24 Apr 2011

An Everlasting Happiness

Sinaran mentari menerobos tirai jendela kamarku. Mengusikku dari buaian tidurku. Kuusap mataku pelan dan mendudukkan badan. Memberi jeda untuk mengaktifkan seluruh indera. Lalu mengingat ini hari apa dan tanggal berapa. Ah, ini dia. Hari yang kutunggu.

***

Kazue berjalan pelan ke kamar mandi dan membuka pintunya pelan. Ia menatap bayangan wajahnya di cermin sebelum mengusapkan air dan facial foam ke wajahnya. Menatap lagi bayangan itu, bayangan yang berbeda dari yang dulu.

Habis dari kamar mandi, ia mengambil segenggam album foto. Hasil jepretannya dulu bersama teman-teman sekolahnya. Sebenarnya tidak ingin sepenuhnya nostalgia. Hanya karena ini adalah harinya.

Ia membuka satu yang dipilihnya. Ia menatap lembar-lembar itu dengan penuh kerinduan. Di sana, di tempat yang sudah lama tak pernah ia singgahi.

***

"Kazue!" panggilan seseorang membuatnya berhenti mengunyah bekalnya. Ia menoleh. Bocah yang memanggilnya tadi terlihat mengatur nafasnya. "Ternyata kau di sini. Ayo, ikut aku."

Kazue menutup bekalnya yang belum habis dan menjawab ajakan bocah itu, "Memangnya kita mau kemana, Takeru?" tanpa bergeming dari tempatnya.

"Kak Kazumi ulangtahun. Dia mau menraktir teman-teman yang dekat dengannya. Termasuk kita. Kau gak mau melewatkannya bukan?"

Kazue tampak ragu. Ia menatap bekalnya yang telanjur terbungkus rapi. Tapi bayangan itu sedikit kabur tertutupi genangan air matanya.

"Ayolah!" Takeru menyeret Kazue tanpa pikir panjang. Dia mengoceh sepanjang perjalanan. "Hei, Kazue-chan. Kalau kau jadi dia, apa kau juga akan pergi?"

Kazue mengangkat kepalanya menatap Takeru. Sedangkan bocah itu tak menengok sedikit pun. Kazue hanya menghela napas pendek. Ia tahu, Kazumi memang sudah lama mengincar beasiswa ke luar negeri itu. Dan ia juga sama seperti Takeru, tak ingin Kazumi pergi. Terlebih ada sesuatu yang berbeda yang ia rasakan pada Kazumi yang tidak ia temukan pada Takeru. "Mungkin saja."

Mereka akhirnya sampai di kantin sekolah. Di sebuah meja, ia melihat Kazumi sudah berkumpul bersama beberapa senior lain. Ia sedikit ragu untuk melanjutkan langkah. Tapi tangan Takeru memandunya. Mereka berdua menghampiri meja Kazumi.

"Selamat ulang tahun brother." ucap Takeru.

"Terimakasih Takeru," Kazumi membalas jabat tangan Takeru mantap. Ia lalu berganti menatap Kazue. Tapi dilihatnya gadis itu menunduk. "Hei, gadis kecil. Apa kau tak mau memberikan ucapan selamat padaku?" Ia mengelus lembut rambut gadis itu.
Kazue mengucek mata pelan dan mengangkat wajahnya sambil tersenyum manis, "Selamat ulang tahun kak. semoga tahun ini lebih baik dan bisa belajar di luar negeri dengan baik." Ia bagai teriris-iris ketika mengucap kalimat terakhir.

Kazumi tertawa kecil dan mengacak pelan rambut sepunggung Kazue. Ia lalu menepuk pundak Kazue. "Terimakasih, gadis kecilku. Aku akan ingat terus kata-katamu ini." Kazumi ikut tersenyum manis. Ia menyuruh kedua sahabat kecilnya itu duduk. Lalu ia melanjutkan dengan pidato singkat dan memberikan semangat pada mereka agar bisa menyusulnya.

"Oya, aku pingin bilang. Kalau ada dari kalian yang gak setuju aku ke luar negeri, aku gak jadi pindah. Karena aku gak mau pergi dengan membawa air mata kalian. Yang gak mau aku pergi, silakan angkat tangan." suruhnya, tapi nampaknya tak ada yang mengacung. "Ok, kalau begitu semua setuju ya." putusnya.

Setelah itu ia menyampaikan pesan untuk teman-temannya dan pesan terakhir untuk kami berdua. "Takeru, tolong jaga Kazue. Maafkan aku karena tidak bisa bermain dengan kalian lagi. Setidaknya untuk 7 tahun ke depan." Takeru bisa melihat senyum pahit yang ada di wajah Kazumi.

Tiba-tiba ia tertawa hampa. "Kok jadi melankolis gini sih? Sudahlah, ayo silakan pesan apa yang kalian mau. Aku bayar semua, seminggu lagi kalian pasti kangen dengan kebaikanku ini."

***

Bandara, 20 menit sebelum keberangkatan.

"Kazue, Takeru. Belajarlah yang baik ya. Saling menjaga satu sama lain. Terutama kau Takeru, sebagai laki-laki kau yang harus lebih banyak menjaganya. Kalau aku pulang nanti, kalianlah yang pertama kutemui setelah keluargaku. Aku janji." Katanya sambil tersenyum.

Kazue sekuat tenaga menahan air matanya. Takeru terus merangkulnya. Tapi ia tak kuat lagi, ia menunduk dan meneteskan air matanya. Tapi Kazumi malah mengangkat wajahnya. Ia mengusap air mata Kazue dengan ibu jarinya. "Sudah kubilang, jangan menangis gadis kecilku." katanya lembut.

Kazue melepaskan tangan Kazumi perlahan. "Ini bukan air mata sedih, kak. Aku bahagia. Aku bahagia bisa melihat kakak meneruskan cita-cita kakak. Aku janji, aku akan belajar dengan baik di sini. Agar bisa menyusul kakak. Ya kan, Takeru?" ia menoleh pada Takeru yang dibalas anggukan.

"Baiklah, kalau begitu. Aku bisa tenang belajar di sana. Sampai jumpa." lalu ia berjalan ke tempat check-in bersama kedua orangtuanya. Kazue dan Takeru hanya sanggup mengantar sampai sini.

Takeru mengeratkan rangkulannya pada Kazue dan membimbingnya pulang. Ia tahu, kalau Kazue berbohong. Ia tahu, bahwa Kazue adalah orang yang paling tidak rela kak Kazumi pergi, lebih dari dirinya. Ia sangat mengerti. Karena selamanya, mata Takeru hanya untuk menatap Kazue.

***

Kazue membolak-balikkan halaman di album itu. Rautnya berubah-ubah setiap melihat lembaran baru yang dibukanya. Ia berhenti pada satu foto, yang diambil sebelum peristiwa itu terjadi.

***

Kazue, Takeru dan Aiko (teman SMA mereka) berjalan pulang bersama karena rumah mereka searah. Aiko mengajak mereka berdua mampir ke sebuah photobooth. Mereka berfoto dan setelahnya menunggu foto itu di luar. Aiko dan Takeru begitu antusias menunggu. Sedangkan Kazue malah mampir ke minimarket di sebrang jalan yang sangat sepi.

Sekeluarnya dari minimarket tersebut, Ia kembali menyebrang jalan dan menghampiri dua temannya itu. Tapi, belum sampai di seberang jalan,kantung belanjanya robek dan beberapa barang jatuh berserakan. Ia memungutinya satu per satu.

Tiba-tiba ada sebuah truk besar yang muncul dengan kecepatan tinggi. Kazue tidak sadar dan terus memunguti barang. Takeru yang tidak sengaja melihat truk itu langsung berlari menyelamatkan Kazue. Ia mendorong Kazue ke sisi jalan dan hendak menyusul.

