26 Jun 2011

racun

Dalam diam, senyumku mengembang
Teringat mimpiku dalam memori dulu
Semua asa yang berakar padamu

Entahlah
Seakan kau panduku dalam tingkah laku
Kau laksana guru yang ajari ku untuk butuh
Ilmu sudah, dirimu pun sudah

Laksana terukir dalam batu
Namamu yang takkan lenyap sekalipun aku terlelap
Pun dalam mimpi kau muncul tanpa permisi
Dan nyanyikan satu melodi

Tak pelik asaku melayang semakin tinggi
Menyebut namamu adalah refleksku
Bahkan dalam pengabulan doa

Maaf jika yang terjadi hampir serupa
Dengan doaku selama itu
Tapi yakinkah engkau akan aku
Yang selama ini terus menatapmu di kejauhan
Dan tak yakin bahkan nadi terdalamku
Untuk jadi milikmu
Hidup bersamamu rasanya
Aku tak punya harga

---
Rimie Ramadan
26.06.2011

Di sela keraguan

23 Jun 2011

Tampilan Baru : Tampakkan Jati Diriku

Liat kan background blogku sekarang? Mungkin yang belum pernah ketemu atau kenal sama aku, kuperkenalkan. Gambar mirip tulang ikan di belakang adalah tanda tangan (ikon)ku sebagai Rimie Ramadan. Dibacanya Rimie.

Asal muasal logo ini adalah ketika aku SMP. Berawal dari pengen bikin 'new signature' yang simpel dan cepat. Eh, malah kebikin buat nama penaku ini. Rimie Ramadan.

Saking mudah dan cepat, aku kesenengan menuliskannya di setiap barang yang kupunya. Mulai buku tulis, buku teks, bahkan ada juga di tasku. Sejak saat itu, tanda ini menjadi identitasku. Bahkan melebihi tandatanganku yang asli.

Sampai suatu saat, ada cerita lucu yang selalu kuingat. Masa SMAku, dimana sekolahnya berasrama dan asramanya tak begitu jauh dari sekolah.

Siang itu, kami baru mendapat buku-buku tambahan dari sekolah. Lalu saat jam makan siang kami beramai-ramai menitipkan buku itu di asrama. Sepulangnya, kami berduyun menuju tumpukan buku itu dan sibuk mencarinya. Aku sempat nyeletuk "Haduh, banyaknyoo. Mana punyaku belum dinamain lagi!"

"Bukannya udah ya Ri?" seorang fellow (sebutan guru asrama-pen.) menjawab celetukanku.

"Hah? Masa sih Miss?" Aku ingat sekali aku belum menamainya. Hanya meninggalkan tandatangan yang mirip logo IeBe itu.

"Kayanya tadi Miss liat deh ada namamu," jawab guru itu.

Lalu seorang teman memanggilku, "Ri. Ini punyamu." dia memberikannya padaku. Aku menerimanya dengan tersenyum lega dan mengecek apa benar namaku tertera. Kubolak-balik tapi tak kutemukan.

"Tuh kan miss, gak ada.."

"Ini apa?" tunjuk fellow itu pada "tulang ikan" itu. Dan itu sukses membuatku ber-O ria.

Back to the main topic. Ni background kupilih basicnya hijau. Karena sejak dulu aku emang suka warna hijau. Warna alam tepatnya. Tapi lebih dominan ke biru dan hijau. Dan sekarang lebih gandrung ke hijau.

Warna hitamnya.. emm.. biar keren aja sih. Kalo jadi desktop wallpaper kan jadi bagus. Hehe. -norak amat alasannya.

Hemm, tapi aku merasa kurang sreg sih pas diterapkan di blog. kayanya berat sebelah. Ramai di sebelah kiri. Gimana menurut kalian? Komentar doong. Hehe. Maaf kalo desainnya nyakitin mata :D

Salam hijau dalam damai :)
Rimie Ramadan
23.06.2011

21 Jun 2011

The Diary

“Apa?! Kau tidak bercanda kan?”
“Buat apa aku bercanda? Kalau kau tak percaya, tanyalah kakaknya.”
Tanganku mendadak lemah dan ponselku terjun bebas ke atas kasur. “Ini.. tidak.. bercanda.. kan?”

