29 Sep 2016

Diam

Diam adalah ruang

Ruangku berteriak
Ruangku mengamuk
Ruangku mencaci

Ruangku menangis
Ruangku menerawang

Ruangku gempita
Ruangku bersuka



Aku meredam ekspresi


Aku diam




berpuisi

---
Rimie Ramadan
29.09.2016
Yogyakarta

15 Sep 2016

Kegagalan paham

Warning: posting ini lagi-lagi berisi curhatan sampah yang aku lagi bingung mau buang dimana. Jadi kalau pembaca merasa jijik, mohon segera tinggalkan laman ini. Ttd, Rimie


Aku galau.

Yap. Aku gak merasa ragu untuk berkata aku galau.
 Galau kenapa? Krisis identitas, jelas!

Walaupun gak cuma aku pastinya yang ngalamin ini.

Tahu gak, sebab apa?

Entah kenapa aku kembali kasmaran dengan arsitektur. Di saat aku hampir putuskan berpaling meninggalkannya. Oh my goodness!

Menggali arsitektur itu menarik. Menemukan desain yang membuat pipi merah, tanpa memedulikan biayanya.

Ah, rasanya seperti terlambat jatuh cinta! Menemukannya justru saat mengerjakan Tugas Akhir orang lain. Well, sebenarnya punyaku juga sedikit menarik, sayangnya goresanku baru agak lumayan bagus nya sekarang. Hiks.

Aku jadi bingung banget men. Apa selama ini cuma gegara nge-deal Pra TA dengan Mr.Y yang super lama, lantas aku mencaci, memaki, mengambinghitamkan, dan menutup mata dari arsitektur secara menyeluruh? Padahal mungkin, aku memang menyimpan cinta sejati kepadanya. Mungkin.

Ri, Mie, lo refleksi diri deh. Apakah cinta datang terlambat?

Ataukah ada sisi yang belom bisa lo lupakan dari sang "mantan" (in this case: architecture)?

Atau sebenernya lo pengen mengarah ke jurnal arsitektur? Kan lulusan arsitek gak melulu soal berkutat di ranah lapangan/perencanaan? See Imelda Akmal.

Atau lo jadi pembuat biografi dan mengulas arsitek/profil bangunan di dunia secara mendetail dalam Bahasa? Bisa juga!

Lingkup sarjana arsitektur itu masih general. Lo justru bisa manfaatin ke-general-an itu kan? Ibarat lo ngerjain lagi beberapa mata kuliah tapi diseriusin. Hehehe.. Siapa tahu jadi semacam ensiklopedi atau rujukan bagi mahasiswa lainnya.

Well, di sisi lain, tetep coba lamar kerja ke lembaga bergengsi seperti yang ortu lo mau. Ya kan?


Tetep aja sih, balik ke kalimat pertama. Gue masih galau.

5 Sep 2016

Kemuning dari Merapi (3)

"Bakpao, bakpao! Masih hangat!"

Karina mengernyit. Dialihkannya pandang secepat kilat ke luar kios. Sepeda beretalase penuh kepulan uap itu muncul dari bingkai pintu. Kernyitnya mengendur. "Huft, syukurlah!"

Gadis itu kembali sibuk dengan ponselnya.

Tok! Tok! Tok! "Hallooooouuu, Mbak-pao Karina yang cuantiiikk! Kangen gak sama aku??" seorang gadis berperawakan kurus berwajah manis muncul di depan meja etalase.

"Ning! Jangan panggil 'bakpao' lagi kenapa sih?" protes Karina. "Eniwei, kamu lama banget deh. Kemana aja?"

"Sori Rin. Tadi aku dapat telpon dari bapak. Jadi aku lama di kampus." jawab Kemuning sembari melucuti atribut bermotornya. Di saat yang sama, Karina berkemas untuk pulang.

"Tumben bapakmu nelpon. Ada apa e, Ning? Kamu mau dijodohin po? Hihii.." Goda Karina sambil memoleskan pemerah bibir di wajah bundarnya.

"Enggak yo, aku disuruh pulang malam ini. Kata bapak, ada tamu datang dari Jakarta."

Karina hanya mengangguk dan memasukkan kembali 'alat tempur wajah'. Kecepatannya berkemas meningkat ganda. "Garda hampir sampai. Kutitip kios sama kamu ya." pesannya. "Oh ya, jangan pulang larut. Sewon-Merapi lumayan lho!"

-- bersambung --
Rimie Ramadan
05.09.2016