30 Nov 2015

Kemuning dari Merapi (1)

Namanya Kemuning. Gadis ayu putri bapak dukuh di dusun Karangkendal di Puncak Merapi. Aku menjumpainya tahun 2009 kala melaksanakan tugas KKN dari kampus. Kulitnya hitam manis, eksotis. Rambut hitamnya terurai panjang di kala senja, namun terikat rapi pada pagi hingga siang ketika ke ladang. Sungguh tipikal gadis Jawa idaman.

Kemuning selalu menjadi pembicaraan tim KKN ku. Terutama para jejaka yang masih jomblo. Bahkan Tyo, ketua tim kami sempat meminta nomor ponsel si gadis. Permintaan itu ditolaknya dengan kalimat "Saya masih sekolah, mas. Ndak diijinkan bapak pegang ponsel." Kompak kami mengejeknya selepas kejadian itu.

Selepas lulus, aku mengisi waktu luang sebelum wisuda dengan naik gunung. Beberapa kali kusempatkan mengunjungi rumah pak dukuh. Beliau membuka pintu dan menyapaku, "Wah, mas Damar. Piye kabare mas?" Dan menyuguhkan teh hangat yang dibawakan oleh istrinya atau Kemuning. Kadang pun aku menumpang bermalam jika cuaca kurang baik untuk meneruskan perjalanan. Bapak dukuh sampai menganggapku sebagai anaknya sendiri.

Kini, sudah lima tahun berlalu. Lelah dan penat pekerjaan di Jakarta membuatku ingin rekreasi. Kutapaki diri ini kembali ke kota yang tak lekang waktu bernama Yogyakarta. Kota dimana tiap orang yang pernah singgah atau menetap akan merasa "kembali pulang".

Begitu banyak kejutan yang kudapat saat menelusur jalanan kota ini. Jauh, jauh sangat berubah. Tidak lagi seperti dulu. Tepi jalannya telah ditumbuhi pencakar langit. Sembari menikmati suguhan pandang Yogyakarta, anganku menarik diri kepada Kemuning. Pasti ia telah tumbuh menjadi wanita yang mempesona. Sedang apa dia? Masihkah bercocok tanam seperti dulu? Atau sedang menempuh perkuliahan? Jika iya, pastilah ia gadis yang paling cerdas dan akan segera lulus. Tak sadar aku pun terlelap dan berjumpa dengannya dalam mimpi.

-bersambung-

Yogya, 30.11.2015.
Rimie Ramadan

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Penasaran sama lanjutannya..
ayo mbak lanjutin :3

Posting Komentar