Tapi terlambat. Truk itu menabrak tubuh Takeru yang posisinya masih setengah di jalan itu. Tubuh Takeru terpental, kepalanya menumbur bagian belakang truk dan terjatuh ke aspal. Darah mengucur dari setiap inci tubuhnya, terutama di bagian kepala.

Truk itu bablas entah kemana.

Kazue dan Aiko terpaku sejenak melihat kejadian itu. Sesaat kemudian mereka sadar, dan menghampiri sosok Takeru yang lemas tak berdaya. Aiko langsung menelpon rumah sakit untuk memanggil ambulan. Sedangkan Kazue terpaku lemas di hadapan tubuh Takeru. Ia mengangkat kepala Takeru dan meletakkannya di pangkuannya. Ditatapnya wajah Takeru. Matanya terpejam. Kazue membelai wajah sahabat kecilnya itu, berharap ia membuka matanya. Airmata Kazue terus mengalir sampai ambulans tiba dan membawa mereka bertiga ke rumah sakit.

Kazue terus menunggui Takeru di rumah sakit. Aiko sudah pulang karena harus mengikuti les bahasa Inggris. Lalu ia melihat bibi Ayame, ibu Takeru, lari tergopoh-gopoh bersama Paman Kazuya menghampirinya. Bibi Ayame bertanya panik lalu Kazue menjelaskan semuanya. Matanya basah lagi, merasa bersalah karena dialah penyebab semua ini. Bibi Ayame memeluknya erat. Paman Kazuya mengusap punggung mereka berdua yang larut dalam air mata.

Ketika hari beranjak malam, orangtua Takeru memaksanya pulang. Karena besok pagi ia harus sekolah. Sesampainya di rumah, ia mencoba menghubungi nomor kak Kazumi, hendak mengabarinya. Tapi berkali-kali ia mencoba tetap tidak diangkat. Akhirnya ia menyerah dan mencoba lagi besok.

Esoknya, tetap nomor pemberian kak Kazumi itu tidak menjawab telponnya. "Baiklah. Mungkin ada sesuatu yang menghalanginya."

Kazue tidak lagi konsen dalam pelajarannya. Matanya hanya tertuju pada bangku kosong di sebelahnya. Secepat bel sekolah berbunyi, secepat itu juga ia berlari meninggalkan sekolah menuju rumah sakit.

Gadis bermata bening itu mencoba memperbaiki mukanya sebelum membuka pintu ruang ICU, tempat Takeru dirawat. Ia masuk dan melihat ketenangan di wajah paman Kazuya. Lalu ia melihat bibi Ayame yang sedang duduk di samping putranya. Ia tersenyum tipis melihat Kazue datang. Dan menoleh lagi pada Takeru. Mata Kazue beralih dan mendapati Takeru memandangnya. Ia mendekat, bibi Ayame bangkit dari kursinya dan keluar bersama paman meninggalkan mereka berdua.

***

Aku duduk di kursi yang tadi ditempati bibi Ayame. Memandang kepada sahabatku yang nampak tak berdaya. Aku menggenggam tangannya, menyalurkan kehangatan padanya. Air mataku mengalir lagi. Tangannya hendak mengusap wajahku, tapi kutahan.

"Jangan menangis." katanya. "Kau kan sudah berjanji pada kak Kazumi tidak akan bersedih lagi. Lagipula kau terlihat bodoh jika sedang menangis." ia tertawa hambar.

Kata-katanya malah membuat air mataku lebih lancar mengalir. "Kau, jangan tinggalkan aku." pintaku. "Kita kan sudah janji untuk menyusul kak Kazumi berdua. Kau dan aku. Kita." air mataku terus mengalir semakin deras.

"Maaf. Maafkan aku. Saat ini aku tidak yakin bisa memenuhi janji itu. Semalam aku mendapat pertanda.." omongan Takeru terhenti karena telunjukku mengunci bibirnya.

"Jangan.. kumohon jangan katakan itu! Kau harus sembuh, kau harus bisa pulih lagi. Kau kan janji akan terus menjagaku. Iya kan?" Takeru hanya bisa diam menatapnya. "Takeru. Take-chan. Jangan tinggalkan aku sendiri. Kak Kazumi sudah tidak di sini. Kalau kau pergi, aku harus bagaimana?" Aku menangis kencang dan menggenggam tangannya erat. Membenamkan wajahku di sisi Takeru.

"Kazue-chan.. Mungkin aku harus memberitahumu sesuatu." Aku mengangkat kepalaku. Menyimak kalimat yang akan dia sampaikan. "Sebenarnya, sejak SMP aku sadar. Aku mencintaimu."

Aku tersentak, tak percaya dengan apa yang sahabatku ini bilang. "Apa? Kau serius?"

Ia mengangguk lemah. "Percayalah. Aku mulai menyadari, ada sesuatu yang berbeda dari sekedar sahabat yang kurasa padamu. Lambat laun aku memerhatikanmu. Wajahmu yang tersenyum yang membuatku bahagia, aku yang ingin menghiburmu saat kau sedih. Dan aku yang menyadari bahwa kau mencintai kak Kazumi. Wajahmu yang tersenyum saat melihatnya, buatku bahagia sekaligus sakit. Tapi kebahagiaan itu mengalahkan rasa sakitku."

Aku mengeratkan genggamanku pada Takeru. Menatap senyumnya. Wajah itu begitu bersinar penuh harapan.

"Aku senang melihatmu bahagia. Maka dari itu, aku tak ingin melihat airmatamu, lebih daripada kak Kazumi. Aku ingin menjagamu semampuku, tapi ternyata takdir berkata lain. Sebentar lagi aku harus pergi. Mungkin ini giliran kak Kazumi menjagamu." Takeru menghela napasnya, tersengal. "Berjanjilah. Setelah aku pergi, carilah kak Kazumi. Minta ia untuk menjagamu, kalau bisa untuk selamanya. Sebab hanya dia yang aku percaya. Belajar yang baik, agar kau bisa menyusulnya."

aku mengangguk. Tak rela melihatnya kecewa.

"Sudah. Mungkin ini saja yang bisa kusampaikan. Bisakah kaupanggilkan orang tuaku di luar?" Ia memintaku halus. Kulihat airmata pun mengambang di mata hitamnya.

Aku mengangguk dan keluar, memanggil orangtuanya. Paman dan bibi masuk, sedangkan aku menunggu di luar. Tak berapa lama, aku mendengar bunyi menyengat dari dalam ruangan Takeru. Aku pun melepas tangiku kencang.

***

Aku menitikkan air mata mengingat kejadian itu. Dan harapanku akan kedatangan kak Kazumi tidak juga terkabul. Bahkan sampai tiga bulan setelahnya, saat dia menelpon ke rumah Kazue. Ia hanya mengucapkan belasungkawa dan bilang tidak bisa datang karena sibuk adaptasi dengan dunia perkuliahan. Dia juga bilang kalau nomor yang waktu itu dikasih dicuri orang. Jadi tidak bisa dihubungi.

5 bulan setelah telpon itu aku mendapat kabar gembira. Aku lulus beasiswa ke Perancis. Aku sangat senang, karena kak Kazumi juga berada di sana. Aku menyiapkannya dengan sungguh-sungguh. Hingga akhirnya, di sinilah aku berada.

Kututup album foto terakhir itu. Lalu memasukkannya lagi ke dalam laci di bawah rak buku.

Aku beranjak mandi. Karena setelahnya aku hendak berbelanja. Hari ini, 24 April 2011, aku akan memasak makanan yang istimewa.

***

Aku berjalan tergesa-gesa ke basement. Hingga tak sengaja menabrak seseorang di depan Délicafé. Barangku dan miliknya tercecer. Aku memunguti barangku.

