15 Mar 2011

Ulangtahun

"Hoaahm.." Mimi menguap lebar. Seketika Momo menutup mulut Mimi sambil berdecak sebal.
"Dasar, kau ini! Sudah berapa kali kuingatkan, kalau menguap tutup mulutmu. Keselek lalat baru tau rasa." omel Momo.
"Iya deh, Mo. Lain kali." Dan selalu begitu jawabannya.

Momo maklum, sahabatnya dari kecil itu hanya memiliki waktu kurang dari 3 jam untuk istirahat. Sisanya ia gunakan untuk bekerja demi kelangsungan nyawanya. Terkadang ia iba pada Mimi. Sebatang kara, hidup di dunia, tak memiliki siapa-siapa. Hanya Momo lah satu-satunya orang yang peduli padanya.

"Mi," panggilan Momo membuatnya terpaksa membuka mata, tanpa bicara. "Malam ini makan bareng yuk. Kamu ke apartemenku. Mau gak? Aku yang traktir."

"Serius? Tar boong lagi kayak kemarin. Aku dah sampai di lobi apartemenmu, ternyata kamu jalan sama si Bunga." responnya malas.

"Kali ini aku gak boong deh, bener! Lagian aku kan udah putus sama Bunga tadi pagi. Yuk, makan bareng yuk, mau ya? Ya?" pintanya.

"Yaudah deh. Asal kamu gak kabur aja kayak waktu itu."

"Gak kok, janji!" katanya sambil mengacungkan kelingkingnya dan disambut kelingking Mimi pelan. "Oke, jam 7 di apartemenku yaa!" Tegas Momo semangat.

Mimi hanya mengangguk lemah. Kantuknya kembali menyerang. "Hoaahm."

***

Momo menatap lekat kotak berbalut sampul hijau di hadapannya. Sambil tersenyum riang, ia mengelus-elus kotak itu dan sesekali membukanya. Sebuah hadiah yang akan diberikannya pada Mimi.
"Kamu pasti cantik memakainya, Mi."

Momo dan Mimi memang berbeda. Momo yang merupakan pangeran, generasi ke tujuh dari seorang konglomerat berdarah biru, Raden Mas Suryo Darmono Kartodiningrat. Yang menguasai hampir 80% saham perusahaan di Indonesia. Dan memiliki cadangan sumur minyak yang tersebar di Asia Pasifik. Tetapi Momo sangat mandiri. Sejak SMP, ia memilih belajar di daerah yang jauh dari orangtua dan diberi tempat tinggal sendiri. Dan saat itulah ia bertemu Mimi.

Tok, tok, tok!

Bunyi yang menyadarkan Momo dari lamunannya. Dia tersenyum sumringah. "Itu pasti Mimi." Ia beranjak membuka pintu.

***
Mimi tak harus menunggu lama. Begitu ia mendengar jawaban dari ketukan pintunya, ia langsung mendengar derap kaki Momo. "Sahabatku satu-satunya itu memang terlalu semangat jika menemuiku." batin Mimi.

"Sudah sampai? Ayo, masuk dulu," sapa Momo begitu kepalanya muncul dari balik pintu. Ia pun membuka pintunya lebar.

Mimi melangkah ke dalam apartemen Momo tanpa rasa canggung. Ia sudah sering ke tempat itu dan menganggap apartemen Momo sebagai rumahnya sendiri. Walaupun untuk kenyataannya itu tidak mungkin.

Tanpa disuruh, ia langsung menuju kulkas Momo. "Mo, aku minta minum ya!" katanya dibalik pintu kulkas. Momo hanya mengangguk sambil berjalan ke balkon. Mimi membawa gelas berisi air putih dingin itu lalu menyusul Momo ke balkon.

***

Momo menarik nafas panjang dan merebahkan pantatnya di ayunan yang ada di balkonnya. Ia menatap langit malam yang kala itu tidak banyak bintang. "Haruskah aku memberitahunya saat ini? Saat yang juga istimewa baginya. Tapi, aku takut dan belum siap. Aku takut kalau dia_" Lamunannya buyar ketika ia merasa ayunan itu bergoyang. Ia memutar kepalanya.

