10 Agu 2011

Mimpi, Pertanda?

Sekitar 3 hari dari hari ini, aku membuka mataku dengan tersenyum. Aku memeluk guling dan menarik selimutku lebih erat. Seolah jika aku melakukannya, mimpi itu akan berlanjut. Seakan mimpi itu nyata, aku bergumul dalam selimutku menghangatkan diri.

"Hah.. sampai sudah di bukit ini!!" ucpku ceria. Ketika itu aku bersama beberapa orang yang aku lupa wajahnya. Kami bermain-main cukup lama. Sementara hawa perlahan menyejuk dan seketika kami berpandangan. Tak lama kemudian, butir putih mulai turun dari langit. Laksana awan yang diparut hingga berbutir kecil. Perlahan, dengan kilapnya menembus bidang terdekat. termasuk tanganku. Melebat, menyeruak dan dalam sekejap semua pemandangan hijau itu berubah menjadi hamparan salju. Indah dan terasa nyata.

Lalu 2 hari setelah itu, atau malam kemarin, aku kembali terbangun dengan mimpi yang berkesan. Namun kali ini aku kebagian mimpi tentang seorang anak kecil. Entah siapa anak kecil itu, aku juga tak kenal. Bahkan tak tahu. Mendadak menjadi tokoh utama di mimpiku. Dan membuatku banjir airmata.

Aku melihat kelahiran bayi kecilnya. Dia menangis meraung, berbarengan dengan ditaruhnya bayi merah lain di sebelahnya. Tak dinyana, keduanya bertetangga dekat. Keduanya tumbuh bersama. Hingga suatu hari, si anak tokoh utama ini harus pindah ke ibukota. Meninggalkan kampung halamannya untuk waktu yang cukup lama, hidup di rumah kerabatnya tanpa didampingi orangtua.

Persahabatan yang kental ternyata dapat diperdaya oleh waktu.

Suatu hari yang biasa, si anak ini disuruh pulang kampung oleh ibunya. Menurutlah si anak dan esoknya segera menuju kampung halamannya. Sesampainya di rumah, ia melihat kedua mata ibunya lebam seperti bekas menangis ditambah beberapa jejak airmata di pipinya. Ia bertanya pada ibunya perihal keadaan beliau. Namun sang ibu hanya menyuruhnya bersiap-siap, agar segera berangkat. Tanpa banyak omong sang anak lagi-lagi menurut. Usianya yang masih cukup muda ketika itu, mungkin sekitar 8 tahun, masih dalam masa ogah membantah. Baju yang ia siapkan ternyata telah diganti oleh sang ibu begitu ia selesai mandi. Kemeja putih, dasi hitam dan setelan hitam. Ia berpikir, "Apakah seformal itu acaranya?" sampai harus memakai setelan.

Lagi-lagi ia menurut. Ia memakai baju itu dan bersisir. Beranjak dari kamar, ia melihat ibunya telah rapi dan siap di depan pintu. Mereka pun berangkat. Sepanjang jalan sang ibu tak henti menyapu sudut matanya. Si anak tak henti menanyai dirinya sendiri.

Sampailah mereka di suatu gedung yang mirip rumah duka. Dan ternyata benar. Dari luar terlihat busana-busana gelap dan pita-pita hitam berjajar. Pertanyaan berikutnya adalah "Siapa?" dan segera ia mendapat jawabannya.

Di peti yang berukuran lebih kecil dari peti dewasa, ia melihat jenazah teman kecilnya terbujur dengan busana terbaiknya. Matanya memejam, tak ada lagi kilau nakalnya. Tangannya menyatu di dada. Seakan kedamaian telah menyelimutinya. (di sini aku mulai ikut menangis)

Tubuh si anak gemetar. Ia segera berlari keluar, meninggalkan sang ibu. Ia berhenti di undakan dekat sebuah kolam dan terisak sendirian. Cukup lama, sebelum ada seseorang menghampirinya. Orang itu memberikan sebuah amplop dan kotak berpita.

Ia membuka amplop berisi surat tersebut. Isaknya kembali menderas. Surat itu berisi permintaan maaf dan ucapan terimakasih. Serta mengungkit beberapa kenangan mereka. Belum cukup, ia membuka kotak berpita. Isinya foto2 beragam sejak mereka masih bayi hingga sesaat sebelum keberangkatannya ke ibukota.

Dan seketika tangis itu membawaku ke kehidupan nyata. Dan aku masih terus menangis entah untuk berapa lama. Percaya atau tidak, ini mimpiku. Bukan karangan semata. Entah untuk apa mimpi ini hadir di tidurku. Yang jelas satu hal yang kupetik, "Persahabatan itu dijalani lebih dari satu pihak, namun jika pihak lainnya telah tiada, persahabatan itu tetap nyata."

Ria R Ramadan
10.08.2011

0 komentar:

Posting Komentar