"Désolé, tu vas bien? are you okay?" Tanya orang itu.

"Oui. I'm okay." Aku mendongak. Lalu kami terkejut, saling mendapati bahwa kami mengenal satu sama lain. "Kazumi-san?" tanyaku.

"Kazue-san?" balasnya. Kami tertawa kecil. Lalu ia mengajakku minum kopi di Délicafé. Ia membantuku membawa barang.

***

"Gak nyangka deh, bisa ketemu kamu di sini." Kazumi mengajaknya bicara menggunakan bahasa Jepang, agar lebih akrab. "Genki desu ka?"

"Hai. Genki desu. Aku juga gak nyangka bisa ketemu kak Kazumi di sini." Ia menghela napas dan teringat sesuatu. "Oya, kak. Selamat ulang tahun ya!"

Kazumi tertawa keras. "Ternyata kamu masih ingat. Aku saja sudah hampir lupa. Makasih ya. Sebagai gantinya, aku yang bayar."

"Terserah kakak. Hehe." jawabnya bahagia. Percakapan antara keduanya mengalir hangat. Kazue menceritakan peristiwa kecelakaan yang dialami Takeru. Sesekali Kazumi mengungkapkan kesedihannya yang belum bisa mengunjungi makam Takeru. Kazue juga jadi teringat akan sahabat mereka itu. "Seandainya dia ada di sini bersama kita."

"Iya. Itu akan lebih baik." Kazumi menyesap kopi untuk kelima kalinya. "Oya, apa dia sudah bilang padamu?" Ia menatap Kazue serius.

"Tentang apa?"

"Tentang.. perasaannya." wajah Kazumi menyiratkan rasa bersalah.

"Oh, itu. Sudah kak. Dia bilang sebelum dia 'pergi'. Dia jugalah yang menyuruhku untuk berusaha mencari kakak. Dan.. meminta kakak untuk menjagaku."

"Hm, begitu ya? Baiklah kalau sudah begitu. Lagipula, kita tinggal berdua sekarang. Harus saling menjaga."

Kazue sedikit berdebar mendengar kata 'berdua' dan 'saling menjaga' dari mulut Kazumi. Wajahnya merona merah.

"Kazue, kau tumbuh menjadi gadis yang cerdas dan cantik, ya." Kazumi menatapnya penuh arti. "Hm, rasanya aku benar-benar ingin menjagamu selamanya."

Kazue dan Kazumi merasakan debaran masing-masing. Kazumi mengatur napasnya sebelum melanjutkan.

"Bagaimana kalau, aku menikahimu?" ucap Kazumi gugup. "Would you be my wife, my little girl?"

Debaran hati mereka berdua membuncah mendengar kalimat itu keluar dengan sempurna. Tak perlu pengulangan lagi. Rona merah menguasai wajah keduanya. Dan hawa panas seakan menyelimuti tempat duduk mereka.

Kazue berpikir sejenak. Lalu ia menggeleng.

Kazumi kaget menatapnya, serasa hatinya robek. "Kenapa?"

Kazue menjawab, "Tidak sekarang,kak. Kita masih sekolah. Tunggulah hingga aku lulus. Aku siap menerimamu." jawabnya mantap dengan muka semerah semangka.

Kazumi tersenyum menatap gadis kecil kesayangannya. Gadis itu pun membalas dengan senyuman termanis yang pernah ia berikan. "Arigatou Kazue-chan, my beloved little girl." Ia memeluk Kazue penuh kelembutan. Lalu melepaskannya.

5 tahun kemudian, Kazue lulus dengan predikat Cum laude yang sangat memuaskan. Membuat ayah ibunya bangga dan mengabulkan permohonan gadis itu. Gadis itu hanya meminta izin ayah dan ibunya untuk menikah dengan Kazumi. Kazumi yang lulus dengan predikat yang sama setahun sebelum Kazue dan telah bekerja di sebuah perusahaan di Jepang, juga mengajukan proposal pada orangtuanya. Keempat orangtua menyetujui dengan syarat melangsungkan pernikahan mereka di Jepang. Dan pernikahan itu pun berlangsung dengan khidmat. Tak lupa mereka mengunjungi Takeru di pusaranya.

"Takeru, terimakasih telah menepati janjimu untuk menjaga gadis di sampingku ini. Kalau bukan karenamu, aku mungkin tak bisa bertemu dengannya lagi. Lihatlah, kini ia sudah menjadi gadis yang cantik, dewasa dan cerdas. Dan aku sudah menikahinya. Aku berjanji akan menjaganya sepenuh jiwa raga seperti yang kaulakukan." ucap Kazumi di depan pusara Takeru.

Kazumi mundur dan memberi tempat untuk istrinya. "Takeru, terimakasih dan maaf." sambung Kazue. "Terimakasih telah menyelamatkanku dari kecelakaan itu. Seandainya kau tak ada di sana, entah aku masih bisa berdiri di sini dan tersenyum padamu. Senyuman bahagia yang kauharapkan, yang membuatmu ikut bahagia." Kazue mulai terisak. "Juga, maafkan aku. Karena aku kau harus menderita. Maafkan aku Takeru, karena kau harus merelakan nyawamu untukku. Merelakan dirimu untuk membuatku tersenyum. Dan maafkan aku, yang tak pernah menyadari bahwa kau mencintaiku sehingga mampu berbuat seperti itu." Kazue mengelus pusara Takeru seakan wajah Takerulah yang ada di sana. Perlahan ia mundur kembali.

"Takeru, semoga kau tenang dan bahagia di sana. Amin." doa sepasang pengantin baru itu.

Kemudian mereka membungkuk hormat dan berjalan meninggalkan pusara Takeru. Takeru menatap mereka dari atas langit dengan senyuman paling bahagia yang pernah ia berikan.

The End.

---

Rimie Ramadan
24.04.2011

gimana, gimana?? komentarnya yaa.. saya publish di fb juga ding..
makasih dah baca en komen.. :D

23 Apr 2011

The Heaven is to Be with You - part 2



Senyuman tak lepas dari wajah Kangin pagi ini. Ia begitu gembira melihat wajah sepupunya berseri-seri dan sering senyum sendiri. Ia yakin, pasti ada sesuatu yang terjadi antara Jungmo dan wanita yang kemarin ditemuinya. Sekarang Jungmo tampak bersemangat dalam membuat lagu. Kangin bersyukur akan kehadiran Jung Rimhee. Juga temannya waktu itu.

“Jungmo-a.” pria itu menoleh malas tanpa menjawab, merasa terganggu dari keasyikannya. “Apa hari ini kau akan menemui wanita itu lagi?”

“Jung Rimhee-ssi maksudmu?” Kangin mengangguk. “Ya! Sesekali kau sopan sedikit kenapa? Bisa ambigu hanya dengan menyebut ‘wanita itu!’” Bentak Jungmo.

“Ya.. ya.. ya.. ya!! Tumben sekali kau membela seorang wanita begini. Apalagi baru kenal kemarin.” Pria bertubuh besar itu mendekatinya. “Apa karena dia, seorang Jung Rimhee, mampu mengubah Tuan dingin nan apatis terhadap perempuan menjadi hangat dan melindungi seperti ini?” Jungmo memalingkan wajahnya pada gitar kesayangannya.
“Memang apa urusanmu?” ia berusaha menutupi rasa canggungnya.

Lalu terdengar pintu studio terbuka lebar. Heechul dan Jay Kim masuk bersamaan. Lalu Heechul mendekat ke arah Jungmo mesra. Refleks Jungmo menghindar.

“Ya! Gammo the Rock Guitar. Kenapa kau menjauhiku? Kau marah huh?”