Riri’s diary


08 September 2005
“Perkenalkan. Saya Riri. Kelas 8A. Hobi membaca, menulis dan bermusik.” Begitulah perkenalan singkatku pada para anggota senior di klub jurnalistik. Semua anggota tersenyum ramah padaku. Syukurlah, semua menyambut baik niatku untuk bergabung. Hari ini agenda mereka membahas majalah sekolah, dan aku langsung dapat bagian untuk meliput tentang keterlambatan siswa SMP Intera Vidi Jakarta yang akhir-akhir ini makin menjadi. Baiklah, ini laporan pertamaku! Semoga tercipta hasil yang baik.

15 September 2005
Rapat klub hari ini telah selesai. Beberapa anggota telah keluar ruangan. Aku pun hampir beranjak pergi ketika sebuah suara memanggil. Aku menoleh dan kudapati kak Tyo berjalan ke arahku.

“Ri, makasih ya.” Kata ketua klubku itu singkat.

“Hm? Makasih untuk apa ya kak?”

“Makasih, kamu udah mau bergabung di klub ini. Aku sangat senang dengan hasil kerjamu. Menurutku, tulisanmu itu ideal. Kata-katanya lugas dan sangat objektif. Baru kali ini aku menemukan artikel yang berkualitas.” Kak Tyo tersenyum memujiku. Aku terpaku sejenak. Sebelum ia memanggilku lagi dari arah pintu karena ia akan mengunci ruangan klub. Bahkan aku baru sadar kalau dia sudah di sana!

19 September 2005
Hm, aku ingin memberitahumu sesuatu. Entah kenapa sejak dia memujiku itu aku jadi sedikit terarah padanya. Mm, maksudku aku jadi sering bertemu dengannya. Lalu setiap kami bertukar sapa, seperti ada letupan kecil di dadaku. Siapapun, tolong terjemahkan ini.

22 September 2005
Ah, rapat hari ini kacau. Apa yang sebenarnya kulakukan hah? Yang berbicara kak Bimo, tapi yang kutatap kak Tyo. Yang memberiku masukan kak Irma, tapi suara kak Tyo yang sedang bersenandung lebih peka di telingaku. Maaf kak Irma, kau jadi harus mengulangi.

01 Januari 2006
Semarak tahun baru menggema di jagat raya. Aku pun termasuk yang merayakannya. Aku dan teman-teman klub mengunjungi Museum Fatahillah yang ada di Kota Tua. Beberapa teman telah bersiap dengan kamera, termasuk kak Tyo. Kudengar kak Tyo, kak Bimo dan Rana memang ikut klub fotografi di luar sekolah. Di beberapa edisi koran sekolah pun ada hasil jepretan mereka.

Aku, Dinda dan Nisa sibuk berlari ke sana kemari hingga akhirnya kami kehausan. Dinda dan Nisa pergi membeli minum sementara aku bersandar di Si Jagur menunggu mereka. Kelamaan menunggu, anganku jadi terbawa lamun.

Tiba-tiba ada kilatan blitz yang bersumber di sisi kananku. Aku menoleh. Dan ketika kamera itu bergeser, pipiku memanas. Ternyata kak Tyo yang telah memotretku. “Sepertinya kamu lebih cocok jadi foto model deh, Ri. Lihat nih, ekspresimu dapet banget!” ujarnya sambil menyodorkan kameranya padaku.

Aku sungguh penasaran dengan hasil fotonya, tapi entah kenapa tanganku menepisnya. “Ah, apaan sih kak. Aku kan wartawan, bukan artis! Hahaha..” aku tertawa. Tapi dia malah melihatku terus. “Oya kak, aku mau cari Dinda sama Nisa dulu ya! Mereka lama banget sih!” Aku pun meninggalkannya sebelum volume letupan ini mengencang.

15 menit kuhabiskan untuk mencari kedua sahabatku itu. Tapi aku tak menemukannya. Aku pun berjalan pelan kembali ke arah Si Jagur, siapa tahu mereka ke sana. Langkahku terhenti dan berusaha sembunyi dibalik sebuah pilar. Pemandangan di depanku sepertinya penuh ketegangan. Kak Dara, salah satu anggota kami yang juga primadona sekolah, sedang berdiri membelakangiku. Ia tampak serius berbicara dengan kak Tyo yang ada di depannya. Kulihat kak Tyo tersenyum dan menjawab, “Baiklah, aku mau.”

