23 Des 2011

Post-Vacuum

maaf, sekitar 2 minggu ini saya vakum postingan karena mengejar deadline tugas. padahal belum bisa disebut selesai. ya, semua itu BELUM SELESAI.

sekitar 2 jam lagi, pembantaian berikutnya dimulai, sedangkan saya malah terduduk mengantuk di warnet. Sungguh ingin ini berakhir. Ya, lekaslah berakhir wahai studio!

Jantung semua anak arsi mungkin sudah melewati klimaks saat ini. Kecuali kelompokku dan kelompok Anggi. huah. Bapak itu sibuk, lebih sibuk dari anggota DPR yang bisa tertidur saat rapat. Bapak itu, seorang building scientist yang di Indonesia bisa dihitung jari jumlahnya. Bapak itu, yang dulu membuat nilai studioku pun ambruk.

Dan kini, dirinya harus kuhadapi lagi. Di satu sisi, aku kagum padanya. Di sisi lain, aku takut. Bapak itu lebih menekankan pada 3D. Juga pada aplikasi fisika bangunan terhadap desain.

Aku tak bisa bicara, untuk saat ini. Ngantuk. Dadaah.

1 Des 2011

Makan Bangkaiku!

Silakan!
Ini nadiku boleh kauputuskan
Ini dagingku boleh kausayat
Ini mataku boleh kaukunyah
Silakan!

Kalau kau mau silakan!
Aku tak melarangnya!
Daripada lidahmu
diam-diam mendaratkan panah bertubi
Daripada tanganmu
Menancapkan pedang dari belakang

Silakan!
Aku tak melarang
Silakan!
Aku tak menghujat

Kerelaan ini
dengan satu syarat:
Jangan makan bangkaiku!

Rimie Ramadan
01. 12. 2011

25 Nov 2011

My endless love (2nd part)

Sebuah cahaya putih berkilau membuka kelopak mataku. Aku terbangun dalam pangkuan seorang gadis. Gadis manis berambut ikal. Ia tersenyum padaku. Manis sekali.

"Rahma?" aku menegakkan tubuhku dan menghadap sosok sahabatku itu. "Kenapa aku bisa tertidur di pangkuanmu?"

Ia tersenyum, "Entahlah, mungkin kau terlalu lelah bermain tadi. Lihatlah, gitarmu sampai kaupeluk."

Mataku mengikuti arah telunjuknya. Saat ini sang gitar sedang bersandar sembari mengamati kami. Aku tersenyum lalu tertawa kecil. "Ya, saking cintanya aku pada musik."

Rahma ikut tertawa kecil. "Bahkan saat bermain denganku kau pun tak lepas dari gitarmu. Dasar musisi profesional."

"Aam.." belum selesai kalimatku, tangannya mengalung di belakang leherku. Setengah tak percaya, mataku melotot. "Rah..ma?"

Gadis itu diam sejenak. Memeluk hangat diriku. "Rama, capailah impianmu itu. Berusahalah semampumu untuk menggapainya. Aku akan selalu mendukungmu."

Sementara aku merasakan sesuatu yang hangat membasahi bahuku. Aku mendorongnya sedikit, menatap wajah mungilnya. Matanya memerah, dipenuhi kristal paling berharga miliknya.

"Terimakasih Rahma. Tapi kau tidak perlu sampai menangis seperti ini. Kita melangkah bersama. Menggapai cita-cita kita dengan cara kita masing-masing. Aku juga akan selalu mendukungmu. Ya?" Tanyaku meyakinkan. Tapi yang kulihat, Rahma malah menunduk. "Ya?" kuulangi pertanyaanku untuk meyakinkan diri.

Dia menggeleng tipis. Bahkan kalau tak kauperhatikan, dia seperti diam saja. Baju putihnya bahkan tak bergoyang sedikitpun. "Tidak bisa." kalimatnya keluar bersama isak tangis.

"Mengapa tidak?"

"Karena.." ia menutup wajahnya, "karena tempat kita sudah berbeda.."

Dahiku mengernyit. 5 detik berselang, baru kumengerti maksudnya. "Oh iya, kamu pindah ke Korea kan? Tapi kan tidak ada alasan yang menghalangimu untuk menggapai cita-cita kan?"

Isaknya menderas. "Keadaannya sudah berbeda, Rama!" Ia menghapus lagi airmatanya. membiarkan zat bening itu mengalir dari celah jemari. "Sudahlah, kita hentikan saja percakapan ini. Aku tak mau debat denganmu."

