(Sebelum baca, kukasitau "aku" di sini cowok, lhoo. met baca!!)
I know I've fallen in love when you're coming down to my eyes
Wanna make you, wanna feel the beauty as you are
I wanna tell you some I'm not a man who say in lies
Wanna love you I wanna hold you can you be the part of my life
Ya, harus kuakui aku jatuh hati sejak melihatmu. Saat itu kau menjadi seorang penjaga kasir di sebuah swalayan. Aku sempat mematung sebelum mendengar panggilanmu untuk giliranku membayar. Sejak itu, di hari yang sama setiap minggu aku ke sana, entah membeli apa. Yang penting aku dapat antre di kasirmu.
I imagine you smiling at me,
I imagine you holding my hand, oh oh
Cast a spell and hope you become my love
I imagine you sleeping in my arms
I imagine you kissing me oh oh
What a sweet imagination
My heart keeps on going thump thump
When you look at me, you keep on smiling without you even noticing, and before you even realized, you started to fall for me
You’ve fallen for me, fallen for me, you melted because of my sweet love
You’ve fallen for me, fallen for me, you’ve fallen for the look in my eyes
See my eyes, You’ve fallen for Me
See my eyes, You’ve fallen for Me
Semakin sering aku datang ke sana, hingga kau pun hafal dan mulai tahu faktor X dari kunjunganku setiap minggu. Kau pun akhirnya memberikan nomormu agar kita bisa bertemu di luar swalayan. Dan kita semakin sering bertemu. Awalnya aku sedikit canggung namun kelamaan aku melihat kecanggungan itu berpindah padamu. Ah, mungkin bukan canggung tapi malu. Rona merah jambu itu sungguh mencuat diantara putih pipimu. Ya, aku tahu kau mulai membalas perasaanku.
I’ll also confess to you I love you I love you, Now I shall confess to you that I love you
I also love you love you my feelings are telling you that I love you
Akhirnya aku berani mengatakannya. Malam Tahun Baru menjadi saksi pengakuan itu. Tepat tiga hari menjelang ulangtahunmu. Dan tepat di hari itu kau memintaku untuk mendaftarkan namamu di agensiku sebagai model. Yah, notabene aku seorang wartawan majalah fashion.
Kabar bahagia itu-kau diterima sebagai model- datang bersamaan dengan kecemasanku. Karena pekerjaan model itu sangat riskan. Ya, riskan untuk hatiku. Risih rasanya melihatmu dipasangkan dengan lawan jenis. Tapi apa mau dikata, aku telanjur mendukung semua pilihanmu.
2 bulan berjalan, dan kau semakin ahli berlenggak lenggok di depan kamera. Tubuhmu yag proporsional dan wajahmu yang menawan tak pelik membuat beberapa teman modelmu mengutarakan perasaannya padamu. Dan kau menolak mereka demi aku. Aku sangat bangga, kau tahu?
Tapi ternyata tak ada gading yang tak retak. Sepulang dari kamp pemotretan di Bali, kau bertingkah sedikit aneh. Ya, kau memang masih tersenyum padaku dan bertingkah ceria. Tapi terkadang keceriaanmu berlebihan. Membuatnya terasa dusta. Bahkan kau jadi lebih sensitif saat aku tanpa sengaja menyinggung kedekatanmu dengan seorang fotografer. Maaf, awalnya aku tidak cemburu tapi reaksimu membuatku begitu.
Keanehan itu bahkan menjadikanmu dingin setiap kali aku menelponmu. Seringkali kau tolak telpon dariku. Entah pekerjaanmu atau harus menjaga rumah, berjuta alasan kaubuat untuk menghindar dariku. Bahkan sampai pada suatu saat nomormu tak dapat kuhubungi lagi.
Akhirnya aku mendapat suatu kabar dari rekan sekerjaku. Ia tak sengaja melihatmu berciuman mesra dengan sang fotografer. Sungguh aku muak mendengarnya. Aku ingin segera mendengar penjelasanmu. Aku berharap itu hanya mimpi atau angin lalu. Tapi berkali-kali kucoba menghubungimu tetap tak bisa.
