20 Apr 2016

Kala

Ada kala dimana
Hati tak dapat mengenali
isi

Ada kala berupa
Mata serupa kolam
Hampir saja banjir

Kala
Tanpa terjemah

Deraan debu
Seperih mata pisau
Sehangat mentega di atas panggang

Kayu bakar pun akhirnya patah
Menyerpih, mengabu

---
Rimie Ramadan
20.04.2016

14 Apr 2016

King and Queen of Jannah

Biarkan aku bercerita tentang ayah dan ibuku untuk mengisi sore ini. Mungkin aku rindu.



Jika ada pertanyaan "Suara apa yang paling merdu yang pernah kamu dengar?"
Ingin kujawab, "Suara lantunan ayahku ketika mengimami Maghrib, dan suara ibu ketika mengaji."

Bagiku di masa kecil, shalat Maghrib adalah shalat yang istimewa. Layaknya sajian makan malam, adalah hal yang tak pernah ingin kulewatkan. Mungkin pada shalat yang lain aku sering khilaf atau bolong, tapi tidak untuk Maghrib. Karena Maghrib adalah bagian pendahuluan dari jam kualitas keluarga.

Ayah dan ibuku hanya pegawai kantor biasa. Mereka berangkat pukul enam pagi dan kembali sekitar pukul lima sampai tujuh petang. Bahkan jika harus lembur, jam 9 baru sampai rumah. Jika keduanya pulang tepat waktu, maka Ayah akan menjadi imam Shalat Maghrib. Apabila belum sampai, maka Ibu lah yang menjadi imam bagiku dan adik tunggalku. Lantunan Qur'an mereka terekam dalam memoriku sampai-sampai aku bisa menirukannya.

Ayah dan ibuku bukanlah ustadz dan ustadzah. Jadi dimaklumi jika ternyata seiring tumbuh dan belajar, kutemukan keliru-keliru kecil dalam bacaan mereka. Bila kukoreksi, mereka mengucapkan terimakasih. Aku sangat bersyukur terlahir di keluarga ini.

Ayah dan ibuku terlahir dari keluarga berlatar belakang Islam yang kuat. Pendidikan agama yang mereka terima sejak dini terutama yang membentuk karakter dan keseharian mereka. Lagi-lagi, momen Maghrib menjadi istimewa karenanya. Mereka secara bergantian akan tilawah sekitar 30 menit hingga 1 jam. Kadang diberi bonus pembacaan arelah tinya.

Pada masa pubertas, aku bandel dan sering menolak ajakan ibuku untuk berjamaah. Shalat sendiri di kamar mejadi preferensiku. PR dan tugas menjadi alibiku. Padahal kalau dipikir sekarang mah, lebih milih jamaah shalat daripada ngurusin tugas. Hehe.

Pada saat SMA, berhubung aku di sekolah asrama, maka imam shalat Maghrib (dan shalat lainnya) selalu berganti. Karena berlatar belakang islami, maka kualitas guru dan imam di sekolah tersebut tentu sudah tak diragukan. Suara mereka indah, makhraj dan tajwid benar, kualitas tinggi. Tapi tetap lantunan ayah yang menang di hati.

Kini, setelah tiba masanya berpikir untuk memilih kriteria ayah untuk buah hati di masa depan, kurasa aku ingin menyematkan "bacaan dan lantunan Qur'an yang baik dan benar, tartil," ke dalam daftar kriteria. Aku punya beberapa contoh yang aku taksir lantunannya, sayangnya mereka sepertinya sudah laku. Ada sih yang single dan cukup kukagumi, tapi sepertinya kecil bagiku untuk bisa menjadi pilihan hatinya. Sst.. sudah ah. Masih ada beberapa calon lainnya, nanti ketahuan :p

---
RRR, 14.04.16