Jungmo gelagapan. “A..anni. Aku hanya tidak suka. Tolonglah, Heecchul-a. Berhenti bertingkah begitu padaku, kumohon..” semua tampak heran, kecuali Kangin. Kangin menepuk pundak Heechul.

“Sudahlah hyung! Ayo, kita latihan. Show nya 3 hari lagi kan?” Ia membujuk hyungnya yang kepala superbatu itu. Dengan wajah cemberut, Heechul pun menurut.
Mereka pun mulai menuju alat masing-masing dan mulai berlatih. Mereka dengan serius berlatih, karena tiga hari lagi, debut mereka sebagai Band of Brothers dimulai.

Jungmo nampak berkali-kali mencuri pandang ke jam dinding. Heechul yang sudah kesal dari awal memerhatikan tingkah aneh saudara jauhnya itu, tapi tidak berani mengganggu. Takut kalau-kalau Jungmo benar-benar marah padanya.

Setelah 1 jam berlatih, Kangin meminta istirahat. Ia kelaparan dan haus. Padahal sebelum ke studio dia sudah makan 2 mangkuk ramyeon ditemani Jungmo. Sekarang ia memaksa Heechul menemaninya. Awalnya Heechul ragu, nampak ada sesuatu yang ingin dibicarakan dengan pemuda yang masih sedikit mengutak-atik gitar di sudut. Tapi Kangin terlanjur melingkarkan tangannya di leher putih cinderellaman itu. Sehingga Heechul menurut saja apa kata Kangin.

Beberapa saat setelah mereka pergi, Jungmo tampak buru-buru melepas gitar kesayangannya dan berlari keluar. Jay Kim yang ditinggal sendirian memanggilnya, “Hei, Jungmo! Kau mau ke mana?”

Jungmo tak menjawab. Ia berlari ke luar gedung studio. Ia membungkukkan badannya. Sejenak berikutnya, suara meletup berkali-kali terdengar. “Ah, legaa.” Jungmo menarik napas sambil memegang perutnya yang tidak berat lagi.

Saat ia hendak berdiri kembali, seseorang menepuk pundaknya keras dan napasnya tersengal-sengal. Ternyata Jay Kim. “Hyung. Kenapa kau mengikutiku?”

Jay Kim melepas tangannya dan malah menunjuk-nunjuk Jungmo. “Kau, kau! Berani-beraninya, meninggalkan hyungmu sendirian di tempat seperti itu!”

Jungmo baru ingat kalau hyungnya itu takut dengan alam gaib. Lalu ia tertawa. “Ah, iya hyung. Mianhe, aku lupa. Habis, aku gak tahan lagi.”

***

Jam sudah menunjukkan pukul 2.15 pm. Tapi sosok yang ditunggunya belum juga datang. Akhirnya gadis itu memutuskan menghampiri pemain piano yang sedang memainkan Minutes Waltz. Sejak kemarin ia tertarik dengan permainan orang itu yang sangat indah dan halus. Tampak menceburkan seluruh jiwanya ke dalam bait-bait nada yang ia mainkan. Ia begitu penasaran, seperti apa rupa pemain piano ini.

Jaejoong yang merasa ada ketukan bunyi yang berada di luar permainannya, membuka kelopak matanya. Ia menatap ke arah gadis yang memandangnya dari sisi panggung. Oh, rekan kerja Jungmo hyung. Gadis itu terus menatapnya. Kagum. Tapi juga, seperti.. rindu? Mungkinkah? Entahlah. Ia tak peduli. Dan Jaejoong mengakhiri lagunya dengan manis, diikuti tepukan gadis itu dan pengunjung lainnya.

***

Jungmo POV

Baru saja aku melangkah masuk ke dalam kafe, tetapi aku merasa menyesal. Ada rasa tak suka saat melihat dia ada di sisi panggung dan terus menatap Jaejoong. Tanpa terasa kepalan tanganku mengeras. Sejenak kemudian Jaejoong mengakhiri lagunya dan disambut oleh tepukan dari penonton, termasuk dia. Aku menghampirinya dan menepuk bahunya.

“Ah, annyeong Jungmo-ssi.” Ia membungkuk pelan setelah melihat wajahnya terkejut melihatku.

“Annyeong, Rimhee-ssi. Sudah lama?”

Ia menggeleng pelan. “Tidak, baru 15 menit yang lalu.”

“Ah, mianheyo. Tadi sedikit ada masalah di studio.”

“Gwenchana Jungmo-ssi. Kalau begitu, mari kita duduk.” Ia mempersilakanku duduk di meja yang dipilihnya. Aku memanggil pelayan dan memesan kopi. Aku tidak menawarinya, karena di meja tadi sudah ada chocolate milkshake yang sudah hilang seperempatnya.

“Begini, Rimhee-ssi.” Aku berdehem. “Sebenarnya hari ini, aku ingin mengajakmu ke lokasi tanahku itu. Bagaimana?”

“Ya. Kurasa itu ide yang bagus. Oya, aku akan menghubungi teman-temanku dulu.” Rimhee mulai membuka tasnya mencari ponselnya.

“Ehm, teman?” tanyaku heran.

“Iya. Begini, kemarin Pak Minho menawariku dua orang asisten beliau untuk menemaniku dalam proyek ini. Karena sejujurnya, aku baru akan menjadi arsitek tim bila lulus ujian kali ini.” Jawabnya polos.

Aku tambah heran. Aku bertanya lagi. “Maksudmu, kau ini bukan arsitek sungguhan? Lalu, ujian itu maksudnya apa?”

“Belum, jangan bilang bukan. Ujiannya ya, proyekmu ini.”

***

“Mwo? Rumah pribadiku mau dijadikan bahan percobaannya?” Aku menatap takut ke arah gadis di sebelahku. Tanganku masih fokus di atas setir Ferrari hitam hadiah dari ayahku ini.

“Tenang saja, Jungmo-ssi. Desain yang kubuat memang tidak sebagus Minho-ssi. Tetapi, menurut beliau ide desainku unik dan segar. Makanya beliau mau mengangkatku lebih cepat daripada periode yang biasa dia berikan pada teman-teman. Percayalah padaku, Jungmo-ssi.”

Kata gadis itu tadi, sesaat sebelum pergi. Lagi,aku menatapnya. “Baiklah, sementara ini aku percaya. Tapi awas, kalau ada yang gak beres, habislah kau.”

Saat ini di dalam mobilku hanya ada kami berdua. Aku menyuruhnya untuk mengsms dua temannya agar menyusul ke lokasi. Tiba-tiba terlintas ide untuk mengerjainya. Kukencangkan sabuk pengamanku, Masukkan kopling, ganti gigi 4, tancap gas, dan memulai Wild Driving andalanku. *inget variety show BoB?

Rimhee tampak kaget dan air mukanya berubah ketakutan. Aku menahan tawa melihatnya. Ia menoleh padaku sekali-kali. Mukanya seperti bertanya padaku, “Kau kesurupan?” tapi aku tak peduli dan terus menatap jalan lurus sepi nan mulus di hadapanku.

***

“Haah..” Rimhee turun dari mobilku sambil menghela nafas. Tubuhnya terlihat tak berdaya.

“Hei, kau baik-baik saja nona?” kataku padanya. Ia hanya mengangguk lemas. “Perlu kuantar masuk ke dalam?” Tawarku sambil memegangi pundaknya. Tapi ia menepisnya.

“Terimakasih tapi tidak perlu, Jungmo-ssi. Aku bisa sendiri.” Tapi, sedetik kemudian tubuhnya terjatuh di tanganku. Ia pingsan.

“Ya Tuhan! Apa yang terjadi padanya? Apa ini karena Wild Drivingku?” Aku terpaksa menggendongnya menuju pintu depan rumahnya.