I get a feeling that you’ll leave me (Don’t give up)
You keep giving me all these excuses (Don’t give up)
Your cold Bye Bye that felt different from before (Don’t give up)
I cannot let you go (Because I love you)
You told me you love me but now, why you say goodbye?
I cannot let you go like this, never (because I love you)
Don’t try to leave me
with only an excuse
Please don’t go go go, Please don’t go
Can you please look back at me just once?
Please don’t go go go, I don’t like sad good byes
Please come back to me, because I love you
Berkali-kali kuyakinkan hati untuk bersabar dan memaafkanmu. Aku terlalu mencintaimu dan tak sudi merelakanmu. Selalu berharap kau kan kembali padaku. Hingga akhirnya..
Aku berbelanja di swalayan tempatmu dulu bekerja. Tanpa sengaja aku melihatmu di satu lorong. Berdua dengan seseorang yang kukenal. Ya, siapa lagi kalau bukan fotografer itu? Kau sempat melirikku dan terkejut. Aku menunduk kemudian mendongak lagi, dan jelas terdengar di telingaku “tidak. Bukan apa-apa kok.” Diakhiri senyuman manismu untuk pria di sampingmu itu.
Aku melihatmu, dengan tangannya yang tak lepas dari pinggangmu. Memelukmu erat di luar busanamu yang semakin minim. Aku hanya bisa mengepalkan tangan dan menahan geram.
Erasing the memories, erasing it with the tears
You, who I can’t contain in me
Pushing away the memories, pushing away the pain
So that you can’t linger in me
Throwing away the memories, throwing it away with the tears
So that I won’t have any hope
So that you wouldn’t even know my yearning heart
Even if I push you away painfully (I just wait for you)
I miss you still, I don’t think I can stop it (I can’t do anything about it)
Perhaps I still can’t send you away
Even if I throw you away, you grow in my heart
You become the tear that never dries
Even if I erase you, you grow again
You become the scar without the pain
Day by day, my love that has faded
Now I can’t even catch my love
No matter how hard I try
I swallow the tears so I can’t raise my chin
With the yearning that dug into my heart
So that even my warn out heart won’t notice
Even if I push you away painfully (I just wait for you)
I miss you still, I don’t think I can stop it (I can’t do anything about it)
Perhaps I still can’t send you away
Even if I throw you away, you grow in my heart
You become the tear that never dries
Even if I erase you, you grow again
You become the scar without the pain
Day by day, my love that has faded
Now I can’t even catch my love
No matter how hard I try
Your gaze that was always nerve wrecking (It always captured me)
The hoping that you will run to me (You keep giving me bruises)
Now you can’t even come to me anymore
Even if I throw you away, you grow in my heart
You become the tear that never dries
Even if I erase you, you grow again
You become the scar without the pain
I love you, I just love you
I can’t even hug you when I can bear the pain
No matter how hard I try to catch you
No matter how many times I call you my love
It doesn’t work
“Aaarghh… Shit!!!!” Bugh! Apa kau lihat? Bahkan dinding itu jadi korban efek domino yang kau berikan padaku. Kau benar-benar.. Argh!! Bahkan aku tak bisa mencapmu dengan julukan-julukan hina. Entahlah, walaupun aku tahu kau berkhianat terhadapku aku tak bisa membencimu. Tak bisa. Arrrgghhh!!! Praang!
Esoknya kau menelponku tanpa kuduga. Kau bilang mau bertemu, di tempat biasa. Oke, aku akan datang. Aku sungguh bersyukur kala mendapatimu duduk sendirian. Setidaknya tidak bersama dia.
“Maaf, selama ini aku berbohong dan akhirnya kau tahu. Jadi, kuharap kau bisa mengerti.”
Ya, aku mengerti. Mengerti bahwa kau memintaku untuk mengakhiri hubungan ini.
“Maaf, selama ini aku mencintai dia. Jangan salah paham, bukan karena uang. Tapi aku benar-benar mencintainya. Dan dia mengajakku menikah.. bulan depan. Ini,”
Tanganmu yang halus menampilkan sebuah kertas indah dari dalam tas kecilmu itu. Betapa aku ingin menggenggam kembali tangan itu. Tapi segera kutahan ketika sebuah undangan terlihat di mataku. Indah, ya sangat indah. Harapan agar namaku yang tertulis di dalamnya segera kutepis. Ini untukmu, dan aku belum bicara sepatah kata pun.