Aku membuka tangan yang menutupi wajahnya. Telapak tanganku meraih wajah mungil tersebut. Bibirku menempel, mengecup lembut keningnya. Namun perlahan, sosok itu menghilang sesaat setelah tangisnya berhenti. Belum sempat terjawab keherananku, aku sudah ditarik oleh suara lainnya.

"Den, bangun! Hari ini piket kelas kan, Den?"

Kerjap! Mataku terbuka. Kembali ke kamarku dengan pemandangan kosong. Hanya Bi Inem menyisakan kepalanya di muka pintu. Aku mengacungkan ibu jari, tanda sudah bangun. Bibi mengangguk dan mengeluarkan kepalanya dari kamarku.

Aku bangkit duduk. Di antara sprei putih yang berantakan, kutemukan sebuah kertas yang sudah kucel. Kuambil dan kubaca kembali.

Halo Rama sahabatku,
Sedih untuk menyampaikan hal ini, tapi maaf, aku harus pergi. Ayah dipindahtugaskan ke Seoul 6 bulan ke depan. Aku dan ibu harus ikut, sementara Mbak Sarmi pulang kampung. Aku belum memberitahu siapa-siapa soal ini, kecuali Mio--tau kan? boneka kucing favoritku--yang sudah kuberikan pada keponakan Mbak Sarmi. Jadi kemungkinan besar kau orang pertama yang mengetahui kepergianku. Senang tidak?


Maaf jika kau malah sedih. Sejujurnya, aku juga baru diberitahu ayah saat beliau mengajak makan malam di luar seminggu lalu. Aku bahkan tak siap dengan semua ini. Meninggalkan semuanya dan hidup di negeri orang. Meninggalkanmu, sahabatku.


Oya, perpisahan seminggu lagi, bukan? Kau sudah mempersiapkannya? Cepat persiapkan! Jangan hanya bermain gitar! Secepatnya pilih Prom Queen mu. *Aku tau, kau ingin aku yang menjadi pasanganmu. Tapi mustahil, bukan? Jangan lupa sampaikan salamku untuk teman-teman dan ucapan selamat bagi yang menjadi pasanganmu.


Sudah dulu ya. Aku harus melanjutkan packing. Ingat, kalau mau terjun di dunia musik, lebih baik tenggelam, basah sekalian. Jangan hanya minta cipratannya. Kutunggu kau menjadi musisi profesional. Aku akan selalu ada dalam setiap petikan gitarmu.


Sahabat yang mencintaimu,
Rahma


Aku melipat surat itu. Merapikannya kembali. Memasukkannya ke dalam amplop marun yang diberikan Bi Inem tadi malam. Lalu segera ke kamar mandi untuk mandi dan mencuci wajah yang berairmata.

Sekolah tetap ramai seperti biasa. Walaupun sudah mau perpisahan, mereka tetap sibuk mengoceh, terutama wanita. Kaum berisik itu heboh membicarakan penampilan saat prom nanti. Aku melewatinya dan bertemu Ardi. Ia hendak ke perpustakaan untuk mengembalikan buku. Aku mengikutinya.

Di perpus, Aku dan Ardi mengantri pada loket pengembalian buku. Sambil menerawang, menyapu sudut perpustakaan, aku melihat TV Plasma di tengah ruangan tengah menyiarkan berita. Sepertinya tentang pesawat jatuh. "Akhir-akhir ini sering sekali pesawat jatuh." komentarku lirih.

Aku mendekati televisi itu, tertarik pada pesawatnya yang kali ini cukup besar dan puluhan nyawa bergelimpangan di dalamnya. Lalu, muncullah headline dari berita tersebut,

"Pesawat Garuda Rute Jakarta-Seoul Jatuh Terbakar"


TAMAT

---

Rimie Ramadan
25.11.2011

23 Nov 2011

Happy Birthday Pondok Rimie!

Akhirnya setelah seharian bergentayangan di kota Jogja, aku punya kesempatan untuk merayakan ulang tahunmu Nak. Maafkan bunda ya Nak.

*Merayakan? Tapi.. dengan apa? tak terlihat apa-apa lho, Bunda!*

Yah, mungkin kau tak melihatnya Nak. Namun targetku untuk merayakan hari jadimu ini berhasil kuraih.

