31 Agu 2011

The Diary

catatan sebelumnya : Diary pt 1

8 April 2010

Tidak terasa empat tahun sudah aku tak berjumpa dengannya. Aku juga sudah berada di kota yang jauh. Bahkan berbeda pulau. Tapi bayangannya selalu tinggal di mataku. Entahlah, sangat sulit untuk dilupakan. Ah, iya. Aku menulis tepat di tanggal ini. Hari ulangtahun kak Tyo. Ah, bahkan aku masih ingat. Waktu kak Tyo menraktir semua anggota klub, dia meninggalkan kak Dara dan malah menghabiskan waktu denganku dan Nisa.

Ah, maaf. Aku baru kembali dari bawah. Tadi ibu kos bilang ada yang mengirim paket untukku. Sebentar yaa, kubuka paketnya dulu.

Sebuah tas berwarna hijau. Warna kesukaanku. Dengan beberapa kantung kecil di bagian luarnya. Juga model favoritku. Belum berhenti aku terkejut, di dalam tas itu terdapat sebuah boneka apel warna hijau dan memo yang sepaket dengan pulpen. Keduanya berwarna hijau. . Aku membuka-buka kantung lain di tas itu, banyak pula barang-barang lucu yang kutemukan.

Tapi, siapa yang mengirimnya? Ayah dan ibuku bukan orang yang suka memberi kejutan seperti ini. Saat aku mencoba membuka memo hijau tadi, aku menemukan pesan singkat di lembar paling depan.
“Hai, Ri. Apa kabar? Kuharap kamu sehat-sehat saja.Maaf, aku tau mungkin sudah lewat seminggu dari hari lahirmu saat kau menerimanya. Kuharap kau mau memaafkan. Hanya ini yang bisa kuberikan sebagai kado ulangtahunmu. Semoga kau senang. Aku sungguh merindukanmu.” –LT
Siapa “LT”? Aku sedikit merinding, namun kembali tersenyum saat menatap tas dan barang-barang lain itu. Yang mengirimkan ini pasti orang baik, batinku.


8 April 2011

Pagi ini, ketika hendak berangkat kuliah ibu kos memberiku sebuah surat berbungkus amplop biru. Ini sudah yang kesepuluh kalinya aku menerima surat sejenis. Bahkan ibu kos sampai hafal hanya dengan melihat warna dan tulisannya. Sampai sekarang aku belum tahu siapakah pengirimnya. Dia hanya memberi inisial LT pada setiap surat yang dikirimkan. Aku memasukkannya ke dalam tas. Berniat membacanya pada jam kosong kuliah nanti.

Dosen akhirnya mengakhiri kuliah membosankan itu. Aku berjalan ke sebuah taman dan mulai membaca surat itu. Isinya memintaku untuk datang ke suatu apartemen yang agak jauh dari kampusku. Ah, baiklah sepertinya orang ini hendak menunjukkan dirinya. Sepulang kuliah aku pergi ke alamat yang diberikannya. Penasaran juga seperti apa wajahnya.

Tak butuh waktu lama untuk menuju ke apartemen tersebut. Sekarang pintu apartemennya sudah berada di hadapanku. Kuberanikan diri untuk menekan bel di depan apartemennya. Agak lama, baru pintu itu terbuka. Kakiku membeku begitu menatap sosok di hadapanku. Wajahnya lusuh dan ditumbuhi jenggot tipis tak terawat, rambutnya gondrong berantakan, pipinya tirus dan tulang-tulangnya sungguh terlalu jelas. Tapi aku masih mengenalinya. LT, atau orang yang selalu memberiku hadiah, foto dan kata-kata penyemangat lewat amplop biru itu, tak lain dan bukan adalah kak Tyo. Pemuda kurus kering yang kini termenung tak percaya di hadapanku.

“Halo, kak Tyo.” Aku memutuskan membuka pembicaraan. Kak Tyo sedikit terkejut. “Boleh aku masuk?” Ia menganggukkan kepalanya. Aku pun melangkah masuk. Ia menutup pintu dan mengikutiku.
Kamarnya berantakan. Buku dan peralatan fotografi bercampur tak teratur di lantai. Hanya ada satu tempat tidur yang juga berantakan, dua sofa kecil yang beralih jadi tempat tas dan kamera, dan sebuah laptop yang menyala. Kulihat ia berusaha memindahkan barang-barang di atas sofa. Lalu mempersilakanku duduk di sana. Aku menurutinya, dan ia duduk di sebelahku. Rambutnya sedikit ia rapikan.

“Tidak kusangka, kamu akan datang secepat ini.” Ia memandangku tak fokus. Sedangkan aku terus memerhatikannya dari atas sampai bawah. Masih tak percaya dengan semua ini. Bahwa pria di depanku adalah kak Tyo, orang yang sangat melekat di otakku. Bahwa pria ini yang telah mengirim benda-benda itu.