“Kuharap kau bisa datang. Terimakasih dan maaf telah menyakitimu sedalam ini.” katamu seraya membalikkan badan.
Kau.. sungguh.. “Tunggu.” Ah ini saatnya, kau berbalik dan menatapku. Tapi sedari awal kusadari tatapanmu hambar. Kosong. Bahkan tak ada senyuman ceria lagi. “Apa kau tidak ingin mendengar sesuatu dariku?”
“Baiklah, apa itu?”
“Sakitku.. tidak bisakah kauobati? Kumohon hari ini saja, sisakan waktu bersamaku.” Aku tahu aku seperti anak kecil tapi aku tak tahu apalagi yang harus kukatakan.
“Maaf. Tapi kurasa tidak bisa. Hari ini jadwal pemotretan benar-benar penuh. Belum lagi mengurus agenda pernikahan itu. Kau tahu sendiri aku orangnya banyak repot. Hahaha.” Tawamu hambar.
Aku membuang napas pendek. “Baiklah. Selamat jalan. Semoga persiapannya lancar.”
Hari pernikahanmu pun tiba. Diiringi hujan deras aku melangkah keluar kontrakan sempit ini. Langkah demi langkah hingga tiba di suatu tempat. Tidak, jangan sangka aku menuju ke resepsimu. Langkah ini, menuju ke tempat aku jatuh cinta padamu.
Aku membeli barang yang sama walaupun tak kubutuhkan. Menuju kasir yang sama dengan pandangan hampa. Di sana sang kasir--yang sekarang adalah laki-laki—menegurku karena giliranku tiba. Aku membayar semua barang dan beranjak keluar.
Baru kusadari di luar ternyata hujan deras. Dulu tidak seperti ini. Tidak ada hujan yang menyerang. Aku tetap melangkah, menerabas hujan yang menusuk badan. Dan perlahan, kukeluarkan tangis yang tertahan. Menyadari, bahwa dulu dan kini tak lagi sama. Cerita indah itu telah berganti.
No one ever sees, no one feels the pain
Teadrops in the rain
I wish upon a star, I wonder where you are
I wish you're coming back to me again
And everything's the same like it used to be
I see the days go by and still I wonder why
I wonder why it has to be this way
Why can't I have you here just like it used to be
I don't know which way to choose
How can I find a way to go on ?
I don't know if I can go on without you oh
Even if my heart's still beating just for you
I really know you are not feeling like I do
And even if the sun is shining over me
How come I still freeze ?
No one ever sees, no one feels the pain
I shed teardrops in the rain
I wish that I could fly, I wonder what you say
I wish you're flying back to me again
Hope everything's the same like it used to be
I don't know which way to choose
How can I find a way to go on
I don't know if I can go on without you, without you
Even if my heart's still beating just for you
I really know you are not feeling like I do
And even if the sun is shining over me
How come I still freeze ?
No one ever sees, no one feels the pain
I shed teardrops in the rain
Oh... I shed teardrops in the rain
Oh... Hey... Teardrops in the rain
Even if my heart's still beating just for you
I really know you are not feeling like I do
And even if the sun is shining over me
How come I still freeze ?
No one ever sees (no one) no one feels the pain (no one)
I shed teardrops in the rain
Teardrops in the rain
Teardrops in the rain
Teardrops in the rain...
---
Rimie Ramadan
03.07.2011
Inspired by CNBLUE’s songs
Disclaimer: All the songs n lyrics belong to CNBLUE and Boices’ page who translated them.
Gomawayo chingu. Kamsahamnida..
Is this story deep enough? Hehe.. lagi pengen refreshing sih.
di awal berasa cuma kerangka karangan doang haha..
worse? better? need ur comment please.. thank you
Tampilkan postingan dengan label cerpen. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label cerpen. Tampilkan semua postingan
3 Jul 2011
31 Agu 2008
17 Agustus 2008
Di sebuah keramaian yang menggigit telinga di sanalah Ira berada. Di hari yang panas dan sumpek begini, dia harus mondar mandir mengatur segala kegiatan. Sungguh, dia tak akan tahan. Dia nggak bakalan tahan kalau harus terjadi seumur hidupnya.