*Apa itu, Bunda?*

Sebuah buku. Yang memuat karya-karya yang sebagiannya telah kusimpan padamu.

*Oh, begitu ya Bunda? Wah, selamat ya buat Bunda! Terus, mana dong bukunya?*

Itu, ada di "calon ayah" kamu. kan sekalian..

*Sekalian apa Bun?*

Hehehee.. ada deh. Sesuatu pokoknya.

*Ah si Bunda gitu ah!*

Biarin! Hihii. Mau bunda kasih liat bentuknya gak?

*Mauuu!!!*

Tapi ntar malem ya, jgn sekarang. Bentar lagi calon papamu jemput.

*Pasti mau makan bareng?*

Hm!

*Dan pasti aku ga diajak!*

Gimana ngajaknya? Toh kamu makanannya kan tulisanku. Noh, tambah berisi kan kamu!
Yaudah ya, bunda tinggal dulu. Dadaaahh!!!

22 Nov 2011

My endless love

---Rahma "In"
"Hei, berhentilah memujiku! Aku tak mau dengar!" teriakku kepada sahabatku, Rama. Selalu saja begini. Kalau sedang istirahat belajar, dia pasti mengambil gitarku dan memainkan lagu khusus untukku. Yang isinya hanya pujian gombal.

And when you smile, the whole world stops and stared for a while, 'cause girl you're amazing, just the way you are.

Lagi, kuambil sebatang choco roll dan kujejalkan ke mulutnya supaya diam. Lagi, dia menggigitnya dan menyuapkan sisanya padaku. Ah, Tuhan. Kenapa dia selalu seperti ini? Bagaimana kalau aku tak bersamanya lagi? Padahal tinggal beberapa bulan lagi aku pindah dan aku tak tega memberitahunya.

---Rahma "Out", Rama "In"

And when you smile, the whole world stops and stared for a while, 'cause girl you're amazing, just the way you are.

Aku menyanyikannya sampai habis tanpa sedikitpun mengalihkan pandanganku padanya. Lagi-lagi mukanya memerah. Dia terpesona.

Rahma, dia sahabatku dan aku mencintainya. Aku menyukainya sejak ia duduk sebangku denganku kelas 5 SD. Waktu itu kami sudah lama bertetangga, tapi tak pernah saling mengenal karena individualisme komplek kami sangat tinggi. Bahkan ayah ibu kami mungkin tak pernah bertemu jika bukan karena kami.

Sejak itu kami selalu menghabiskan waktu bersama. Mengerjakan tugas, bermain dan lainnya. Bahkan kami berhasil masuk ke SMP yang sama. Hingga saat ini, status kami bersahabat walaupun aku sering secara tidak langsung mengatakan aku mencintainya. Tapi aku sudah berniat, saat perpisahan nanti akan kuperjelas perasaan ini.

---Rama "Out", Rahma "In"

Aku berhasil mengelabuinya. Dan juga perasaanku sendiri. Sejuta rasa sesal bercampur sedih mewarnai penantianku akan datangnya hari ini.

Kulihat wajah ayah dan ibu yang juga nampak mencemaskanku. Berulang kali kukatakan baik-baik saja meskipun aku selalu menunduk, menyembunyikan airmataku. Perpisahan masih seminggu lagi, tapi bagiku hari inilah perpisahan sesungguhnya. Dari kota ini, dari negeri ini dan dari Rama.

Rama. Hanya ada kata maaf yang bisa kudengungkan tiap mengingat namanya.

Ting-tong! "Kepada penumpang pesawat Garuda Airlines tujuan Jakarta-Seoul dengan nomor penerbangan XXX harap memasuki armada melalui pintu G7."

"Selamat tinggal."

---


Rahma, dimanakah kau berada? Rindu aku ingin jumpa, meski lewat nada..


Aku melepas gitarku. "Hey girl, where are you? Don't you know I miss you so bad?" Aku mengambil sebuah bingkai foto. Di sana, aku dan Rahma berpose bak penyihir. "Can you give a little magic to mend my heart?"

"I don't know why but feel scared right now. Please tell if this just a mistaken." Aku meraba dadaku. Ada rasa takut dan gelisah di sana. Takut, kalau saja ia menghilang. Gelisah, apa benar aku masih dapat mengatakan perasaanku ini?


4 hari kemudian, aku benar-benar mencapai puncak gelisah. Karena seminggu ini Rahma terus saja tak ada kabar. Aku tanya ayah dan ibu pun jawabannya nihil. Aku tanya teman-teman sekelasnya, mereka malah balik bertanya.