Deg!

Aku menutup wajah dan berjalan cepat meninggalkan tempat itu. Entah mengapa dugaan-dugaan tak mengenakkan melayang-layang di otakku. Letupan itu kembali lagi namun dengan perasaan panas yang menyengat. Entahlah. Yang aku tahu aku tak tahu kemana harus melangkah.

24 Juli 2006
Hari ini pemuda berperawakan sedang itu terlihat tampan dibalik tuxedonya. Ah, sebentar lagi namanya dipanggil dan dia akan menerima medali kelulusan itu. Lihat itu, ia telah berbaris dengan wisudawan dan wisudawati lainnya. Aku hanya dapat menatapnya dari sini. Di sudut panggung mini tempat lantunan paduan suara berseru. Entah kenapa, pedih rasanya.

Enam bulan yang terlewat, aku tetap memerhatikan dirinya. Walaupun perih karena yang selalu ada di dekatnya adalah Kak Dara, bukan aku. Bahkan waktu classmeeting sekitar 3 bulan lalu, aku ikut menonton pertandingan catur kak Tyo melawan kak Rus. Padahal aku sangat benci catur, apalagi menontonnya, akan sangat membosankan. Ini semua gara-gara dia menyuruh seluruh anggota klub datang dan memberi semangat untuknya. Entah angin dari mana, selesai pertandingan kak Tyo menghampiriku. Ia berbicara singkat tentang kepergiannya ke luar kota setelah lulus. Dia berharap aku bisa menggantikannya menjadi ketua klub jurnalistik. Berbagai kata “Mengapa…aku?” berkelebat. Tapi tetap kuiyakan. Ah, apakah karena dia meminta sambil tersenyum manis ya? Karena, aku sangat menyukai senyumnya.

Ketika dia naik ke atas panggung untuk menerima medali kelulusan, aku turun panggung mini ini untuk mengambil minum. Alibi? Tidak sepenuhnya. Aku memang haus kok. Ya memang, tak perlu kujelaskan bahwa aku belum rela melihat punggungnya menjauh. Kuambil segelas air, lalu kuminum sambil menghadap panggung. Kak Tyo telah menerima medali dan gulungan ijazah.

Sembari turun, ia melempar pandangan ke hadirin, terutama ke panggung mini di sisi kanan panggung itu. Tampak mencari seseorang. Saat matanya menuju ke arahku, ia berhenti dan tersenyum. Aku juga tersenyum sejenak dan langsung berbalik untuk mengambil gelas kedua. Mendadak tanganku gemetar, dan sebagian air tumpah ke bajuku. Untung air mineral. Lalu sebuah tangan merebut gelas yang kupegang. Ia mengisinya penuh dan memberikannya padaku. Aku menerimanya sambil menoleh ke wajah orang itu. Sedikit tersentak saat kulihat kak Tyo berdiri di sampingku. Ia tersenyum jahil. “Hati-hati, Ri. Nanti kamu berasa nyanyi di kamar mandi lho.” Ia tertawa, tapi aku hanya menatapnya dalam diam. Pemuda di depanku berhenti tertawa, “Sudah. Ayo, kembali ke habitat masing-masing.”

Selesai prosesi penyerahan semua wisudawan, saatnya sesi bebas. Kak Tyo berfoto bersama keluarganya di salah satu sudut. Kulihat pemuda di sebelah kak Tyo yang mukanya mirip tapi sedikit lebih gemuk. Ia terlihat lebih ceria daripada wisudawan berkacamata di sebelahnya. Selesai berfoto, ketua klubku itu menghampiri aku dan beberapa teman klub yang kebetulan jadi panitia juga. Ia menyeret serta pemuda gemuk tadi dan beberapa kakak anggota klub yang juga sudah lulus. Pemuda yang kini tampak mengenakan lensa kontak itu berdehem sebelum bersuara, “Teman-teman, bolehkah aku berfoto bersama kalian? Pertama kalian foto satu-satu sama aku, habis itu kita foto bareng-bareng. Tapi di luar aja ya.”

