25 Nov 2011

My endless love (2nd part)

Sebuah cahaya putih berkilau membuka kelopak mataku. Aku terbangun dalam pangkuan seorang gadis. Gadis manis berambut ikal. Ia tersenyum padaku. Manis sekali.

"Rahma?" aku menegakkan tubuhku dan menghadap sosok sahabatku itu. "Kenapa aku bisa tertidur di pangkuanmu?"

Ia tersenyum, "Entahlah, mungkin kau terlalu lelah bermain tadi. Lihatlah, gitarmu sampai kaupeluk."

Mataku mengikuti arah telunjuknya. Saat ini sang gitar sedang bersandar sembari mengamati kami. Aku tersenyum lalu tertawa kecil. "Ya, saking cintanya aku pada musik."

Rahma ikut tertawa kecil. "Bahkan saat bermain denganku kau pun tak lepas dari gitarmu. Dasar musisi profesional."

"Aam.." belum selesai kalimatku, tangannya mengalung di belakang leherku. Setengah tak percaya, mataku melotot. "Rah..ma?"

Gadis itu diam sejenak. Memeluk hangat diriku. "Rama, capailah impianmu itu. Berusahalah semampumu untuk menggapainya. Aku akan selalu mendukungmu."

Sementara aku merasakan sesuatu yang hangat membasahi bahuku. Aku mendorongnya sedikit, menatap wajah mungilnya. Matanya memerah, dipenuhi kristal paling berharga miliknya.

"Terimakasih Rahma. Tapi kau tidak perlu sampai menangis seperti ini. Kita melangkah bersama. Menggapai cita-cita kita dengan cara kita masing-masing. Aku juga akan selalu mendukungmu. Ya?" Tanyaku meyakinkan. Tapi yang kulihat, Rahma malah menunduk. "Ya?" kuulangi pertanyaanku untuk meyakinkan diri.

Dia menggeleng tipis. Bahkan kalau tak kauperhatikan, dia seperti diam saja. Baju putihnya bahkan tak bergoyang sedikitpun. "Tidak bisa." kalimatnya keluar bersama isak tangis.

"Mengapa tidak?"

"Karena.." ia menutup wajahnya, "karena tempat kita sudah berbeda.."

Dahiku mengernyit. 5 detik berselang, baru kumengerti maksudnya. "Oh iya, kamu pindah ke Korea kan? Tapi kan tidak ada alasan yang menghalangimu untuk menggapai cita-cita kan?"

Isaknya menderas. "Keadaannya sudah berbeda, Rama!" Ia menghapus lagi airmatanya. membiarkan zat bening itu mengalir dari celah jemari. "Sudahlah, kita hentikan saja percakapan ini. Aku tak mau debat denganmu."

Aku membuka tangan yang menutupi wajahnya. Telapak tanganku meraih wajah mungil tersebut. Bibirku menempel, mengecup lembut keningnya. Namun perlahan, sosok itu menghilang sesaat setelah tangisnya berhenti. Belum sempat terjawab keherananku, aku sudah ditarik oleh suara lainnya.

"Den, bangun! Hari ini piket kelas kan, Den?"

Kerjap! Mataku terbuka. Kembali ke kamarku dengan pemandangan kosong. Hanya Bi Inem menyisakan kepalanya di muka pintu. Aku mengacungkan ibu jari, tanda sudah bangun. Bibi mengangguk dan mengeluarkan kepalanya dari kamarku.

Aku bangkit duduk. Di antara sprei putih yang berantakan, kutemukan sebuah kertas yang sudah kucel. Kuambil dan kubaca kembali.

Halo Rama sahabatku,
Sedih untuk menyampaikan hal ini, tapi maaf, aku harus pergi. Ayah dipindahtugaskan ke Seoul 6 bulan ke depan. Aku dan ibu harus ikut, sementara Mbak Sarmi pulang kampung. Aku belum memberitahu siapa-siapa soal ini, kecuali Mio--tau kan? boneka kucing favoritku--yang sudah kuberikan pada keponakan Mbak Sarmi. Jadi kemungkinan besar kau orang pertama yang mengetahui kepergianku. Senang tidak?


Maaf jika kau malah sedih. Sejujurnya, aku juga baru diberitahu ayah saat beliau mengajak makan malam di luar seminggu lalu. Aku bahkan tak siap dengan semua ini. Meninggalkan semuanya dan hidup di negeri orang. Meninggalkanmu, sahabatku.


Oya, perpisahan seminggu lagi, bukan? Kau sudah mempersiapkannya? Cepat persiapkan! Jangan hanya bermain gitar! Secepatnya pilih Prom Queen mu. *Aku tau, kau ingin aku yang menjadi pasanganmu. Tapi mustahil, bukan? Jangan lupa sampaikan salamku untuk teman-teman dan ucapan selamat bagi yang menjadi pasanganmu.


Sudah dulu ya. Aku harus melanjutkan packing. Ingat, kalau mau terjun di dunia musik, lebih baik tenggelam, basah sekalian. Jangan hanya minta cipratannya. Kutunggu kau menjadi musisi profesional. Aku akan selalu ada dalam setiap petikan gitarmu.


Sahabat yang mencintaimu,
Rahma


Aku melipat surat itu. Merapikannya kembali. Memasukkannya ke dalam amplop marun yang diberikan Bi Inem tadi malam. Lalu segera ke kamar mandi untuk mandi dan mencuci wajah yang berairmata.

Sekolah tetap ramai seperti biasa. Walaupun sudah mau perpisahan, mereka tetap sibuk mengoceh, terutama wanita. Kaum berisik itu heboh membicarakan penampilan saat prom nanti. Aku melewatinya dan bertemu Ardi. Ia hendak ke perpustakaan untuk mengembalikan buku. Aku mengikutinya.

Di perpus, Aku dan Ardi mengantri pada loket pengembalian buku. Sambil menerawang, menyapu sudut perpustakaan, aku melihat TV Plasma di tengah ruangan tengah menyiarkan berita. Sepertinya tentang pesawat jatuh. "Akhir-akhir ini sering sekali pesawat jatuh." komentarku lirih.

Aku mendekati televisi itu, tertarik pada pesawatnya yang kali ini cukup besar dan puluhan nyawa bergelimpangan di dalamnya. Lalu, muncullah headline dari berita tersebut,

"Pesawat Garuda Rute Jakarta-Seoul Jatuh Terbakar"


TAMAT

---

Rimie Ramadan
25.11.2011

0 komentar:

Posting Komentar