Tok, tok!

"Masuk!"

Bi Inem membuka pintu dan masuk dengan sopan. "Den, ini ada titipan surat dari pembantunya Non Rahma."

Surat? Untuk apa Mbak Sarmi--pembantu keluarga Rahma-- mengirimiku surat? "Coba lihat Bi."

Bi Inem menyerahkan sepucuk surat beramplop marun. Kuambil, lalu kuamati. Mataku berhenti pada huruf-huruf yang terangkai sebagai pengirim surat itu. Peganganku mengencang. Dua bola mataku tak mau beranjak sedikitpun. Tersirat pemikiran, "Mengapa hanya sebuah surat?"

"Den?" suara Bi Inem menggeser perhatianku. "Aden nggak papa?"

"Oh, iya Bi. Nggak papa kok. Makasih ya Bi."

Bi Inem mengangguk lalu pamit dengan unggah-ungguh khas orang Jawa.

Tinggallah aku sendiri di kamar ini. Bersama surat itu. Benda yang memuncakkan rinduku pada seorang Rahma. Bidadari yang tiba-tiba menghilang dari muka bumi.

Perlahan kuraih amplop itu, kubuka, dan kutarik isinya.
---


Rimie Ramadan
NB: sebetulnya ini posting udah dari bulan Juni tapi emang terbengkalai.
hari ini baru coba mencari sambungan ide dan kira2 rampung sekitar 1-2 chapter lagi.
jadi, aku gak pasang tanggal ah, malu. hehee.

Lapis Transparan

Warna itu
Warna menyejukkan
Warna itu selalu kurindu
Warna yang kautunjukkan padaku

Warna itu
Sering kubayangkan
Memiliki ubahan warna yang lain
Gradien, Analog atau bahkan mungkin Komplementer
Namun sering kutepis
Karena kupercaya pada warna itu

Warna ini
Yang aku punyai
Yang sering kutunjukkan
Agaknya memiliki lapisan lain
Dan belum pernah kutunjukkan

Seringkali
ku berharap warna itu dan warnaku menyatu
Membentuk gradasi indah
Tapi ternyata
Aku sendiri bimbang
Warna mana yang akan kuberikan

Apabila ketika bercampur
Seketika warna yang lain melesak
mengobrak-abrik gradasi indah itu
Mengoyak pencampuran yang kadung menyatu

Apa
yang tersisa?

Warna itu
Warna kerapuhan
sekaligus kegigihan
Warna kesetiaan
namun meragukan
Warna sejelas kilat
yang kadang samar

Lalu warnaku
komplementer yang hendak kupilih
mencoba menyatukan diri
Mengoyak lapisannya sendiri
Lapis transparan yang kini menipis
dan menceburkan diri, larut dalam warnanya

Kepercayaan
itulah yang dibutuhkan
Selarut apapun kau
harus percaya

---

Rimie Ramadan
22.11.2011

sehabis membengkakkan mata

14 Nov 2011

Sudut Pandang

Kukurung semua memori
Batasi semua ambisi
Terpojok dalam ruang isolasi

Engkau di sana
Berdiri dan hampa
Menatap samar
Aku yang bahagia

Perlahan kaca berembun
menyimpan hembusan nafasmu
Tercekat dalam pengikhlasan terpaksa

Kisah si Serbuk Sari

Tertiup angin dari sebatang bunga induk
Melayang, menjelajah bening udara
Perjalanan mengetengahkan berjuta
putik yang menyembul di tengah kelopak

Aku bergerak berdasar petunjuk Sang Angin
Bertebaran bunga indah nan cerah bagai mentari
Yang menarik untuk dihinggapi

Tapi Sang Angin
Malah mendaratkanku pada
Satu bunga yang nyaris layu
Yang warnanya kusam
lagi keriput batang putiknya

Tak disangka
Kedatanganku membuat Sang Putik tersenyum
Hati pun terkesima

Aku menyatukan diriku padanya
dengan segenap keikhlasan jiwa raga
Kehendak Sang Angin
Memunculkan bakal buah pada
bunga yang hampir mati

