7 Sep 2011

The Diary


catatan sebelumnya : Diary pt 2 | Diary pt 1

Tyo’s diary
9 April 2011
Dahulu terasa indah, tak ingin lupakan
Bermesraan selalu jadi, satu kenangan manis
Tiada yang salah, hanya aku manusia bodoh
Yang biarkan semua, ini permainkanku
berulang-ulang kali

Mencoba bertahan sekuat hati,
layaknya karang yang dihempas sang ombak
Jalani hidup dalam buai belaka,
serahkan cinta tulus di dalam takdir
Tak ayal tingkah lakumu, buatku putus asa
Kadang akal sehat ini, belum cukup membendungnya
Hanya kepedihan, yang s’lalu datang menertawakanku
Engkau belahan jiwa, tega menari indah, di atas tangisanku
Tapi sampai, kapankah kuharus,
menanggungnya, kutukan cinta ini
Semua kisah, pasti ada akhir, yang harus dilalui
Begitu juga, akhir kisah ini, yakinku indah…
Tapi sampai, kapankah ku harus
Menanggungnya, kutukan cinta ini,
bersemayam dalam kalbu

Selesai hari ini kunyanyikan lagu itu. Lagu yang tak sengaja kudapat dari teman. Entah kenapa rasanya cocok untuk menggambarkan kacaunya aku saat mengantarnya ke depan apartemen.
Kuseret kedua telapak kakiku yang terasa berat melangkah. Mengapa rasanya berat sekali. Seperti beku. Ya, aku tahu. Rasa sukanya kepadaku yang dulu mudah kubaca, sekarang telah berbeda. Ia sangat menjaga jarak denganku. Entah karena apa, tapi sikapnya sungguh kasat mata. Bahkan bicaranya pun sangat hati-hati.
Haruskah aku memperjelas semuanya? Haruskah kunyatakan rasa ini, bahwa sejak dia masuk klub hingga tadi aku melihatnya pergi, bahkan saat aku memikirkannya seperti sekarang, aku mencintainya.
Haruskah? Atau harusnya aku membuang rasa ini, melupakannya, dan menyetujui tawaran ibu? Sungguh, gilaku hampir akut.


Riri’s diary
29 April 2011
Sudah 5 hari aku tidak berinteraksi dengannya. Baik ketemu atau via telepon. Ah, apa dia sedikit marah padaku ya? Memang tiga minggu ini aku sangat menjaga jarak dengannya. Bukan takut. Aku hanya tidak mau dia merasa bersalah atas kejadian saat kami bertemu kembali. Ditambah aku juga tidak mau itu terulang.
Aku sedikit rindu padanya. Ingin sekali kutelepon, tapi sejak 3 hari lalu ia tak bisa dihubungi. Ah, ada apa ya? Perasaanku merasa tak nyaman.

31 Mei 2011
Hari ini aku berjalan-jalan di sebuah pusat perbelanjaan. Aku sedang menunggu taksi untuk pulang, ketika kutangkap sosok kak Tyo dan err.. Dinda, sahabat kentalku waktu SMP. Kenapa mereka di sana ya? Dan hanya berdua? Tanpa komando, jantungku berdegup kencang sekali melihat pemandangan itu. Untung taksiku segera datang dan aku pulang dengan tergesa.


Tyo’s diary

31 Mei 2011
Ah, apa aku salah liat? Benarkah? Apa itu benar dia? Hhhsss… Ah, aku bimbang!! Kenapa aku harus melihatnya? Dan kenapa aku bersikap seolah aku tak melihatnya? Kenapa dia muncul saat aku sudah yakin menerima tawaran orangtuaku?

Maaf, jika kau hendak kembali. Tapi aku yakin dengan pilihanku. Dan aku tak berniat mengubahnya. Kumohon maafkan aku jika aku memutus kontak antara kita.


Riri’s diary

7 Juni 2011

Mengapa hari ini kelebat bayangan mereka muncul lagi? Aduh, mengapa aku begitu risih dengan bayangan-bayangan itu? Hapus, hapus, hapus!! Perintah otakku yang tidak dituruti hatiku. “Ah, sebaiknya kutelepon Nisa.”

Akhirnya aku menghubungi Nisa. Aku lega, saat terdengar nada sambungnya. Nomornya masih sama. “Halo?” sapa suara di seberang.

“Halo, Nisa. Apa kabar? Lama tak bertemu.” Kemudian aku sedikit berbasa-basi mengungkit kenangan-kenangan lama. Dan sampailah ke topik itu.

Aku bercerita bahwa aku tak sengaja melihat dua orang itu jalan bersama. Nisa menanggapi dengan antusias. “Wah, mereka sudah sampai taraf jalan bersama ya? Baguslah, artinya mereka semakin akur.”

“Hah, apa maksudmu?” tanyaku heran.

“Lho, kamu gak tahu? Mereka itu udah jadian, err.. tepatnya tunangan. Kalo gak salah ibu dan ayah mereka kerja di perusahaan yang sama, lalu menjodohkan anak mereka. Begitu yang kudengar.”

“Oh..” belum selesai aku berkomentar, dia sudah memotong lagi.

“O iya. Kamu berarti belum tahu ya? Pernikahan mereka akan dilangsungkan minggu depan, lho! Kita berangkat bersama ya!!” Ujarnya semangat.

What? Menikah? “A-a-apa?! Kau tidak bercanda kan?” Seketika jantungku berdetak lambat

“Buat apa aku bercanda? Kalau kau tak percaya, tanyalah kakaknya.”
Tanganku mendadak lemah dan ponselku terjun bebas ke atas kasur. “Ini.. tidak.. bercanda.. kan?"
Tak lagi kupedulikan ponsel itu sampai Nisa menutupnya. Ajakan itu bagai petir yang menamparku di siang bolong. Bagaimana bisa, aku tidak diberitahu apa-apa, tiba-tiba datang ke pestanya? Seperti apa raut mukaku nanti? Terlebih, bagaimana kacaunya hatiku nanti?? Aku berlari ke kamar mandi dan menangis di sana.

0 komentar:

Posting Komentar