"Ira!" panggil sebuah suara. Suara yang ia kenal."Kerupuknya udah
selesai. Nih, laporannya!!!" Pemuda itu menyerahkan 3 lembar kertas.
"Oke, Ris. You did it very best!" pujinya.
Faris tersenyum."Thank you. You too!" Dia tertawa. "Kamu jangan lupa makan,lho. Ntar sakit." ada nada khawatir dalam ucapannya.
"Tenang aja. Kamu gak lihat badanku? Cadangan makananku banyak..!" Ira dan Faris tertawa bersama. Sepasang kawan lama itu terlihat mesra.
"Ya udah. Aku lihat yang lain dulu ya!" akhir Faris. Melambaikan tangannya
sekali lalu berjalan menghilang di tengah keramaian.
Kalau saja. Kalau saja tak ada Faris yang juga menjadi panitia 17an. Ia tak akan sanggup mengatur semuanya. Menjadi seorang ketua pelaksana tidaklah semudah mengedipkan mata. Semuanya begitu mendadak. Aku mendadak jadi ketua. Dan Faris mendadak dipasangkan denganku sebagai wakil ketua. ‘Faris, andai kau tahu..’ batinnya sendu.
“Ira!!” Seru Liya dan Anur bersamaan. Sontak Ira kaget. Ia menghadapkan muka ke arah suara. ‘Oh, mereka.’ Batinnya. “Hei, kok bengong sih, Ra?” lanjut Liya.
“Tau nih, bengong sendiri gak ngajak-ngajak!!” Tambah Anur.
Ira meringis. “Nggak ada apa-apa kok,” Ia tersadar. “Eh, aku ke gudang dulu ya! Lupa ngambil karungnya! Daah..”
“Lho, Ira kok pergi?” Sapa Isa dari belakang tepat saat Ira berbalik.
“Iya, Ira mau ngambil karung dulu buat lomba balap karung.” Jelas Anur.
Ira akan menolehkan wajah secepat Ira menyadari siapa yang berdialog di belakangnya. Sudah jadi rahasia umum Anur dan Isa bersaing menyukai Faris. Entah mereka saling tau atau tidak. ‘Bukan urusanku.’ Batin Ira.
‘Tapi, bagaimana denganku? Apakah aku akan terus menutup diri? Apakah itu berarti aku membohongi hatiku? Tapi, aku juga nggak mau melibatkan diri dalam pertempuran itu. Cukuplah aku bangga sebagai yang mengenalnya paling dekat.’
Sesampainya di depan pintu gudang, Ira mendaratkan tangannya di handle pintu dan membukanya. Ia melangkah beberapa jejak sebelum mendapati sebuah tubuh tergeletak di lantai. Tubuh yang sangat ia kenal. Itu adalah raga Faris.
Ira menghampiri tubuh itu. Meraih tangannya. Memeriksa denyut nadinya.
Fuuh..ketakutannya berkurang. Faris cuma pingsan. “Pasti kecapekan kamu,” lirih Ira. Ia lalu meminta bantuan untuk membawa Faris ke UKS.
Namun Ira tak bisa menemuinya. Ira harus tetap standby untuk acara-acara berikutnya.
Sementara itu di dua lorong yang berbeda, yang bermuara ke sebuah lorong dimana terlihat pintu UKS tertutup rapat, berdiri dua orang gadis di masing-masing lorong. Kedua lorong itu penuh kekhawatiran tentang pasien yang ada didalam UKS.
Di lorong pertama ada Anur dan Diva. Sangat terlihat kecemasan di wajah Anur. Diva terus berusaha membuatnya kembali ke kelas.
Di lorong kedua ada Isa dan Ita. Ita terus memegang tangan sahabatnya. Agar dia tak terlalu membicarakan Faris.