Rimie Ramadan
14.11.2011

TRAX - Blind

Even if you lean your head against me and blankly look at me, you don’t know
I spread my arms and say that it feels so cool but you still don’t know
I am invisible but I am standing in front of you
But your eyes look past me
* Just once, just once, please look for me
The more you feel, the more you feel
I become more and more invisible
At the end of my desperate prayers
If only you will find me so that I can have you in my arms
In the hazy winter frost, I try to draw my heart but you don’t know
I gather the scattered raindrops and shed them instead of tears but you don’t know
I am cold but I am flowing toward you
I despise myself for being square
* repeat
My heart is cracked, cut and broken
At the end of a rough day
When I am broken into pieces, you would be able to see me
** You can’t see so I love you like this
Even your fingerprints in the corner
I strongly engrave them into me
My blackened and bruised heart-
I take it out and show it to you
But you just say that looks pitch-black outside
You can’t see so you say that looks pitch-black outside
You just endlessly look outside the window
Translation Credits: 
pop!gasa

TRAX - Like A Dream

I faintly remember it now, our shy confessions
Even unplanned dates made every day so happy
At some point the seasons passed and time went by
The accustomed two eyes with no feeling makes me so sad
* Please prevent her lips and my lips from speaking of separation
It’s not just any love – only regret will remain
Please allow her lips and my lips to confess our love again
Let’s go back to our longful dream of that night when we first kissed
Wordlessly, only sighs increase – yawns come out from the obvious expressions
The streets where we used to hold hands now only have cold wind
The song we listened to on our drunken nights
I tried to sing it as I smiled but in my eyes, tears well up
* repeat
As I walk on the path of time, the world of you and I, which used to shine
Become miserable memories and keeps on faintly erasing
Please prevent her lips and my lips from speaking of separation
We’re not the type to smile and say goodbye – we’re just going to shed tears
Please allow her lips and my lips to confess our love again
Let’s go back to our longful dream of that night when we first kissed
Oh- It’s Like A Dream
credits: 
http://snsdlyrics.wordpress.com

12 Nov 2011

Tahukah Kau?

Tahukah kau
di setiap hariku bersamamu
Selalu kupasang wajah ceria tanpa durja
Tak luput senyuman dan lengkung mentari di mataku

Tahukah kau
bahwa di setiap memandang wajahmu
satu hal yang tak ingin kulakukan
ialah membuatmu terluka

Tahukah kau
aku ingin menjadi penghibur bagimu
selalu
karena itu aku akan selalu tersenyum
dengan begitu kau juga tersenyum
melepas segala beban di pundakmu
walau hanya untuk sementara

Tahukah kau
bahwa seringkali
kala kau terlelap
aku merenung
bertanya pada diriku sendiri

Sanggupkah aku menjagamu
Di setiap aku ada ataupun tidak
Sanggupkah aku menghiburmu
Meskipun hatiku sendiri sedang gundah
Bagaimana jika tanpa sadar
aku lengah menjagamu
aku mengecewakanmu
aku mengacuhkanmu
tak bisa tersenyum untukmu

Aku
yang tak pernah tahu cara membereskan kasur
yang tak pernah makan dengan porsi kecil
yang selalu menghabiskan waktu dengan hal yang kusuka
yang tak bisa menjawab permasalahan kantormu
yang tak pernah bisa sebaik wanita-wanita indah lainnya

Namun selalu
kau puji aku
layaknya seorang bidadari surga
yang turun ke bumi dan berlabuh di pelukanmu
kau merasa beruntung
aku telah memilihmu
padahal aku pun belum merasa
mampu menjalaninya
mengemban keanggunan seorang wanita
dalam pribadi yang jauh dari sempurna ini

Tahukah kau
Aku selalu bertanya
Mengapa begini?
Mengapa kau memilihku?
Padahal aku hanyalah seonggok sampah
makhluk busuk yang tak pernah tau cara merengkuh matahari
agar meleburkannya ke dalam abu




Rimie Ramadan
12.11.2011
sambil memandang bintang yang terlelap

31 Okt 2011

Bingung

nulis apa ya?
ya apa nulis?
apa iya nulis?
apa-apa ya
apa-apa nulis
apa nulis ya?
bingung.
mau bilang apa?
bilang apa mau?
apa mau bilang?
apa-apa mau
apa-apa bilang?
bingung.
kata hilang apa mau ditulis?

Rimie Ramadan
31.10.11

22 Okt 2011

Kicau Ketiadaan

Berguru pada ketiadaan
Tentang cinta yang menabur sepi
ketika nyeri bertumbuh lara

Berguru pada ketiadaan
Tentang siang yang ditinggal matahari
dan gulita menghampa

Ketika hening rindu berkicau
Mencicit tanpa habis
Menusuk hati dengan ketiadaan

Matahari
kemanakah sinarnya?