Dan sesi pemotretan itu berjalan lancar. Aku jadi yang terakhir difoto. Ia menyelipkan sesuatu di tanganku sebelum berpose. Aku hendak mengintipnya tapi keburu dihitung countdown. Dan setelah sampai di rumah, aku baru membukanya. Sebuah bros berbentuk bunga krisan.

----
Rimie Ramadan
21.06.2011
P.S. This post is just temporary and will be deleted in 2 weeks.

brtdy

This is special
I made it for you
Just you


Hey, there you are
Glad to see you
Smiling back to me
With your brightest face

I knew what made you feel so happy
And I am ready to give this sentences

Happy birthday to you
Hope you're always here
standing right beside me

As your age, my love for you
grew more and more
And I wish
it wouldn't disappear

Oh

Telah lama kupendam
Sebuah rasa
Yang tak pernah ada
sebelumnya

Rasa itu tumbuh
Seiring waktu
Penuhi hati
Yang kian memburu

Bintang di angkasa pun tahu
Aku jatuh cinta padamu
Maka hari ini izinkan aku

Oh, jadikanlah aku
Oh, pendampingmu selalu
Oh, di setiap langkahmu
Oh, dan setiap mimpimu, uuh

Ku berjanji kan menjagamu selamanya

---
Rimie Ramadan
21.06.2011

16 Jun 2011

The Heaven is to Be with You - part 3

“Hyaa!! Kau jangan melihatku begitu!!” Ahri menggembungkan pipinya yang bersemburat sewarna tomat. Sepulang dari konser, Kangin menemaninya membeli baju ganti bercorak tie-dye.

Kangin tampak mengerem cekikiknya. “Mianhe, mianhe. Habis kau ini lucu sekali pakai baju itu! Apalagi berada di tempat seperti ini.” Mata Kangin menunjuk atap kafe tempat mereka berada. Tempat itu memang cukup elit.

“Ini semua gara-gara ahjussi aneh itu!! Sialan sekali aku ketemu dia hari ini!!” rutuknya kesal.

“Sudahlah, sudah. Gak usah marah-marah lagi. Ntar cepet tua lho!” pemuda berbadan besar itu mengacak lembut rambut Ahri.

“By the way, makasih ya.” Lanjut pemuda itu lagi, “kamu udah datang ke konserku hari ini. Juga minumannya. Cheongmal gomawayo!”

Ahri menggeleng singkat. “Cheonma.”

Mereka beranjak selesai mengobrol. Sebelum keluar plaza, Ahri seperti melihat seseorang yang ia kenal di toko roti di seberang resto. Gadis itu tampak ragu, dan segera menyusul Kangin.


Jungmo mengantar Rimhee hingga ke depan pintu. Tapi ia agak kaget,dilihatnya gadis di sebelahnya yang juga beraut heran karena lampu rumahnya mati. Ia meminta Jungmo untuk menemaninya mengecek ke dalam terlebih dahulu. Pelan, ia membuka kunci rumahnya.

“Kriiieeet..” deritan pintu tak juga berkompromi.

Satu langkah, tak ada apapun. Dua langkah, tak ada apapun. Jungmo mengikuti di belakangnya. Langkah ketiga, juga tak terdengar apa-apa. Baru ketika dia akan menyalakan lampu, sesuatu tiba-tiba meraih kepalanya dan terdengar bunyi kecupan. Ia tidak dapat memastikan karena gelap tertutupi sesuatu itu.

Lalu lampu menyala. Tampak di depannya, sang kakak ipar membawa sebuah kue. “Saengil chuka hamnida.. Saengil chuka hamnida.. Saranghaneun Jung Rimhee-ssi.. Saengil chuka hamnida..”

Kemudian sayup-sayup suara gitar terdengar. Muncullah oppanya sambil bernyanyi dan bermain gitar diiringi suara istrinya. Rimhee terperangah. Ia menatap dua orang itu terpesona. Setelah lagu habis, Rimhee tersenyum sangat lebar pada keduanya. Tanpa dikomando, ia menghambur memeluk kedua kakak yang ia sayangi itu. “Yonghwa oppa, Seohyun onnie, gomawayo. Cheongmal gomawayo. Saranghaeyo!”

“Ne.. Urido, Rimhee-a.” bisik Seo-onnie.

“Hei, hei, hei. Kau ini, sudah besar tapi tak tahu adab.” Bisik Yonghwa pada adiknya itu. “Kau ini terlalu senang, sampai melupakan temanmu yang dari tadi berdiri itu.”

