6 Okt 2015

Self Dialogue

*self dialogue*
Hey Mie, blogmu meh 10 tahun tapi kok banyak gak mutu isinya? Gak kayak yang lain, yang "layak jual". Udah gitu banyak hutang konten yang gak jelas. White Rose? mana kelanjutannya? Si Kyoko akhirnya mati apa enggak? Dokumentasi kepergian juga gak dilanjut. Mbok ngeksis kayak temen-temenmu itu lho.

Uhuk.

Sudah hampir 9 tahun sejak aku menulis pos pertama di blog ini. Mulai dari menjadikannya sebuah diary, bahkan sebagian besarnya hingga sekarang tetap diary, hingga pos tentang perjalanan. Sejak judul blog masih sekedar "Rimie Ramadan", dengan template seadanya. Lalu pengubahan judul jadi "A Little Corner of the Green Jail" sejalan aku masuk SMA IIBS RI. Hingga akhirnya menjadi "Pondok Rimie" dengan tagline "tempat kaburnya Rimie Ramadan". Yep, this is my hut. If you may not find me, try to look at the posts here. For maybe i post it from another IP address. I also find tranquility in this blog. I find it as my hut-to-hide.

Pada waktu senggang setelah nulis entri baru, aku sering membaca ulang pos lama. Cekikikan, sedih, rindu, marah, bete, semua itu keluar sendiri saat membacanya. Emang sih, aku gampang "baper" istilah anak sekarang, semacam larut dalam perasaan. Makanya aku sendiri heran aku mendadak jadi masuk arsitektur. Dan akhirnya kewalahan. Hahaha.

Seheboh apapun blog komersil, blog perjalanan, makanan, atau apapun itu, kayaknya aku akan menjaga Pondok Rimie sebagai pencecar perasaan. Isinya kalo bukan diary, puisi, cerpen, yaa disisipin entah studi atau berbau religi. Haha.

Hei Pondok Rimie, tetaplah bersamaku selalu. Sabar ya kalo aku lagi "ngumpet". Hehe..

Memberi

Ketika kita memberi, menandakan kita ingin melihat orang yang kita beri menjadi bahagia. Kita memberi, karena kita sayang. Kita memberi, karena kita merasa cukup dengan apa yang dimiliki, karena itu kelebihannya kita beri. Kita memberi, karena sadar orang yang kita beri lebih membutuhkan dari kita, tanpa bermaksud mengangkuhkan diri bahwa kita “punya” atau meremehkan si penerima bahwa dia “kurang”. Ketika kita memberi, kita tidak berharap imbalan apapun melebihi sebuah senyuman.

Senyum bahagia yang membuat kita yang memberi turut merasa bahagia, karena rasa sayang kita diterima dengan rasa syukur pada Pencipta. Cukup pada Sang Pencipta, tak perlu kepada kita. 

Cukup pada Sang Pencipta, tak perlu kepada kita. Diulang? Ya, karena selama ini ada yang salah kaprah dalam menerima sebuah “pemberian”. Pemberian yang tulus, ia artikan sebagai sebuah hutang budi yang harus dibalas secara langsung, tunai. Hal ini yang justru memutarbalikkan makna dari sebuah pemberian.
Mengartikan pemberian sebagai sebuah “suap” yang harus dibalas agar “putih” kembali. Bahkan justru membuat sang pemberi merasa tidak enak untuk memberi lagi di kemudian hari. Terkadang timbul rasa jengkel karena mendapat “balasan” yang terlampau hebat. Huft, entahlah. Adek lelah, bang.