Kuketuk pelan pintu rumahnya. Kulihat seorang wanita membukakannya. Ia kaget melihat Rimhee di gendonganku dan menyuruhku membaringkannya di sofa. Lalu wanita itu memanggil seseorang. Dan muncullah seorang pria yang cukup tampan. Nampak lebih muda dariku. Lalu aku menjelaskan semuanya tak lupa memperkenalkan diri.

“Oh, begitu. Jadi kau Kim Jungmo itu? Aku Jung Yonghwa, kakak satu-satunya gadis ini.” Ia menyentuh kening adiknya itu. “Ah, nampaknya dia hanya demam. Seohyun-a, tadi dia tak sarapan dan belum makan siang kan?”

Wanita di sebelahnya menganggukkan kepala. “Iya, dari tadi dia gak keluar kamar deh. Cuma ke kamar mandi aja kuliat.”

Ya Tuhan, apakah dia seperti itu setiap hari? “Mian, lancang. Tapi, apa yang dilakukannya seharian di kamar seperti itu?” aku memberanikan diri bertanya.

“Bekerja, seperti biasa. Ia ingin lulus ujian ini secepatnya. Sudahlah, Jungmo-ssi. Tak usah dipikirkan. Kami akan merawatnya. Paling besok dia sudah sehat lagi. Terimakasih sudah mengantarnya. Kau bisa pulang sekarang.”

Aku pun pamit dan pulang ke apartemen. Dengan penuh rasa bersalah.

Jungmo POV end

***

Di sebuah taman kota tak jauh dari kafe Paradise.

Jung Rimhee tidak percaya dengan apa yang disaksikannya. Dia benar-benar sangsi bahwa salah satu dari empat manusia di atas panggung adalah kliennya. Kemarin, kliennya itu datang ke rumah dan memberinya tiket konser. Tapi pria jangkung itu langsung pergi begitu saja. Dan ia datang ke sini, dengan membawa kertas-kertas berisi konsep desain yang sudah hampir matang. Agar selesai konser ini, ia bisa berdiskusi dengan sang klien.

Mendadak riuh penonton di dekat gadis itu membahana. Dilihatnya seorang gitaris yang sangat ia kenal sedang berjongkok di panggung di hadapannya dan memainkan gitar itu dengan jenius. Seakan memamerkan kemampuannya pada dirinya. Gadis itu terpaku tanpa mengalihkan pandangannya dari wajah kliennya itu.

Gammo lalu berdiri dan berjalan ke sisi lain panggung. Cengirannya tampak bahagia. “Aku tak lebih buruk dari Jaejoong kan, hah?”

Sementara itu Jaejoong yang berada agak jauh dari panggung menyaksikan kakaknya dan sepupunya hanya tersenyum melihat aksi tadi. Jaejoong berbalik dan mencari toilet terdekat. Selesai dari toilet, ia bertabrakan dengan seorang gadis. Gadis itu terjatuh dan hak alas kakinya patah.

“Aah..” gadis itu meringis. Sepertinya kakinya keseleo.

“Mianhe, agasshi..” Jaejoong hendak menolongnya. Tapi saat ia menatapnya, gadis itu hanya menatapnya kaku. Jaejoong tersadar dan buru-buru menutup mulutnya. Karena gadis itu adalah Jung Rimhee.

Di tempat lain, Lee Ahri yang datang diam-diam hendak mengejutkan Kangin, sejak saat bertemu mereka menjadi akrab seperti sodara, sedang mengantri di kios minuman. Ia sedang menimbang, apakah membeli minuman untuk angin dan dirinya saja, atau sekalian keempat member grup band itu. Kangin sudah menceritakannya beberapa saat lalu.

Kemudian seorang pria yang mengantri di depannya di depannya berbalik dan menyenggolnya. Tanpa sengaja minumannya tumpah dan mengotori baju Ahri. Tapi pemuda itu terus berjalan, tidak menoleh sedikitpun. Ahri geram, tapi melihat pemuda itu berjalan pelan, ia menunggu minumannya selesai dibuat baru melabraknya.

“Ya! Ahjussi!!” bentaknya setelah menghampiri pemuda itu yang duduk di salah satu bangku di luar kerumunan penonton. “Ahjussi!!” matanya menatap sangar.

Pria itu masih santai menikmati minumannya.

Ahri yang sudah habis kesabarannya, membuka gelas minuman miliknya dan menumpahkan sedikit ke kaki pemuda tersebut yang langsung bangkit dan mengusap lututnya yang terkena basah.

“Kau mau cari gara-gara huh?” tanyanya kasar.

Ahri menutup gelasnya kembali dan menyedotnya membelakangi pemuda itu.

“Ya!!” panggil ahjussi itu lagi. “Kau, aku bicara padamu tau!” sambil membalikkan tubuh Ahri.

“Mwo? Kau memanggilku? Oh, baiklah apa maumu, ahjussi aneh?” Ahri menaruh minumannya dan Kangin di bangku. Melipat tangannya dan menatap tajam manusia di depannya.

“Seenaknya kau sebut aku Ahjussi Aneh! Namaku Kim Kyujong! Dan kau, sudah menumpahkan minuman ke celanaku, tau! Kau harus minta maaf!”

“Lho, bukankah itu wajar? Anggap saja karma, kau kan juga melakukan hal yang sama padaku! Lihat ini!” Ahri menunjuk bagian bajunya yang terkena minuman manusia bernama Kyujong itu. Kyujong mendelik melihatnya.

“A.. a.. ah, mi.. mian.. mianheyo. Aku tidak sengaja.” Kyujong gugup dan langsung berbalik pergi.

Ahri tersenyum puas. “Huh, dasar ahjussi aneh. Siapa namanya tadi? Kyu.. jong? Oke, aku akan mengingatnya.” Ia segera mengambil minumannya dan berjalan ke belakang panggung.

***

“Jungmo-ssi!” panggil Rimhee saat konser telah selesai.

Jungmo yang sedang mengepak gitarnya menoleh dan tersenyum. Ia segera menutup tempat gitar dan soundsystem tambahan, lalu berjalan ke arah wanita itu. “Tidak perlu formal seperti itu. Panggil aku Jungmo saja, atau Gammo.” Ia menatap Rimhee.

Rimhee mengernyitkan kening. “Waeyo?” ucapnya polos.

“Pakaianmu. Terlihat lebih asyik.” Rimhee memandang dirinya yang memakai kaos lengan pendek, celana jeans dan sandal, yang baru dibelinya di sekitar situ. “Ayo, kita cari tempat yang enak, baru bicara.”

Mereka duduk di sebuah bangku taman berhadapan. Jungmo mulai membuka percakapan.
“Terimakasih, sudah mau datang ke konser kami.”

“Ah, anni. Aku yang harusnya berterimakasih. Ah, selain itu ada hal yang mau kusampaikan.”

“Apa itu?”

“Tentang proyek itu. Aku sudah hampir menyelesaikan konsepnya, tapi aku ingin mendengar pendapatmu. Bagaimana?” Jungmo mengangguk. Lalu mengalirlah pembicaraan tentang proyek mereka itu. Tanpa mereka sadari, hari sudah semakin sore dan beranjak malam.

Kruyuuuk~

Perut Rimhee berbunyi. Ia menunduk malu. Jungmo tertawa kecil. “Baiklah, kita sudahi dulu diskusinya. Kita makan dulu saja. Aku juga sudah lapar. Kajja!”
Jungmo memilih salah satu restoran yang searah dengan rumah Rimhee. Biar sekalian mengantarnya pulang. Mereka makan tanpa ada obrolan apapun.

“Ah, kenyang. Terimakasih Jungmo-ssi, eh, Gammo-a.” Jungmo menatap puas dengan perut yang terisi.