Rimhee menepuk jidatnya. “Oh iya!! Jungmo-ssi!” Ia menoleh ke arah Jungmo lalu menuntunnya masuk.

Jungmo menuruti gerakan Rimie hingga duduk di sofa bersama Seohyun dan Yonghwa. Wajahnya masih menampakkan keterkejutan. Lalu dirasakannya sentuhan di pundaknya.
“Mianhe, Jungmo-ssi. Aku ganti baju dulu ya. Kau di sini sama oppa dan onnie ya!” Jungmo mengangguk mantap. Rimhee beralih ke Yonghwa dan Seohyun. “Oppa, Onnie. Kalian ngobrol sama Jungmo dulu ya.”

Mata Jungmo masih mengikuti langkah Rimhee hingga seseorang menepuk pundaknya.
“Hey, makasih ya.” Yonghwa tersenyum puas.

“Ah, cheonmaneyo, hyung. Hajiman, buat apa ya?” balas Jungmo dengan tampang babo nya.

“Untungnya kamu ngajak Rimhee keluar hari ini. Dan sepertinya dia benar-benar lupa karena pekerjaannya. Jadi rencana kami berjalan lancar.” Yonghwa berkedip.

“Oh, itu hyung. Aku tidak sengaja kok. Bahkan aku tidak tahu kalau hari ini ulang tahunnya. Hubungan kami kan cuma sebatas rekan kerja.” Jungmo menghela napas. Jungmo pun ikut merayakan ulang tahun Rimhee dan menerima tawaran menginap di rumahnya.

Rimhee benar-benar bahagia malam itu. Hingga ia merasa lelah dan mengantuk. Ia pun undur diri bersama Seohyun yang juga sudah mengantuk. Tinggallah Jungmo dan Yonghwa yang malah adu kepintaran bermain gitar. Yonghwa juga sesekali bernyanyi. Kediaman Jung pun menjadi ramai malam itu.


Jungmo terbangun dan merasa haus. Ketika membuka mata, ia sedikit terkejut karena asing dengan tempat itu. Dengan cepat ingatannya pulih dan segera berjalan ke dapur. Ketika akan menutup pintu kulkas, ia mendengar pintu kamar di lantai atas terbuka. Dilihatnya siluet Rimhee berjalan menuruni tangga, juga menuju dapur.

“Kehausan juga, eh?” sapa Jungmo.

Rimhee yang setengah sadar, terkaget menyadari ada orang di dapur. “A, aah, iya. Aku mau bikin kopi. Kau mau?” tawarnya.

“Hemm, tak perlu. Kau saja silakan.” Jungmo menaruh gelas yang sudah habis airnya ke meja dapur dan bergegas kembali ke kamar.

“Ah, Jungmo-ssi, chakkaman!!”

Jungmo berbalik lagi. “Wae?” Ia menghampiri Rimhee.

“Bisa tolong.. temani aku?” tanya Rimhee malu-malu.

Jungmo menatapnya jahil. “Kau.. takut hantu?”

“Hm.” Angguk arsitek muda itu. Tangannya masih mengaduk kopi siap seduh di cangkir.

“Lebih takut mana, hantu atau berduaan denganku?” matanya jahil menggoda Rimhee. Membuat mata gadis itu terbelalak.

“Takut.. hantu.” Rimhee menjawab ragu sambil meyakinkan diri. Ia memegang erat cangkir kopinya. Menyeruputnya sedikit.

“Yakin takut hantu?” Jungmo mendekatinya. Langkah demi langkah hingga akhirnya berjarak 1 meter di depan Rimhee. Rimhee terlihat merapatkan kakinya. Gugup.

“Ya.” Suaranya dipaksa tegas.

Jungmo semakin mendekat dan mulai memainkan tangannya. Punggung tangannya yang kekar mengusap pipi Rimhee. Rimhee bergidik. "Kau tidak takut padaku?"

Kini ibu jarinya mengusap pipi Rimhee. Dengan satu gerakan cepat Jungmo mendekatkan wajahnya. Rimhee refleks memejamkan mata.