15 Sep 2011

Penghujung Keraguan

"Maaf."
Hanya kata itu yang dapat terucap dari bibirku saat ini. Berulang kali aku mengucapkannya, namun berulang kali pula aku melakukan salah yang sama. Bodohnya aku.
"Aku cuma ingin mengujimu."
Cih, pintar sekali kau mengarang alasan!

"Apakah sebuah rasa cinta harus selalu diuji, hingga membuat perasaan terluka seperti ini?"
Sekali. Datar. Dan tanpa menuduh. Namun jelas kalimat itu menancapkan pedang di hatiku. Tertohok, melemah dan mengecut. Tiba-tiba aku tersadar.

"Maaf."
Lagi, telingaku mendengar kata itu dari bibir penuh dosa milikku.
"Bukankah untuk mendapatkan sebuah berlian murni di antara batu gua, harus melalui proses tempaan yang keras? Itulah inginku, agar aku tahu berlian yang kau punya benar-benar murni."
Mengapa pandainya kau lahirkan kata-kata? Tak bisakah kau tulus meminta maaf hah?

"Tapi kau tak pernah berpikir bila berlian pun dapat pecah bila terus ditempa. Dan itu sakit, kau tahu?"

"Ya, itulah salahku."

"Aku jadi ragu, apakah hatimu mempunyai berlian yang sama untuk kau berikan padaku. Mungkin saja itu hanya plastik yang sangat tebal sehingga kau tak bisa merasakan rapuhnya berlian."

Skakmat. Aku kalah telak. "Maaf."  Lagi, kata yang sama. Namun kini, dari lubuk mataku mengalir kristal penyucian hati. "Maafkan aku. Aku sungguh minta maaf. Aku janji, takkan melakukannya lagi. Tolong ingatkan aku, bila suatu saat aku alpa lagi."

"Baiklah, sudah. Jangan menangis. Kemarilah."
Tangannya pun terentang lebar siap menerima diriku apa adanya. Setelah semua yang kulakukan padanya. Ia masih berbaik hati padaku dan menerima aku tulus ikhlas. Sungguh, aku tak ragu lagi. Ia menyayangiku. Akan kujaga ia selamanya. Aku belajar semakin menyayanginya.

Kusambut pelukannya dengan hangat dan damai.





---

Ria R. Ramadan
15.09.2011

Dengan penuh sesal di keheningan pagi buta

11 Sep 2011

dia

Ingin kuteriakkan pada dunia
"Hey, ini aku!
Aku yang mencintainya!"

Tapi yang kulakukan
hanya duduk bersandar di bahunya
menyampaikannya lewat detak nadi
dan bahasa tersendiri

Dunia mungkin tahu
Kita sedang jatuh cinta
Namun dunia tak mengerti
Sedalam apa yang kita rasa

Aku cinta kamu dengan suksesmu
Kamu cinta aku dengan suksesku
Dunia kita pun takkan sama lagi

Kini warna mulai menari
Mengisi lembaran dengan melodi

Tanganmu mulai menggenggam jemariku
Kau eratkan, dekatkan dirimu padaku
Mencium ubun-ubun kepala dan mengelusnya
Tak ingin sedikitpun kehilanganku

7 Sep 2011

The Diary


catatan sebelumnya : Diary pt 2 | Diary pt 1

Tyo’s diary
9 April 2011
Dahulu terasa indah, tak ingin lupakan
Bermesraan selalu jadi, satu kenangan manis
Tiada yang salah, hanya aku manusia bodoh
Yang biarkan semua, ini permainkanku
berulang-ulang kali

Mencoba bertahan sekuat hati,
layaknya karang yang dihempas sang ombak
Jalani hidup dalam buai belaka,
serahkan cinta tulus di dalam takdir
Tak ayal tingkah lakumu, buatku putus asa
Kadang akal sehat ini, belum cukup membendungnya
Hanya kepedihan, yang s’lalu datang menertawakanku
Engkau belahan jiwa, tega menari indah, di atas tangisanku
Tapi sampai, kapankah kuharus,
menanggungnya, kutukan cinta ini
Semua kisah, pasti ada akhir, yang harus dilalui
Begitu juga, akhir kisah ini, yakinku indah…
Tapi sampai, kapankah ku harus
Menanggungnya, kutukan cinta ini,
bersemayam dalam kalbu