“Kak, apa yang terjadi padamu?” aku memberanikan diri bertanya. “Maaf, kalau aku lancang. Tapi keadaanmu sungguh.. mengenaskan.” Aku menatapnya, mencari bola matanya. Tapi ia malah menunduk dan tubuhnya meluncur ke lantai. Ia merangkak menuju kakiku dan memeluk kaki kananku. “Kak, bolehkah aku sedikit merapikanmu?” tanyaku. Ia mendongak tak mengerti. Mandilah dulu dan keramasi rambutmu. Nanti aku akan memotongnya. Bagaimana?”

Kak Tyo mengangguk lalu berjalan ke kamar mandi. Sementara itu aku merapikan kamarnya. Aku sedikit terkejut menemukan dua bingkai foto di meja kecil samping ranjang. Foto di sana adalah fotoku yang diambil ketika di museum Fatahillah dan saat wisudanya.

Selesai ia mandi, aku menyuruhnya duduk di sofa yang sudah kuhadapkan ke cermin. Sehelai selimut miliknya kulingkarkan melewati bagian depannya. Dan aku pun melancarkan aksiku untuk mendandaninya. Entah dapat ide darimana, aku mengembalikan gaya rambutnya ke masa SMP dulu. Aku juga mencukur jenggotnya agar terlihat lebih rapi.

Saat aku memegang dagunya, ia menahan tanganku. Tiba-tiba wajahnya mendekatiku, lalu bibirnya menyentuh pipiku. Seketika aku menjauhkan wajahku dan tanganku yang bebas memegang lengannya. Mataku melotot dan sepenuh keyakinan kuucapkan, “Kak, kamu kenapa sih? Jangan begitu. Kumohon!”
Mendadak ekspresinya berubah, terkejut. “Maaf.. maafkan aku. Maafkan aku Ri.. aku sungguh.. bajingan!” ia terisak dan menundukkan kepala, “aku tahu aku gak pantas buatmu! Apalagi dengan kondisi sekarang ini. Aku benar-benar bajingan!” Ia mengangkat kakinya ke kursi dan menenggelamkan kepala diantara kedua lututnya.

Aku benar-benar iba padanya. Tapi tak kuasa menyentuhnya sedikitpun, waspada akan seperti tadi. Aku berjalan meninggalkannya untuk mengambil segelas air. Lalu kembali dan menyerahkannya, “ini. minumlah kak.”

“Pergilah.” Katanya selesai meneguk air minum. “Pulanglah dulu. Aku takut menyakitimu lagi. Kumohon.”

Aku bimbang dan akhirnya menurutinya. “baiklah, aku pulang dulu. Kalau kakak butuh apa-apa, sms saja. Aku pamit, Sampai jumpa!”

Aku bergegas melangkah keluar dan menutup pintu apartemen kak Tyo. Tapi aku tak beranjak dari depan pintu itu. Kusentuhkan telapak tanganku di daun pintunya, mengusapnya pelan. Seakan pintu itu adalah wajah kak Tyo.

Mendadak pintu terbuka. Aku gelagapan dan cepat-cepat menurunkan tanganku, sementara yang dibalik pintu nampak terkejut dan memberhentikan ketergesahannya. Kami saling menatap. Aku tahu, ada rindu yang terlukiskan. Aku tau, ada banyak cerita yang ingin terkuak. Aku tau, ada rasa yang terjalin diantara kami.

Tanpa kusadari, tangannya mengambil pergelanganku dan menyeretku masuk. Segera ia tutup pintu apartemennya dan memeluk tubuhku rapat-rapat. Ah, kali ini kubiarkan saja. Aku juga merindukannya. Kubalas memeluknya dan dia pun mempereratnya. Lambat laun isaknya kembali lagi.
“Gila. Aku benar-benar sudah gila. Aku gila tanpamu. Izinkan aku untuk jadi bajingan kelas kakap hari ini saja. Kumohon, Ri. Tinggallah di sini malam ini. Aku akan tidur di sofa. Aku janji.” Pintanya penuh rasa iba di telingaku.

“Hmm, baiklah. Lagipula esok aku tidak ada kuliah. Tapi kakak harus janji, tidak berbuat macam-macam padaku. Bagaimana?”

Pemuda berkulit putih ini mangacungkan kelingkingnya, “ya. Aku janji.” Aku pun menyambut kait kelingkingnya.

---

31.08.2011

Rimie Ramadan is comeback!!
with old-storage-drafts story
hope you enjoy!!

3 komentar:

Rin Asami Nashannia mengatakan...

itu beneran elu? apa cuma jd tokoh fiksi aja si "riri"nya?

Rimie Ramadan mengatakan...

kan gue bilang di part 1 nya, ini tuh quart-true story lhooo..

Rimie Ramadan mengatakan...

tapi buat part 2 nya ini gak ada yang real. cuma part 1 sedikit menyinggung kenyataan. gitu sis..

Posting Komentar