21 Des 2025

Memasak dalam perspektif Rimie

 2 jam lalu, aku berbincang dengan pakde dan sepupuku. Sebuah topik tentang memasak muncul saat aku menyajikan bakso hasil Gofood. Lalu aku ingin sedikit mengutarakan suara kecil di otakku di sini.

Ini pandanganku sendiri. Sebagai seseorang yang tidak terlalu akrab dengan dapur di waktu kecil, memasak bukanlah suatu kewajiban dalam rutinitasku sebagai seorang istri. Sehingga sampai saat ini kami masih berdua saja, kurasa memasak seminggu sekali sudah cukup.

5 tahun lalu, awal memulai rumah tangga, kami tinggal dekat dengan pasar. Aku belajar belanja sendiri. Aku mengikuti porsi dan bahan yang ada di resep. Persis, plek ketiplek. Rasanya lumayan. Bisa dimakan lah. Yang bikin patah hati adalah semua makanan itu bersisa sepanci penuh, basi lalu dibuang. Bukan karena tidak doyan. Tapi frekuensi dimakannya tidak sesuai dengan porsi yang ada. Suami yang pulangnya larut. Dan aku yang cepat bosan atau malas makan malam. Alhasil paling hanya berkurang 2 centong sayur. 

Dari situ mulai meraba cara lain. Sekali belanja untuk seminggu. Resikonya sayurnya tetap sama beberapa hari, dengan lauknya variasi 3 T. Tahu, tempe, telur. Masih belum mengubah keborosan ini. Kadang sampai muak dan lemas. Karena yang tadinya bersemangat masak, harus menghadapi bau sayur basi. Ditambah bayangan orang-orang yang kelaparan di luar sana. Rasanya merasa bersalah sekali.

Maka aku sampai pada suatu keputusan diri. Masaklah ketika aku sangat menginginkannya. Sisanya, serahkan pada warung dan gofood. Karena sisi bagusnya aku adalah, ketika aku masak sesuatu yang aku pengen banget, hasilnya akan enak. Kalaupun tidak enak, tidak terlalu kecewa berat. Kuanggap belajar. Tapi, kalau aku masak karena keharusan, tanpa aku suka atau pengin, hasilnya bisa gatot. Gagal total.

Di sisi lain, memasak itu sebetulnya terdiri dari tiga tahap utama: belanja, memasak, dan mencuci piring. Sayangnya tahap terakhir, yang dicuci bukan hanya piring. Tapi ada panci, baskom, sutil, wajan, pisau, sendok, dan lain-lain. Jujur, buat aku tahap satu dan dua bukan masalah. Tahap tiganya yang berat.

Jadi, kuibaratkan masak itu sebuah project. Resep itu dasar teori, undang-undang, dan RAB. Belanja itu tahap persiapan awal dan pembelian material. Memasak adalah merealisasikan cita, imajinasi, dan harapan dari sebuah resep. Dan makan adalah proses menyampaikan rasa yang diolah kepada lidah, yang diserap gizinya oleh tubuh.

Lalu cuci piring di tahap apa? Serah terima kunci? Sepertinya beda jauh.

Maka dari itu, sebagian besar (atau semua) ibu-ibu, istri-istri, di muka bumi menginginkan tahap terakhir ini diambil perannya paksuami. Ibaratnya ini ngunduh acara syukuran kali ya, pasti kan Kepala Keluarga yang disuruh sambutan. Bukan ibunya. Hehehe..

Alhamdulillahnya aku dikasih suami Act of Service kayak Mas Samijo. Dia bersedia mengambil peran itu ketika ia bisa. Dulu, dia sangat rajin mencuci piring. Kalo sekarang, musti ditanya atau diminta tolong dulu. Karena kadang dia tinggal sampai ketiduran. Ujungnya aku cuci esok pagi. Hahahaa.. sama saja.

Tapi di tahun kelima pernikahan ini, alhamdulillah kami udah sama2 ngerti satu sama lain. Sehingga lebih longgar dan gampang berdamai dengan keadaan. Semoga nanti kelak ada momongan pun kami saling pengertian. Aamiin.

0 komentar:

Posting Komentar