"Kau sedang memikirkan apa?" Tanya gadis yang baru saja menjadi pemeran utama dalam lamunannya. "Kau jadi sedikit lebih ganteng kalau melamun seperti itu, haha."

Momo mengacak rambutnya. "Hus! Selamanya aku adalah orang terganteng di dunia!" teriaknya pede. Mimi tertawa.

"Ingat ya Mi," ancam Momo. "Selama kamu belum memiliki kekasih, eh, tidak! Bahkan setelah kamu memiliki kekasih pun, aku tetap laki-laki paling tampan yang pernah kau temui. Mengerti?"

Mimi menggeleng. "Ti..dak..Orang yang paling ganteng di hatiku bukan kamu tau.." jawabnya jahil.

Momo kaget dan langsung membantah dengan suara keras tapi nadanya bercanda. "Hah? Siapa laki-laki itu? Berani-beraninya dia mengalahkanku yang satu-satunya paling peduli denganmu?"

"Ayahku." jawab Mimi pendek. Momo langsung mengkeret dan mengerti. Ia hanya membulatkan bibirnya. Mimi terenyum geli melihatnya. "Yah.. walaupun aku tak begitu ingat wajahnya, tapi aku yakin ayahku adalah lelaki yang sangat tampan. Karena paman dan bibiku juga berkata begitu."

Momo hanya bisa membulatkan bibirnya dan tersenyum. "Oke, kalau untuk ayahmu, kuperbolehkan. Tapi setelah ayahmu, tak ada yang lain selainku. Mengerti?"

Mimi mengangguk. "Ya, kuusahakan." Momo geregetan. Ia langsung mencubit pipi Mimi. Membuatnya mengaduh. Lalu melepasnya.

"By the way, kita mau makan di mana nih?" tanya Momo sambil memegang perutnya. Cacing di perutnya mulai protes.

"Terserah deh, ngikut aja. Asal bukan ikan asin aja." ia tertawa.

"Ya, alergimu. Kaupikir aku tak tahu? Apa sih yang tak aku tak tahu tentangmu?" batinnya. Ia berdiri, "kalau begitu, kita berangkat sekarang. Ayo!" Momo mengulurkan tangan yang langsung ditepis Mimi.

"Gak usah sok formal gitu lah.. Ayo!" katanya, bangkit dan berjalan mendahului Momo. Yang ditinggal cuma bisa diam beberapa saat sebelum mengikutinya.

***

Mimi menyambar tasnya yang ia letakkan di atas meja makan Momo dan hendak membuka pintu, ketika ia mendengar Momo memanggilnya. Ia menoleh.

"Tunggu, sini sebentar." perintah Momo yang berdiri di samping kasurnya. Mimi menghampirinya.

"Apa lagi?"

Momo menarik nafas. "Hari ini, aku haramkan kau untuk berpenampilan seperti itu." Ia mengambil kotak bersampul hijau muda di atas kasurnya itu. "Ini. gantilah dulu di kamar mandi. Aku menunggumu di sini."

Mimi membuka isinya. "Ini, apa?" ia menatap Momo bingung.

"Pakailah dulu. Jangan banyak bertanya."

Mimi menurut dan pergi ke kamar mandi. Kepalanya dipenuhi berbagai pertanyaan. "Kenapa Momo jadi bertingkah kayak gini? Pakai memberiku baju aneh begini pula? Pasti harganya mahal."

Selesai memakainya, Momo keluar dengan memakai dress panjang selutut warna hijau dan cardigan putih yang tadi dipakainya. Dress itu tanpa lengan, sehingga membuatnya tidak percaya diri. Disematkannya bros mawar yang tadi ada di dalam kotak bersama dress tersebut. Ia mematut lagi dirinya di cermin sepanjang badan di depan kamar mandi Momo.

***

Momo berjalan perlahan ke arah Mimi. Ia terkagum-kagum dengan penampilan baru Mimi. Tampak anggun dalam dress pemberiannya. Kontras dengan hariannya yang urakan.

"Nah, cantik kan? Kalau sudah, ayo berangkat!" Momo menyerahkan tas Mimi dan menggandeng tangannya. Mimi hanya membalas dengan tatapan malu.

***

0 komentar:

Posting Komentar