“Lain kali bilang kalau kamu lapar. Jangan sampai pingsan lagi kayak dulu.” Ucapnya. Mereka berdua tertawa dengan ekspresi berbeda. Muka Rimhee memerah malu.

“Oya, Gammo-a. Apa Jaejoong-ssi, ah maksudku pemain piano di kafe itu adalah sodaramu?”

“Iya. Dia adikku. Memangnya kenapa?” hati Jungmo merasakan sesuatu yang tidak enak.

“Oh, tidak. Tidak apa-apa. Hanya penasaran aja. Kalian kakak beradik kandung? Tapi kok aliran musiknya beda?” tanyanya polos, tanpa menyadari tatapan lain di mata Jungmo.

“Ya, dia memang lebih suka klasik. Karena eomma yang mengajarinya dari kecil. Sedangkan aku, sedikit muak dengan klasik, sehingga aku beralih ke musik rock.” Rimhee hanya manggut-manggut. “Tapi aku bisa juga lho, mainin klasik, bahkan medley klasik-jazz-rock-blues. Mau dengar?”

“Lain kali saja, Jungmo-ssi. Sudah malam, aku khawatir Yonghwa oppa mencariku.”
“Baiklah, tidak baik juga wanita pergi malam-malam.” Mereka berdua bangkit lalu Jungmo membayar di kasir sementara Rimhee menunggu di luar. Mereka lalu bergegas pulang.

***

How is it? How is it? Ah, mianhe kalo bertele-tele banget bahasanya. Maklum, masih belajar. Hehe.. Komentarnya yaa.. :D

Ria R. Ramadan
23.04.2011

21 Apr 2011

The Heaven is to Be with You

Cast :
1. Jung Rimhee aka Rimie Ramadan
2. CN Blue's Jung Yonghwa as Rimhee’s oppa
3. SNSD's Seohyun as Yonghwa’s wife
4. TRAX's Kim Jungmo as Kim Jungmo
5. TVXQ's Kim Jaejoong as Jungmo’s brother
6. Lee Minho as Rimhee’s boss
7. Lee Ahri as Minho’s sister and Rimhee’s best-friend aka Ari Watanuki
Other cast : Moon Ahyoung(Uti), Krystal(Eka), Suju's Kangin(Kim Youngwoon), Kang Hyesoo(fiktif), TRAX's Jay Kim

Hope you enjoy that!! ^o^

---
Pagi yang cerah mengiringi semangat langkah gadis itu masuk ke dalam ruang kerjanya. Segera ia menyimpan tasnya dalam laci meja kecil di samping meja gambarnya lalu beranjak ke mesin pembuat kopi. Namun, belum sempat ia menyesapnya, seseorang menepuk pundaknya.

“Ya! Jung Rimhee, kau dipanggil bos ke ruangannya tuh. Chukkae.” Seringai tipis
terbit dari bibir seorang Kang Hyesoo. Laki-laki yang ruangannya tepat di sebelah Rimhee. Hm, mau apa si bos? Tumben dia memanggilku.

Rimhee berjalan ke arah ruangan bosnya dengan wajah penuh tanda tanya. Sesampainya di depan pintu bertuliskan Chief Architect : Lee Minho, ia pun memberanikan diri mengetuk pintu. Suara dari dalam mempersilakannya masuk.

“Bapak memanggil saya?” ia memberi hormat.

“Terimakasih telah datang. Silakan duduk dulu, Jung Rimhee.”

Setelah nyaman duduk, Pak Lee Min Ho mulai bicara, “Nona Jung Rimhee, aku ingin memberi kabar gembira kepadamu.” Ia menyilangkan jarinya dan menarik nafas. “Aku mempertimbangkan kenaikan jabatan untukmu dari drafter menjadi arsitek tim.”

Jung Rimhee berusaha menahan senyumnya. Ia tak mau terlalu gembira, karena kabar itu belum tuntas sepenuhnya. Ia kembali menyimak perkataan bosnya itu.

“Tapi kau tahu sendiri. Aku tidak akan memercayai orang begitu saja. Walaupun kinerjamu selama ini cukup baik, aku belum tahu kemampuan melobimu sejauh apa.” Rimhee mengangguk. “Untuk itu, aku ingin mengetes kemampuanmu. Anggap saja ini sebagai ujian.”

Lee Minho memundurkan kursinya dan nampak mencari sebuah map di antara tumpukan map di mejanya. Setelah ketemu, ia melemparnya dan mendarat tepat di depan Rimhee. Lalu kembali mendorong kursinya ke tempat semula.

Ia menunjuk map yang sedang ditatap bingung oleh gadis di depannya. “Ada seorang klien meminta didesainkan rumah pribadi konsep taman surga. Data-data klien tersebut ada di sini. Dia memintamu bertemu dengannya tiga hari lagi. Jika kau sukses dan ia tertarik dengan gagasanmu, maka kau diterima sebagai arsitek tim sekaligus aku akan menunjukmu langsung untuk proyek ini. Mengerti?”

Wanita itu tersenyum sumringah dan menjawab, “Ya, saya mengerti.”

“Baiklah, kau boleh pergi. Dan jangan lupa, tiga hari lagi di kafe Paradise.”

***

Di tempat lain, sebuah apartemen di kota Seoul.

“Ya! Kangin-a! apa hari Kamis besok kau kosong?.. Kosong? Gimana kalau kau temani aku menemui seseorang?.. Ha? Bukan, bukan kencan! Nanti saja kuceritakan, oke?.. Ah, tidak! Serius, ini bukan kencan. Hahaha. Aku kan tidak sepertimu. Ya sudah, sampai ketemu hari Kamis ya!” Pemuda itu menutup telponnya. Lalu ia beralih ke Kim Jaejoong, laki-laki yang sedang sibuk di depan keyboard.

“Joongie-a. Kau, hari Kamis ada jadwal di kafe nggak?”

Jaejoong mengangguk pelan.

“Aku bisa minta tolong nggak?” Tanya pemuda itu lagi. Kim Jaejoong mengisyaratkan ‘Ada Apa?’ dengan menepukkan kepalan tangan kanannya ke telapak tangan kirinya lalu ke dada kirinya.
***
Hari Kamis, di kafe Paradise

Pagi itu, kafe masih sangat sepi. Hanya ada dua meja yang ditempati sepasang muda-mudi dan dua orang pria paruh baya yang sepertinya sedang diskusi. Piano putih di sudut itu pun masih tertutup kain putihnya dengan sempurna. Baru kicauan burung yang memberikan melodi riang saat Jaejoong datang.

Jaejoong ke kamar mandi dulu untuk mematut rupa. Selanjutnya ia bergerak menuju piano putih itu dan membuka penutupnya. Ia merapikannya dan meletakkan di rak khusus yang terdapat juga buku-buku penuh partitur lagu yang cukup lengkap. Beberapa buku ditulis oleh Jaejoong sendiri.

Jaejoong membuka kap dari Grand piano itu agar suaranya lebih menyiratkan pesan yang ingin disampaikan lewat lagunya. Ia lalu menarik kursi dan duduk di atasnya. Ia menarik nafas sejenak. Saat jemarinya mulai menyentuh tuts, dua pria dan sepasang kekasih di kafe tersebut beralih pandang. Fokus pada seorang pemuda yang memainkan piano di sudut sepenuh jiwa. Bahkan pekerja yang ada di tamu itu ada yang memejamkan mata, menikmati.

Selesai lagu pertama, Jaejoong melirik jam dinding di kafe tersebut. Penonton yang sudah mulai bertambah dua meja, bertepuk tangan, tapi tak digubrisnya.

