21 Jun 2011

The Diary

“Apa?! Kau tidak bercanda kan?”
“Buat apa aku bercanda? Kalau kau tak percaya, tanyalah kakaknya.”
Tanganku mendadak lemah dan ponselku terjun bebas ke atas kasur. “Ini.. tidak.. bercanda.. kan?”

Riri’s diary


08 September 2005
“Perkenalkan. Saya Riri. Kelas 8A. Hobi membaca, menulis dan bermusik.” Begitulah perkenalan singkatku pada para anggota senior di klub jurnalistik. Semua anggota tersenyum ramah padaku. Syukurlah, semua menyambut baik niatku untuk bergabung. Hari ini agenda mereka membahas majalah sekolah, dan aku langsung dapat bagian untuk meliput tentang keterlambatan siswa SMP Intera Vidi Jakarta yang akhir-akhir ini makin menjadi. Baiklah, ini laporan pertamaku! Semoga tercipta hasil yang baik.

15 September 2005
Rapat klub hari ini telah selesai. Beberapa anggota telah keluar ruangan. Aku pun hampir beranjak pergi ketika sebuah suara memanggil. Aku menoleh dan kudapati kak Tyo berjalan ke arahku.

“Ri, makasih ya.” Kata ketua klubku itu singkat.

“Hm? Makasih untuk apa ya kak?”

“Makasih, kamu udah mau bergabung di klub ini. Aku sangat senang dengan hasil kerjamu. Menurutku, tulisanmu itu ideal. Kata-katanya lugas dan sangat objektif. Baru kali ini aku menemukan artikel yang berkualitas.” Kak Tyo tersenyum memujiku. Aku terpaku sejenak. Sebelum ia memanggilku lagi dari arah pintu karena ia akan mengunci ruangan klub. Bahkan aku baru sadar kalau dia sudah di sana!

19 September 2005
Hm, aku ingin memberitahumu sesuatu. Entah kenapa sejak dia memujiku itu aku jadi sedikit terarah padanya. Mm, maksudku aku jadi sering bertemu dengannya. Lalu setiap kami bertukar sapa, seperti ada letupan kecil di dadaku. Siapapun, tolong terjemahkan ini.

22 September 2005
Ah, rapat hari ini kacau. Apa yang sebenarnya kulakukan hah? Yang berbicara kak Bimo, tapi yang kutatap kak Tyo. Yang memberiku masukan kak Irma, tapi suara kak Tyo yang sedang bersenandung lebih peka di telingaku. Maaf kak Irma, kau jadi harus mengulangi.

01 Januari 2006
Semarak tahun baru menggema di jagat raya. Aku pun termasuk yang merayakannya. Aku dan teman-teman klub mengunjungi Museum Fatahillah yang ada di Kota Tua. Beberapa teman telah bersiap dengan kamera, termasuk kak Tyo. Kudengar kak Tyo, kak Bimo dan Rana memang ikut klub fotografi di luar sekolah. Di beberapa edisi koran sekolah pun ada hasil jepretan mereka.

Aku, Dinda dan Nisa sibuk berlari ke sana kemari hingga akhirnya kami kehausan. Dinda dan Nisa pergi membeli minum sementara aku bersandar di Si Jagur menunggu mereka. Kelamaan menunggu, anganku jadi terbawa lamun.

Tiba-tiba ada kilatan blitz yang bersumber di sisi kananku. Aku menoleh. Dan ketika kamera itu bergeser, pipiku memanas. Ternyata kak Tyo yang telah memotretku. “Sepertinya kamu lebih cocok jadi foto model deh, Ri. Lihat nih, ekspresimu dapet banget!” ujarnya sambil menyodorkan kameranya padaku.

Aku sungguh penasaran dengan hasil fotonya, tapi entah kenapa tanganku menepisnya. “Ah, apaan sih kak. Aku kan wartawan, bukan artis! Hahaha..” aku tertawa. Tapi dia malah melihatku terus. “Oya kak, aku mau cari Dinda sama Nisa dulu ya! Mereka lama banget sih!” Aku pun meninggalkannya sebelum volume letupan ini mengencang.

15 menit kuhabiskan untuk mencari kedua sahabatku itu. Tapi aku tak menemukannya. Aku pun berjalan pelan kembali ke arah Si Jagur, siapa tahu mereka ke sana. Langkahku terhenti dan berusaha sembunyi dibalik sebuah pilar. Pemandangan di depanku sepertinya penuh ketegangan. Kak Dara, salah satu anggota kami yang juga primadona sekolah, sedang berdiri membelakangiku. Ia tampak serius berbicara dengan kak Tyo yang ada di depannya. Kulihat kak Tyo tersenyum dan menjawab, “Baiklah, aku mau.”

Deg!