Selesai hari ini kunyanyikan lagu itu. Lagu yang tak sengaja kudapat dari teman. Entah kenapa rasanya cocok untuk menggambarkan kacaunya aku saat mengantarnya ke depan apartemen.
Kuseret kedua telapak kakiku yang terasa berat melangkah. Mengapa rasanya berat sekali. Seperti beku. Ya, aku tahu. Rasa sukanya kepadaku yang dulu mudah kubaca, sekarang telah berbeda. Ia sangat menjaga jarak denganku. Entah karena apa, tapi sikapnya sungguh kasat mata. Bahkan bicaranya pun sangat hati-hati.
Haruskah aku memperjelas semuanya? Haruskah kunyatakan rasa ini, bahwa sejak dia masuk klub hingga tadi aku melihatnya pergi, bahkan saat aku memikirkannya seperti sekarang, aku mencintainya.
Haruskah? Atau harusnya aku membuang rasa ini, melupakannya, dan menyetujui tawaran ibu? Sungguh, gilaku hampir akut.


Riri’s diary
29 April 2011
Sudah 5 hari aku tidak berinteraksi dengannya. Baik ketemu atau via telepon. Ah, apa dia sedikit marah padaku ya? Memang tiga minggu ini aku sangat menjaga jarak dengannya. Bukan takut. Aku hanya tidak mau dia merasa bersalah atas kejadian saat kami bertemu kembali. Ditambah aku juga tidak mau itu terulang.
Aku sedikit rindu padanya. Ingin sekali kutelepon, tapi sejak 3 hari lalu ia tak bisa dihubungi. Ah, ada apa ya? Perasaanku merasa tak nyaman.

31 Mei 2011
Hari ini aku berjalan-jalan di sebuah pusat perbelanjaan. Aku sedang menunggu taksi untuk pulang, ketika kutangkap sosok kak Tyo dan err.. Dinda, sahabat kentalku waktu SMP. Kenapa mereka di sana ya? Dan hanya berdua? Tanpa komando, jantungku berdegup kencang sekali melihat pemandangan itu. Untung taksiku segera datang dan aku pulang dengan tergesa.


Tyo’s diary

31 Mei 2011
Ah, apa aku salah liat? Benarkah? Apa itu benar dia? Hhhsss… Ah, aku bimbang!! Kenapa aku harus melihatnya? Dan kenapa aku bersikap seolah aku tak melihatnya? Kenapa dia muncul saat aku sudah yakin menerima tawaran orangtuaku?

Maaf, jika kau hendak kembali. Tapi aku yakin dengan pilihanku. Dan aku tak berniat mengubahnya. Kumohon maafkan aku jika aku memutus kontak antara kita.


Riri’s diary

7 Juni 2011

Mengapa hari ini kelebat bayangan mereka muncul lagi? Aduh, mengapa aku begitu risih dengan bayangan-bayangan itu? Hapus, hapus, hapus!! Perintah otakku yang tidak dituruti hatiku. “Ah, sebaiknya kutelepon Nisa.”

Akhirnya aku menghubungi Nisa. Aku lega, saat terdengar nada sambungnya. Nomornya masih sama. “Halo?” sapa suara di seberang.

“Halo, Nisa. Apa kabar? Lama tak bertemu.” Kemudian aku sedikit berbasa-basi mengungkit kenangan-kenangan lama. Dan sampailah ke topik itu.

Aku bercerita bahwa aku tak sengaja melihat dua orang itu jalan bersama. Nisa menanggapi dengan antusias. “Wah, mereka sudah sampai taraf jalan bersama ya? Baguslah, artinya mereka semakin akur.”

“Hah, apa maksudmu?” tanyaku heran.

“Lho, kamu gak tahu? Mereka itu udah jadian, err.. tepatnya tunangan. Kalo gak salah ibu dan ayah mereka kerja di perusahaan yang sama, lalu menjodohkan anak mereka. Begitu yang kudengar.”

“Oh..” belum selesai aku berkomentar, dia sudah memotong lagi.

“O iya. Kamu berarti belum tahu ya? Pernikahan mereka akan dilangsungkan minggu depan, lho! Kita berangkat bersama ya!!” Ujarnya semangat.