Selesai acara. Dan laporan-laporan telah berada di tangannya. Ira merasa sudah cukup melakukan tugasnya hari ini. ‘Oh, iya.’ Ira ingat akan sesuatu. Ia lalu meninggalkan tempat dia berdiri.Ira berjalan cepat menuju UKS. Tanpa memedulikan Isa yang dilewatinya. Ira langsung memeriksa suhu badan Faris. Ia demam. Ira segera memencet nomor supirnya yang lebih ia hafal daripada nomor ibunya.
“Pak, tolong jemput ke sini, ya. Oh iya! Bawa Mang Dadang juga buat ngebawa motornya Faris. Oke! Makasih ya Pak!” Ira mengembalikan pandangannya ke wajah Faris. Yang ternyata sudah bangun dan memandang ke arahnya.
Tak dipungkiri, Ira salah tingkah. Tak nyaman.
“Makasih ya, Ra.” Ucap Faris. “Sorry, aku belum bisa jaga diriku sendiri. Gimana aku bisa njagain kamu?”
‘Heh?? Bilang apa Faris tadi?? Uwaa!!’ Pipi Ira merona.
“Dasar! Lagian kamu ini! Kan ibumu udah bilang badan kamu tuh lemah, sok-sokan nggak sarapan lagi!! Gini nih, akibatnya!!” Bentak Ira sayang.
“Huhuu! Aku dimarahin lagi! Ibu, aku dimarahin Ira! Huwee..Hehe!!” goda Faris. Ira tertawa. Faris juga.
‘Sungguh, aku ingin begini saja terkecuali Dia punya rencana lain. Aku menikmati kebersamaan yang seperti ini saja. Bukan yang terlalu berlebihan. Juga yang tidak memaksa.’ Batin Ira. ‘Ya Tuhan, jika Kau punya rencana lain di ujung persahabatan kami, maka aku ikhlas. Kalaupun tidak, aku ingin ini menjadi silaturahmi persahabatan yang abadi.’ Doanya.
Sementara awan mega mulai memerah di angkasa, mobil Ira sampai di sana untuk menjemput Ira dan Faris. Meninggalkan segala yang tertinggal. Dan yang harus ditinggalkan. Hari ini. 17 Agustus 2008. Tangis, luka dan jerit. Menguapkan doa di langit yang bisu.
Cikarang, 17 Agustus 2008
^Rimie Ramadan^
"Ira!" panggil sebuah suara. Suara yang ia kenal."Kerupuknya udah
selesai. Nih, laporannya!!!" Pemuda itu menyerahkan 3 lembar kertas.
"Oke, Ris. You did it very best!" pujinya.
Faris tersenyum."Thank you. You too!" Dia tertawa. "Kamu jangan lupa makan,lho. Ntar sakit." ada nada khawatir dalam ucapannya.
"Tenang aja. Kamu gak lihat badanku? Cadangan makananku banyak..!" Ira dan Faris tertawa bersama. Sepasang kawan lama itu terlihat mesra.
"Ya udah. Aku lihat yang lain dulu ya!" akhir Faris. Melambaikan tangannya
sekali lalu berjalan menghilang di tengah keramaian.
Kalau saja. Kalau saja tak ada Faris yang juga menjadi panitia 17an. Ia tak akan sanggup mengatur semuanya. Menjadi seorang ketua pelaksana tidaklah semudah mengedipkan mata. Semuanya begitu mendadak. Aku mendadak jadi ketua. Dan Faris mendadak dipasangkan denganku sebagai wakil ketua. ‘Faris, andai kau tahu..’ batinnya sendu.
“Ira!!” Seru Liya dan Anur bersamaan. Sontak Ira kaget. Ia menghadapkan muka ke arah suara. ‘Oh, mereka.’ Batinnya. “Hei, kok bengong sih, Ra?” lanjut Liya.
“Tau nih, bengong sendiri gak ngajak-ngajak!!” Tambah Anur.
Ira meringis. “Nggak ada apa-apa kok,” Ia tersadar. “Eh, aku ke gudang dulu ya! Lupa ngambil karungnya! Daah..”
“Lho, Ira kok pergi?” Sapa Isa dari belakang tepat saat Ira berbalik.
“Iya, Ira mau ngambil karung dulu buat lomba balap karung.” Jelas Anur.
