7 Des 2024

Titik

Tak pernah aku sekesal itu pada tanda titik. Bahkan dulu, aku menyukainya. Ia penanda di setiap akhir kalimatku. Seperti ini. Titik.

Tanda titik yang tak pernah menjadi betul-betul selesai bila ku tidak menekan tombol kirim.

Tapi betul, ada satu titik. Titik yang sangat kubenci. Titik yang mengubah gaya pandangku terhadap dunia. Titik yang membuatku benar-benar memisahkan diri ini dengan kalimat dan diksi yang meramu fantasi.

Secara ajaib, titik itu menghapus semua mimpi. Menghapus senyum tulus dalam diriku. Aku masih menyalahkan dunia, dan kedua nahkoda keluarga awalku. Aku masih memikul dendam. Padahal dulu salah satu mereka menyuruhku kirim ke media massa. Namun selalu aku tolak. Aku malu, minder, dan risih membayangkan tulisanku dibaca ribuan mata.

Berujung aku meredam mimpiku. Aku ikut kemudi mereka. Namun di satu dermaga, mereka menurunkanku. Seraya berucap, "Carilah duniamu sendiri. Tugas kami selesai di sini."

Aku terdampar di dermaga kedewasaan. Orang lain mungkin menganggap ku beruntung. Karena mereka masih mengawalku. Tapi bahkan kini, di tengah2 pulau ini, aku masih hilang arah. 

Ada sih penuntun baru, seseorang yang katanya siap menjadi imamku sehidup sesurga. Tapi kadang ia menuntun, kadang membiarkan.

Ternyata jadi dewasa itu lucu ya. Kita bisa memilah, tapi masih belum bisa memilih. Atau itu hanya aku saja? Titik ini, aku harus mencari mimpi baru.

Umurku sudah setengah umur Rasulullah SAW. Tapi belum ada apa-apa yang kutinggalkan bila ku mati.

Padahal aku ingin bersiap. Menuju mati yang bahagia.

12 Feb 2024

Sejumput tentang Genosida di Palestina

 Merayakan kehilangan, idealnya bagi kita adalah kehilangan seorang demi seorang. Dari yang wajar karena umur yang sudah banyak, hingga yang mendadak dijemput seperti ketika tidur atau kecelakaan maut.

Sedikit rasanya membayangkan bahwa kematian kita berada dalam tekanan. Dalam rintihan perang, di antara riuh rendah bom, granat, serangan udara dan senjata api. Seperti yang terjadi di Gaza, Palestina.

Kehilangan sudah bukan lagi orang seorang. Tapi bisa sekeluarga, segedung tempat tinggal, setempat mencari nafkah. Hingga rasanya seperti nyawa tiada berharga.

Sudah 120++ hari, sejak meledaknya kembali genosida di tanah Gaza. Dan kini merambah ke Tepi Barat. Warga yang sudah terpojok di Rafah, masih saja diserang dengan senapan. Segala bantuan dari negara lain ditahan. Bahkan dirampas. Dari bantuan air yang seminggu sekali, hingga saat ini pakai air hujan dan sedapatnya.

Tiada yang lebih kejam dari Zionisme dan genosida yang mereka lakukan. Penghabisan masyarakat non-Zionis dan non-Yahudi seakan membasmi nyamuk dengan obat semprot. Syaithan segala syaithan.