“Kalau ada seseorang yang duduk sendirian, dan tampak mencari seseorang, kau sms aku ya dik!” ia mengingat pesan kakaknya itu dengan seksama, “Bilang juga apakah dia laki-laki atau perempuan.” Jaejoong tersenyum kecil, ia sangat tahu kalau alergi kakaknya terhadap perempuan itu belum sembuh benar. Dan ia mulai memainkan lagu kedua. “Dia akan datang sekitar jam 9.”

Sementara itu, Rimhee baru saja akan berangkat jika tidak mendapat telepon dari sahabatnya, Lee Ahri, yang juga adik semata wayang bosnya. Ahri bosan dan mengajaknya untuk bermain. Tapi Rimhee menolak, malah mengajak Ahri menemui kliennya. Tak disangka, Ahri tertarik. Alhasil, Rimhee harus menjemputnya dulu sebelum ke kafe.

Setelah Ahri duduk di mobil Rimhee, Rimhee mulai menyalakan mesin sambil berkata, “Ahri, kamu boleh ikut. Tapi inget..”

“Jangan bilang-bilang Minho oppa kalau kau mengajakku. Ya kan? Cih, aku sudah hafal.” Ia mendengus kesal. “Yang penting aku keluar dari Sangkar Emas itu. Heerrggh.” Ia menekankan kata sangkar emas, menyindir rumahnya yang dijaga ketat.
Rimhee terkikik geli. Sahabatnya ini memang seorang anak pengusaha terkenal yang punya stok bodyguard lebih banyak dibanding presiden. Dan tampaknya kakaknya mewarisi bakat ‘laku’ ayahnya. Hehe.

Ia terus melaju hingga tiba di tempat yang dijanjikan. Ia dan Ahri pun keluar dari mobil. Sejenak ia mengagumi nuansa putih dengan detail pilar-pilar doric Yunani dan Air terjun di kedua sisi pintu masuk. Kesan terbuka sangat ditonjolkan dalam desain kafe ini. Apalagi dengan atap tenda yang disusun dengan rangka yang ditinggikan dari posisi balok. Istimewa.

“Hei!” Ahri menepuk punggung sahabatnya. “Jangan bengong aja. Udah hampir jam 9 lho. Kalo telat kulaporin Minho oppa, baru tau rasa deh.” Ahri menggerutu kesal. Mereka pun melangkah masuk dengan tangan Ahri bergelayut di lengan Rimhee.

***

Jaejoong sedikit memelankan ritme permainannya sambil mengamati dua wanita yang baru saja masuk ke tempat kerjanya itu. Yang satu nampak riang gembira. Sedangkan yang satunya terlihat kalem tapi juga bingung. Matanya nampak mencari-cari sesosok orang. Jangan-jangan dia? Jaejoong masih terus memerhatikan dua gadis itu yang memilih meja untuk berempat. Ya, pasti dia. Jaejoong mengangguk yakin dan setelah menekan tuts terakhir lagu tersebut, ia berdiri. Sebelum meninggalkan panggungnya, ia berbalik menghadap penonton dan memberi hormat. Ia lalu mengsms kakaknya.

To: Hyungie keren
Hyung, sepertinya orang yang kau maksud sudah tiba. Dia wanita, tapi dua orang, sepertinya temannya. Cepatlah ke sini sebelum kau dicap jam karet. Mengerti? 

From: Hyungie keren
Okay.. Thanks brother. ;)

Jaejoong segera kembali ke pianonya dan melanjutkan pekerjaannya.

***

“I’m sorry miss, may I sit here?” Sapa seorang pria yang baru saja datang bersama temannya.

Rimhee yang mengenali pria itu sebagai kliennya, lalu berdiri dan menyapa, “Ah, Kim Jungmo-ssi. Annyeonghaseo!” ia membungkuk sopan. Pria itu hanya membalas dengan anggukan kepala. “Silakan saja, Jungmo-ssi. Ahri-a, kau bisa pindah ke sebelahku kan?” Rimhee mengedipkan matanya mengancam. Gadis yang baru asyik bercerita tadi langsung menurut. Lagipula, dia kan yang memaksa ikut. Jadi ia tahu diri.

“Ah, gomawo mm..” Jungmo menatap gadis di depannya tajam.

“Jung Rimhee, nice to meet you.” Rimhee mengulurkan tangannya sambil tersenyum formal.

Tapi tampaknya Jungmo sedikit terkesima dengan aura wanita yang sedang menunggu uluran tangannya itu. Ia terdiam beberapa saat sebelum sadar kembali, “Ah, mianhe. Nice to meet you too, Jung Rimhee-ssi.”

Rimhee sedikit menahan tawa melihat pria di depannya yang tersenyum kikuk.

Sedangkan Ahri, ia membalikkan mukanya dan tertawa kecil tanpa sadar seseorang sedang menatapnya sambil tersenyum.

“Ah iya, Jungmo-ssi. Maaf aku membawa seorang temanku, tapi sepertinya ini tidak masalah denganmu.” Rimhee menatap Jungmo dan Kangin bergantian sambil tetap tersenyum.

Jungmo mengangguk. “Tak apa, Rimhee-ssi. Perkenalkan, dia Kim Youngwoon, sepupuku.” Jungmo memperkenalkan sepupunya.

“Annyeonghaseyo, choneun Kim Youngwoon imnida. Kau bisa panggil aku Kangin.” Pria bertubuh besar itu membungkuk sopan ke arah Rimhee dan Ahri.

Tiba-tiba Ahri memperkenalkan diri tanpa kusuruh. “Annyeong Kim Jungmo-ssi, Kangin-ssi. Perkenalkan, choneun Lee Ahri imnida. Adik dari Lee Minho-ssi sekaligus sahabat baiknya. Iya kan Rimhee-a?” gadis centil itu menyentuh bahuku dan menyeringai. Rimhee memberinya tatapan terserah-apa-maumu-lah.

Setelah sesi perkenalan itu, Jungmo dan Rimhee memisahkan diri untuk membahas proyek yang akan mereka kerjakan. Sesekali mata Rimhee teralih kepada pemain piano di panggung kafe itu. Dan Jungmo sedikit terganggu karenanya. Ia selalu mencoba mengembalikan perhatian Rimhee ke proyeknya.

Sedangkan Kangin dan Ahri malah ngobrol sendiri. Mereka sepertinya nyambung satu sama lain. Bahkan sesekali tawa mereka mengencang hingga membuat mata pengunjung menatap tajam dan dua orang yang bertanggung jawab atas mereka mendelik kesal. Dan beberapa menit setelahnya mereka berdua malah jalan-jalan di sekitar kafe.

Kim Jaejoong tersenyum saat tadi mendengar suara kakaknya di kafe itu. Kafe milik ayahnya yang diwariskan kepada kakak yang selisih setahun dengannya itu. Ya, ayahnya memang lebih memercayakan segala hal kepada kakaknya itu. Karena sejak kematian ibu mereka, Jungmo sudah terlatih merawat Jaejoong dan mengurus segala harta benda mereka. Tetapi Jaejoong malah trauma dan tidak mau lagi membuka suara terhadap siapapun, termasuk kakaknya. Namun begitu, ia sangat menyayangi kakaknya.
Sesekali ia melirik ke arah mereka. Ia tersenyum geli saat melihat kakaknya sedikit terpaku melihat rekan kerjanya yang lumayan manis. Tangannya masih setia bergerak lincah di atas piano bahkan hingga kakaknya dan temannya itu pergi.

***

Rimhee POV

Sampai di rumah, aku sibuk merekap data-data tambahan yang kuperoleh hari ini. Aku mencatat semuanya dengan rapi dan teliti. Bahkan tadi aku sempat merekam percakapan mereka melalui recorder yang tersembunyi di balik blazer. *ni cerita arsitek apa detektif ya?