Ira akan menolehkan wajah secepat Ira menyadari siapa yang berdialog di belakangnya. Sudah jadi rahasia umum Anur dan Isa bersaing menyukai Faris. Entah mereka saling tau atau tidak. ‘Bukan urusanku.’ Batin Ira.
‘Tapi, bagaimana denganku? Apakah aku akan terus menutup diri? Apakah itu berarti aku membohongi hatiku? Tapi, aku juga nggak mau melibatkan diri dalam pertempuran itu. Cukuplah aku bangga sebagai yang mengenalnya paling dekat.’
Sesampainya di depan pintu gudang, Ira mendaratkan tangannya di handle pintu dan membukanya. Ia melangkah beberapa jejak sebelum mendapati sebuah tubuh tergeletak di lantai. Tubuh yang sangat ia kenal. Itu adalah raga Faris.
Ira menghampiri tubuh itu. Meraih tangannya. Memeriksa denyut nadinya.
Fuuh..ketakutannya berkurang. Faris cuma pingsan. “Pasti kecapekan kamu,” lirih Ira. Ia lalu meminta bantuan untuk membawa Faris ke UKS.
Namun Ira tak bisa menemuinya. Ira harus tetap standby untuk acara-acara berikutnya.
Sementara itu di dua lorong yang berbeda, yang bermuara ke sebuah lorong dimana terlihat pintu UKS tertutup rapat, berdiri dua orang gadis di masing-masing lorong. Kedua lorong itu penuh kekhawatiran tentang pasien yang ada didalam UKS.
Di lorong pertama ada Anur dan Diva. Sangat terlihat kecemasan di wajah Anur. Diva terus berusaha membuatnya kembali ke kelas.
Di lorong kedua ada Isa dan Ita. Ita terus memegang tangan sahabatnya. Agar dia tak terlalu membicarakan Faris.
Selesai acara. Dan laporan-laporan telah berada di tangannya. Ira merasa sudah cukup melakukan tugasnya hari ini. ‘Oh, iya.’ Ira ingat akan sesuatu. Ia lalu meninggalkan tempat dia berdiri.Ira berjalan cepat menuju UKS. Tanpa memedulikan Isa yang dilewatinya. Ira langsung memeriksa suhu badan Faris. Ia demam. Ira segera memencet nomor supirnya yang lebih ia hafal daripada nomor ibunya.
“Pak, tolong jemput ke sini, ya. Oh iya! Bawa Mang Dadang juga buat ngebawa motornya Faris. Oke! Makasih ya Pak!” Ira mengembalikan pandangannya ke wajah Faris. Yang ternyata sudah bangun dan memandang ke arahnya.
Tak dipungkiri, Ira salah tingkah. Tak nyaman.
“Makasih ya, Ra.” Ucap Faris. “Sorry, aku belum bisa jaga diriku sendiri. Gimana aku bisa njagain kamu?”
‘Heh?? Bilang apa Faris tadi?? Uwaa!!’ Pipi Ira merona.
“Dasar! Lagian kamu ini! Kan ibumu udah bilang badan kamu tuh lemah, sok-sokan nggak sarapan lagi!! Gini nih, akibatnya!!” Bentak Ira sayang.
“Huhuu! Aku dimarahin lagi! Ibu, aku dimarahin Ira! Huwee..Hehe!!” goda Faris. Ira tertawa. Faris juga.
‘Sungguh, aku ingin begini saja terkecuali Dia punya rencana lain. Aku menikmati kebersamaan yang seperti ini saja. Bukan yang terlalu berlebihan. Juga yang tidak memaksa.’ Batin Ira. ‘Ya Tuhan, jika Kau punya rencana lain di ujung persahabatan kami, maka aku ikhlas. Kalaupun tidak, aku ingin ini menjadi silaturahmi persahabatan yang abadi.’ Doanya.
Sementara awan mega mulai memerah di angkasa, mobil Ira sampai di sana untuk menjemput Ira dan Faris. Meninggalkan segala yang tertinggal. Dan yang harus ditinggalkan. Hari ini. 17 Agustus 2008. Tangis, luka dan jerit. Menguapkan doa di langit yang bisu.
Cikarang, 17 Agustus 2008
^Rimie Ramadan^
Label:
cerpen
Langganan:
Postingan (Atom)