Aku menutup wajah dan berjalan cepat meninggalkan tempat itu. Entah mengapa dugaan-dugaan tak mengenakkan melayang-layang di otakku. Letupan itu kembali lagi namun dengan perasaan panas yang menyengat. Entahlah. Yang aku tahu aku tak tahu kemana harus melangkah.

24 Juli 2006
Hari ini pemuda berperawakan sedang itu terlihat tampan dibalik tuxedonya. Ah, sebentar lagi namanya dipanggil dan dia akan menerima medali kelulusan itu. Lihat itu, ia telah berbaris dengan wisudawan dan wisudawati lainnya. Aku hanya dapat menatapnya dari sini. Di sudut panggung mini tempat lantunan paduan suara berseru. Entah kenapa, pedih rasanya.

Enam bulan yang terlewat, aku tetap memerhatikan dirinya. Walaupun perih karena yang selalu ada di dekatnya adalah Kak Dara, bukan aku. Bahkan waktu classmeeting sekitar 3 bulan lalu, aku ikut menonton pertandingan catur kak Tyo melawan kak Rus. Padahal aku sangat benci catur, apalagi menontonnya, akan sangat membosankan. Ini semua gara-gara dia menyuruh seluruh anggota klub datang dan memberi semangat untuknya. Entah angin dari mana, selesai pertandingan kak Tyo menghampiriku. Ia berbicara singkat tentang kepergiannya ke luar kota setelah lulus. Dia berharap aku bisa menggantikannya menjadi ketua klub jurnalistik. Berbagai kata “Mengapa…aku?” berkelebat. Tapi tetap kuiyakan. Ah, apakah karena dia meminta sambil tersenyum manis ya? Karena, aku sangat menyukai senyumnya.

Ketika dia naik ke atas panggung untuk menerima medali kelulusan, aku turun panggung mini ini untuk mengambil minum. Alibi? Tidak sepenuhnya. Aku memang haus kok. Ya memang, tak perlu kujelaskan bahwa aku belum rela melihat punggungnya menjauh. Kuambil segelas air, lalu kuminum sambil menghadap panggung. Kak Tyo telah menerima medali dan gulungan ijazah.

Sembari turun, ia melempar pandangan ke hadirin, terutama ke panggung mini di sisi kanan panggung itu. Tampak mencari seseorang. Saat matanya menuju ke arahku, ia berhenti dan tersenyum. Aku juga tersenyum sejenak dan langsung berbalik untuk mengambil gelas kedua. Mendadak tanganku gemetar, dan sebagian air tumpah ke bajuku. Untung air mineral. Lalu sebuah tangan merebut gelas yang kupegang. Ia mengisinya penuh dan memberikannya padaku. Aku menerimanya sambil menoleh ke wajah orang itu. Sedikit tersentak saat kulihat kak Tyo berdiri di sampingku. Ia tersenyum jahil. “Hati-hati, Ri. Nanti kamu berasa nyanyi di kamar mandi lho.” Ia tertawa, tapi aku hanya menatapnya dalam diam. Pemuda di depanku berhenti tertawa, “Sudah. Ayo, kembali ke habitat masing-masing.”

Selesai prosesi penyerahan semua wisudawan, saatnya sesi bebas. Kak Tyo berfoto bersama keluarganya di salah satu sudut. Kulihat pemuda di sebelah kak Tyo yang mukanya mirip tapi sedikit lebih gemuk. Ia terlihat lebih ceria daripada wisudawan berkacamata di sebelahnya. Selesai berfoto, ketua klubku itu menghampiri aku dan beberapa teman klub yang kebetulan jadi panitia juga. Ia menyeret serta pemuda gemuk tadi dan beberapa kakak anggota klub yang juga sudah lulus. Pemuda yang kini tampak mengenakan lensa kontak itu berdehem sebelum bersuara, “Teman-teman, bolehkah aku berfoto bersama kalian? Pertama kalian foto satu-satu sama aku, habis itu kita foto bareng-bareng. Tapi di luar aja ya.”

Dan sesi pemotretan itu berjalan lancar. Aku jadi yang terakhir difoto. Ia menyelipkan sesuatu di tanganku sebelum berpose. Aku hendak mengintipnya tapi keburu dihitung countdown. Dan setelah sampai di rumah, aku baru membukanya. Sebuah bros berbentuk bunga krisan.

----
Rimie Ramadan
21.06.2011
P.S. This post is just temporary and will be deleted in 2 weeks.

4 komentar:

Rin Asami Nashannia mengatakan...

ini one shot? udh selesai? it can't be!

Rimie Ramadan mengatakan...

belum og.. baru setengah dr draft yg d laptop..

Rimie Ramadan mengatakan...

fyi, ini quart-true story lhoo.. :)

Anonim mengatakan...

wow...

Posting Komentar