13 Apr 2012

Treasure Hunting :)


The bond that links your true family is not one of blood, but of respect and joy in each other's life.
- Richard Bach

Hari Kedua, Mesin Waktu yang Tak Lagi Berdetak

Bangun tidur pertama di kota Tabot ini selayak bangun di saat lebaran. Langsung mendengar obrolan para om, tante, pakde, bude, mbak, mas. Karena jumlah penghuni bertambah nyaris 3x lipat, 4 kamar mandi yang ada terpaksa harus bersabar untuk mendengar guyuran air berturut-turut. Dan kami, harus sabar mengantre.

Rencana awal jam 8 akhirnya juga baru berangkat jam setengah 10. Karena jadwal yang ibuku buat terlalu pagi menurut mbak Dina, yang menjadi tuan rumah. Bahkan tempat yang akan kami kunjungi baru buka pukul 9 pagi. Tahukah tempat apa itu?

Jejak pertama kami adalah menuju kediaman almarhum presiden Soekarno. Bisa dibilang rumah ini merupakan "rumah dinas" beliau sewaktu diasingkan oleh Belanda. Rumah ini pun "diawetkan" dan dijadikan museum untuk melindungi barang-barang milik Bung Karno. Sayangnya, dana perawatan museum yang berasal dari APBD sangatlah minim. Sehingga banyak cacat dan kerusakan yang belum sempat diperbaiki. Tapi saya salut, barang-barang milik beliau masih awet, bahkan sepeda onthel yang pada masa produktifnya dipakai bersama ibu Fatmawati, nampaknya masih kuat untuk ditunggangi. Sayangnya Kumbang itu sudah dibingkai kaca.

Dari rumah Soekarno, kami menuju ke Monumen Hamilton yang sudah direnovasi. Tapi sebelumnya, ibuku yang photo-addicted meminta berhenti di monumen Thomas Parr yang penampilannya sudah tak cantik lagi. Lumut dan Jamur santai bersandar dominan di satu sudut. Sarang laba-laba pun sudah riang bergelantung di sana sini. Yah, setelah mendengar cerita petugas rumah Bung Karno tadi, aku tak heran jika monumen ini tak bisa lagi dikategorikan bangunan heritage. Biaya perawatan APBD Bengkulu minim!

Lalu bagaimana dengan kondisi monumen Hamilton yang jadi destinasi kami berikutnya? Jujur saja, melihat bentuknya sekarang, aku ragu bahwa ini sebuah monumen penanda sejarah. Bentuknya sudah direnovasi dan lebih terlihat seperti Namsan Tower yang setengah niat. Kalau dilihat dari desain renovasinya yang ditempel di gerbangnya, gubahan massa monumen itu nampak seperti bunga Rafflesia yang memang khas Bengkulu. Tapi harus dilihat dari helikopter dulu, baru ngerti.

Setelah kecewa yang agak berat terhadap dua monumen barusan, kami beranjak menuju Benteng Marlborough. Dari Monumen Hamilton, atas inisiatif mas Adi kami melewati rute kampung pecinan Bengkulu untuk menuju ke Benteng Marlborough atau Fort Marlborough. Ada sesuatu yang unik di sini. Bukan kampung pecinan dengan sisa-sisa lampionnya, melainkan sebuah gapura merah dengan atap pagoda dan dua buah naga di kedua sisinya. Pintu gapura ini tepat berada di pertigaan yang merupakan batas kampung pecinan dan depan pintu gerbang Fort Marlborough. Seakan gerbang ini ingin memperjelas akhir cerita kampung pecinan setelah akhirnya Belanda memasuki kawasan mereka dan mendirikan benteng tersebut.

Akhirnya, puncak perjalanan kali ini adalah di Benteng Marlborough. Di sini, bersemayam 3 makam orang Inggris yang salah satunya adalah jendral (maaf saya lupa). Dulunya ini adalah benteng pertahanan dari serangan maritim. Lalu sekarang beralih fungsi menjadi museum, sama seperti rumah Soekarno. Keadaan di sini juga agak tidak terawat, tapi masih lebih mending daripada monumen Thomas Parr. Lumut terdapat di beberapa sudut. Lantainya, saya tak bisa bedakan mana yang warna asli, yang cat hitamkah atau yang beton saja? Tapi keadaan udara di dalam sini cukup  nyaman. Selain banyak ventilasi samping, ternyata di bagian atapnya pun terdapat chimney yang membuang udara panas.

Oya, jalur sirkulasi di sini ada dua, pertama tangga yang sangat sempit, hanya sekitar 60 cm saja, dan sebuah ramps yang cukup lebar namun curam. Mengutip salah seorang guide yang sedang menjelaskan kepada sepasang newlywed dan seorang kakek, ramps yang sangat curam itu dipakai untuk mendorong kereta-kereta meriam ke atas. Yah wajar sih, orang Belanda kan gede gede badannya, kuat lah ya. Oh ya, di setiap podium benteng terdapat cincin besi besar yang fungsinya untuk mengikat tali di depan meriam. Jadi, meriamnya tidak cuma didorong dari bawah, tapi juga dibantu tarikan di atasnya. Oh ya, benteng ini punya view yang super bagus ke arah laut. Makanya di sini malah banyakan foto-foto daripada dengerin guide nya. Parah nih.

Udah deh, abis itu tinggal main-main ke pantai. Trus pulangnya kita dapet musibah mati lampu setelah sempat mati air. Yang akhirnya kaya ikan asin dijemur dan lampu baru nyala jam 10 malem. Fuuh.

0 komentar:

Posting Komentar