanganmu itu!” suara yang datar, kutahu. Dengan kata-kata yang lugas, itulah khasnya.
Riri’s diary
13 Juni 2011 (dini hari)
Ah, maaf. Aku menangis hingga tertidur. Dan ternyata hari sudah berganti. Entahlah, tangisanku tak kunjung reda tadi malam. Kupikir aku akan mati kehabisan air mata. Haha, mana mungkin air mata bisa habis kan ya? Apalagi hanya untuk manusia semacam kak Tyo.
Ah, iya. Baiklah. Kulanjutkan saja ceritanya. Gaun pilihanku kemarin akhirnya basah oleh airmata dan aku terpaksa harus membelinya. Bahkan aku masih ingat ketika penjaga kasir menanyai mataku yang seperti diperas habis. Aku buru-buru berlari hingga bahkan melupakan Nisa. Biarlah, paling nanti dia mengomeliku lewat sms.
Kupandangi gaun sialan yang kini tergantung di kamarku. AH! Sial. Kenapa juga aku harus membeli warna merah? Kenapa tidak warna biru saja? Kenapa harus merah, warna favorit pemuda sialan itu? Gerutuku menyadari warnanya yang tak kuperhatikan sebelumnya. Jangan-jangan..
Kutarik gaun yang masih agak basah itu. Sejujurnya aku ingin merobeknya langsung. Tapi apa yang kulakukan? Aku berjalan ke depan lemari bajuku yang pintunya terbuat dari kaca cermin. Melepas baju yang kupakai dan menggantikannya dengan gaun merah sebatas dada tersebut. Selamat! Ukurannya pas di tubuhku. Hahh.. syukurlah! Masih kupandangi gaun itu dari cermin. Kuputar-putar tubuh ke berbagai sudut hingga kutemukan sesuatu. Dan airmataku pun meluncur lagi.
Kuusap sesuatu seperti noda merah di leherku itu. Noda yang tak bakal menghilang dalam 3 hari, atau lebih. Aku membuka laci lemari. Mencari syal warna senada. Tak kutemukan. Panik, aku mencari hal lain yang bisa kupadupadankan. Ketemu syal kuning matang, sepatu emas, ikat pinggang emas dan purse marun dengan lacing emas.
“Huaaahh!! Cukup!” Teriakku kesal tak lain kepada diriku sendiri.
~I’m lucky I’m in love with my bestfriend, lucky to have been where I have been..
Segera kusambar ponsel dari seprai hijauku. Setelah melihat nama, dengan mengambil napas panjang 3 kali, kutekan tombol hijau. “Ya, ada apa Piyu?”
Setelah beberapa anggukan dan kata “oke”, kututup gagang telepon dengan lega. “Semoga ini bisa me-refresh otak dan batinku.”