Aku baru saja menelpon bos Lee Minho ahjussi, ketika kudengar pintu kamarku diketuk pelan. Aku pun beranjak membukanya. Lalu Seohyun onnie terlihat di muka pintu. “Ayo turun, makanannya sudah siap.”

“Baik onnie. Aku matikan komputer dulu ya. Onnie tunggu aja di bawah. Okay?” Kakak iparku mengedipkan matanya sebelum beranjak turun. Aku pun segera menyusulnya.

Di ruang makan, yang langsung berhadapan dengan dapur, aku melihat Yonghwa oppa masih sibuk di depan kompor, menaruh masakannya di atas piring. Sejak umma meninggal, Yong oppa memang melepas pekerjaannya dan mengerjakan lebih banyak pekerjaan rumah tangga karena appa yang sering lembur. Untung sekarang ia sudah menikah. Seohyun onnie sungguh hadiah terindah untuk keluarga kami.

“Ya! Rimhee-a, ngapain berdiri terus di situ?” teriakan oppa membuyarkan lamunanku. “Bantu onnie merapikan garpu dan sendok sana!”

“Ne..” aku menepuk dadaku. Berasa jantungku mau keluar aja.

Makan malam itu berjalan khidmat. Sesekali Yonghwa melancarkan sindirannya, seperti ini,

“Rimhee-a, proyek apa yang kaukerjakan sekarang?” tanya Yonghwa oppa.

“Emang kenapa? Mau tau aja.” Jawabku ketus.

“Biarin. Abisnya kamu seharian ini bener-bener gak keluar kamar. Coba kalau Onniemu ini gak manggil, bakal jadi setan buduk kamu di kamar melulu!” Aku langsung mencubit hidungnya. Ia memekik pelan.

“Ya! Oppa, aku di kamar tu kerja ya. Emangnya oppa, mesra-mesraan dalam kamar? Oya oppa, aku ditawarin naik pangkat jadi arsitek tim lho!”

“Oh ya? Wah kabar bagus tu! Trus gimana, kamu terima?”

“Ya iyalah oppa! Tapi aku masih harus jalanin satu ujian dulu. Makanya, tadi aku abis ketemu sama klien. Dia minta dibikinin rumah pribadi. Tau gak oppa, luas tanahnya berapa? 1 hektar!!” teriaknya.

“E buseet? Itu rumah apa sawah?”
“Mantan sawah, calon rumah.” Jawab Seohyun onnie ikut nimbrung. Aku mengacungkan jempol.

Oppa tertawa, lalu mengelus rambut onnie. “Kamu pinter, sayang. Hey dongsaeng-a, sesibuk apapun kamu, jangan lupakan kewajiban cewek. Belajar masak ni, sama onniemu ini.” Onnie hanya tersenyum bangga.

Aku mengangguk malas. Selesai makan dan cuci piring, aku kembali ke kamar dan mulai mengubur diri.

Rimhee POV end

***

Pagi itu Jungmo berangkat ke studio musiknya lebih pagi. Ia ada jadwal bertemu Jay Kim untuk mendiskusikan lagu yang telah ia compose. Ternyata sampai di studio, Jay belum datang. Akhirnya ia duduk di sofa ruang latihan.

Mendadak wajah gadis yang kemarin ditemuinya muncul di benaknya. “Hm, kalau dipikir-pikir sudah lama juga aku tidak berinteraksi dengan wanita. Apakah aku sesibuk itu? Mungkin sih, mengurus semua peninggalan papa : showroom mobil, restoran, toko alat musik dan juga studio musik ini. Hh..” ia menghela nafas panjang.

Lima detik kemudian, ponselnya berdering tanda sms masuk. “Apa itu dia?”
Cepat-cepat ia membuka ponselnya. Dan mukanya langsung lesu melihat Jay Kim yang mengirim sms hanya menanyakan posisinya. Ia membalas dengan malas.

***

“Duduklah, Rimhee.” Lee Minho mempersilakan dengan sopan. “Kudengar kau akan bertemu dengan Kim Jungmo-ssi lagi esok kan?” gadis itu mengangguk. “Aku akan menugaskan dua orang untuk ikut bersamamu kali ini. Orang itu adalah Moon Ahyoung dan Krystal. Bagaimana, apa kau setuju?”

Rimhee tersenyum sumringah mendengar dua nama itu disebut. Matanya berbinar dan menjawab dengan semangat 45, “Ya, saya setuju Pak!”

Lee Minho tertawa kecil sambil geleng-geleng kepala. “Aigoo, aigoo. Rimhee-a, jangan bermuka begitu kalau di kantor. Kau jadi mirip dengan Ahri, bikin aku pingin nyubit pipimu.”

---

Maaf yaa, masih ada part lanjutannya. Tapi belum dibikin. Ini juga gara2 bete belajar malah bikin ginian dari jam 1 mpe jm 4 pagi. Hehe..
Jangan lupa komentar, boleh di sini ato d FB. Makasih..

20 Apr 2011

White Rose : A Story of Kim Jinyeong and Kyoko Matsumoto

Episode 5-
They come with two cars. Jinyeong as the driver in his parent’s car, with his little brother as co-pilot and his parent sit on the back. Behind them, Kyoko’s family car with her parent sit on the front. Today has a bright sun and good air flow. A beautiful morning to go.
They arrive at the botanical garden about 9 am. Kyoko gets off from the car and stands amazedly. Jinyeong who is helping his mom, watch her smoothly.
“Hyung!” called his brother. He faced surprised. “If you’re always looking at her, I can’t take the things inside!”
Jinyeong moves his body. “Sorry bro.”
“Okay, everyone. We’re ready to in!” Mr. Kim leads the group. He walks in front of all. Then he chooses the place under the trees near the lake. It’s a good place, you can see the birds on their nest in front. And in the right side is a path walk leading to other attractions. Then left side, you can see fishes in the lake and feed them.
Kyoko stands up when finished helping set the place. She asks Jinyeong to go with her, to show him something. Her dad feel worries, but his wife calm him and made them promised to back before lunch. And Jinyeong accept it.
Along the path, Kyoko talks about how the botanical garden was at past, It seems not really changed. She talks how her friends almost fall to the lake when they play jokes. And she talks about how amazed she was when first time seeing the tropical flowers bloom.
“And the most amazed me is the Maze Garden.” She said.
Jinyeong watch her seriously.
“When I looked at the location map, I really want to go there. So I took my friends with me. But after we arrived, my friends were doubt about how screamy and high it is. They were scared being lost. So then they took us somewhere else.” She sighs.
Jinyeong grab her hand. “With me, you will never lost. Wanna try?”
Kyoko smiles happy, “Yes!”
They are in the Maze Garden attraction now. The guide is telling them which way to enter and out. “We have an offered here too. It’s for a couple like you. If you enter in separate ways, then you can meet inside and come out together, we’ll give you present.”
“Wanna try this?” Jinyeong asks.
“Yes.”
Then they become separated by the guides. They begin enter the maze. Turns where their heart leads. Again and again, they meet a fork ways, and just listen to their heart. Wherever they walk, It’s just grass all they see.
It’s become dizzies.
Kyoko’s leg suddenly fatigue.
But it’s not far from the center of the maze, where you can sit in the fountain wall. So she afford it. Just to reach the fountain.
She hears Jinyeong shouted her name and tell her he has reached the center. “I’m a bit more!” she shouts back.
As she reaches the fountain, she receives a relieve and happy smile from Jinyeong. “You’re here.”
“Ah!” she grabs her legs. “It hurts.”
Jinyeong comes to her.
The guides who are waiting outside and the people who are waiting for turns feel a bit worry. Because they take a bit long. But it’s come to relief for them. Because in couple seconds, they feel impressed. Because the two of them comes out with Kyoko on his back! And they got applause from audience. The guides give them present, too. As they promised. A couple T-shirt and take a shot together.