Sudah 3 jam Ahri membolak-balik badannya. Matanya tak kunjung terpejam padahal kantuknya begitu besar. Pikirannya masih terpusat pada kejadian tadi siang. Baju itu, memang bukan yang paling mahal. Tapi itu favoritnya, baru 2 minggu yang lalu ia beli. Pikirannya lalu melayang ke pemuda bermarga Kim.



Kyujong POV

Aku memandangi blackforest yang kubeli tadi sore. Sampai saat ini bentuknya masih belum berubah. Hanya batangan lilin yang ada di atasnya saja yang telah hancur. Ya, hancur. Sepertiku saat ini.

“Yang ke-23 ya? Ah, tak usah heran kalau aku ingat. Kau bahkan mengancamku jika aku lupa jadwal tidur siangmu.” Aku tertawa sendiri. Kalau dia ada, pasti sudah menertawaiku duluan melihat keadaanku.

“Saengil chuka Rimhee-ah. Saranghaeyo, dimanapun kau berada. Ah, iya. Berarti sebentar lagi bukan?” Aku beranjak mendekati bingkai foto berisi wajah wanita yang tak pernah kutemui selama 3 tahun itu. “Targetmu menikah. Apa kau lupa? Kau pernah memberitahuku, bukan? Ah, atau mungkin kau sudah? Siapa pemuda beruntung itu, apa teman kita juga?”

Even if my heart still beating just for you, I really know you are not feeling like I do.. an even if the sun is shining over me, how come I still freeze?

Ah, lagu kakakmu itu takkan kulupa. Apa kau tahu, lagu itu sangat merasukiku. Apalagi saat kita berpisah. Ya, kita memang bersahabat. Hanya bersahabat. Tapi dalam diam, aku menyukaimu. “Apa aku.. masih punya kesempatan?”

---
mianhe, singkat tapi lama updatenya. kalo di FF dipepet Jungmo, aslinya dipepet tugas. Mianheyo, cheongmaleyo. *bow*
semoga menikmati.. don't forget to give a comment :D

5 Jun 2011

White Rose : A Story of Kim Jinyeong and Kyoko Matsumoto

Episode 6-
“Kyoko-chan!” somebody called her. “Mr. Arata.. Mr. Arata!” That girl with curly hair is running towards them.
“Calm down, Dinda-chan. Here, take a seat please!” Louis points a chair beside him. That girl from Indonesia sit beside him. She counts her breath first, but Louis directly asks, “What happen with our Kyoko and Mr. Arata?”
Dinda smiles, showing her bakpao cheeks. “Guess what? Mr.Arata says that you passed into big 50 competitors of Summer Fashion Design Competition, congratulation!!!” Then she hugs Kyoko. The jealousy of th boys getting bigger but they also smiles proudly.
Kyoko seems frozen. Dinda release her up. “What happen with you, dear? Aren’t you happy?”
Come to awareness, she shakes her head, “What did you say? Me? Passed that big 50? Is it a dream?”
Immediately Louis and Dinda pinch her cheeks together. “Auh! You’re so mean!”
“Then you know it’s not a dream, is it Kyo? Congratulation.” Louis reach his palm out. And Kyoko catch it. Still with an unbelieving face.
“Ah. Kyoko-chan.” Called Dinda again. “Mr. Arata, called you to his office. He says that..”
But Kyoko has just running when Dinda doesn’t even finish her second sentence. Dinda, Louis, and all the remain students there just looking at her proudly.
***
Jinyeong have many questions in her head. Today his lecturer all was canceled because the lecturer are overseas and his classmates are getting so many invitation and ask him to go. But the biggest question today is how cheerful a girl beside him is. Is it because of yesterday’s picnic? Ah, you’re so big-headed Jinyeong-a!!
“Hey, Jinyeong-a!!” some voices make him come to nerves. “We come too far. My house is skipped!”
“Ah, yes. I’m sorry.”
They already arrived. Kyoko reach her bag out from back seat. Jinyeong’s eyes keep looking, when suddenly her face come closer and kiss him on cheek. Jinyeong frozen still. Kyoko says goodbye and open the door.
“Kyoko wait!!” That boy shouts her. “Did something happen? You act so weird today!” Kyoko keeps her smile, and now seems more mysteriously.
“I’m passed!” He get more confused til she says, “I want to tell my parents first, then I’ll tell you. Ok?”
***