What? Menikah? “A-a-apa?! Kau tidak bercanda kan?” Seketika jantungku berdetak lambat

“Buat apa aku bercanda? Kalau kau tak percaya, tanyalah kakaknya.”
Tanganku mendadak lemah dan ponselku terjun bebas ke atas kasur. “Ini.. tidak.. bercanda.. kan?"
Tak lagi kupedulikan ponsel itu sampai Nisa menutupnya. Ajakan itu bagai petir yang menamparku di siang bolong. Bagaimana bisa, aku tidak diberitahu apa-apa, tiba-tiba datang ke pestanya? Seperti apa raut mukaku nanti? Terlebih, bagaimana kacaunya hatiku nanti?? Aku berlari ke kamar mandi dan menangis di sana.

31 Agu 2011

The Diary

catatan sebelumnya : Diary pt 1

8 April 2010

Tidak terasa empat tahun sudah aku tak berjumpa dengannya. Aku juga sudah berada di kota yang jauh. Bahkan berbeda pulau. Tapi bayangannya selalu tinggal di mataku. Entahlah, sangat sulit untuk dilupakan. Ah, iya. Aku menulis tepat di tanggal ini. Hari ulangtahun kak Tyo. Ah, bahkan aku masih ingat. Waktu kak Tyo menraktir semua anggota klub, dia meninggalkan kak Dara dan malah menghabiskan waktu denganku dan Nisa.

Ah, maaf. Aku baru kembali dari bawah. Tadi ibu kos bilang ada yang mengirim paket untukku. Sebentar yaa, kubuka paketnya dulu.

Sebuah tas berwarna hijau. Warna kesukaanku. Dengan beberapa kantung kecil di bagian luarnya. Juga model favoritku. Belum berhenti aku terkejut, di dalam tas itu terdapat sebuah boneka apel warna hijau dan memo yang sepaket dengan pulpen. Keduanya berwarna hijau. . Aku membuka-buka kantung lain di tas itu, banyak pula barang-barang lucu yang kutemukan.

Tapi, siapa yang mengirimnya? Ayah dan ibuku bukan orang yang suka memberi kejutan seperti ini. Saat aku mencoba membuka memo hijau tadi, aku menemukan pesan singkat di lembar paling depan.
“Hai, Ri. Apa kabar? Kuharap kamu sehat-sehat saja.Maaf, aku tau mungkin sudah lewat seminggu dari hari lahirmu saat kau menerimanya. Kuharap kau mau memaafkan. Hanya ini yang bisa kuberikan sebagai kado ulangtahunmu. Semoga kau senang. Aku sungguh merindukanmu.” –LT
Siapa “LT”? Aku sedikit merinding, namun kembali tersenyum saat menatap tas dan barang-barang lain itu. Yang mengirimkan ini pasti orang baik, batinku.


8 April 2011

Pagi ini, ketika hendak berangkat kuliah ibu kos memberiku sebuah surat berbungkus amplop biru. Ini sudah yang kesepuluh kalinya aku menerima surat sejenis. Bahkan ibu kos sampai hafal hanya dengan melihat warna dan tulisannya. Sampai sekarang aku belum tahu siapakah pengirimnya. Dia hanya memberi inisial LT pada setiap surat yang dikirimkan. Aku memasukkannya ke dalam tas. Berniat membacanya pada jam kosong kuliah nanti.

Dosen akhirnya mengakhiri kuliah membosankan itu. Aku berjalan ke sebuah taman dan mulai membaca surat itu. Isinya memintaku untuk datang ke suatu apartemen yang agak jauh dari kampusku. Ah, baiklah sepertinya orang ini hendak menunjukkan dirinya. Sepulang kuliah aku pergi ke alamat yang diberikannya. Penasaran juga seperti apa wajahnya.

Tak butuh waktu lama untuk menuju ke apartemen tersebut. Sekarang pintu apartemennya sudah berada di hadapanku. Kuberanikan diri untuk menekan bel di depan apartemennya. Agak lama, baru pintu itu terbuka. Kakiku membeku begitu menatap sosok di hadapanku. Wajahnya lusuh dan ditumbuhi jenggot tipis tak terawat, rambutnya gondrong berantakan, pipinya tirus dan tulang-tulangnya sungguh terlalu jelas. Tapi aku masih mengenalinya. LT, atau orang yang selalu memberiku hadiah, foto dan kata-kata penyemangat lewat amplop biru itu, tak lain dan bukan adalah kak Tyo. Pemuda kurus kering yang kini termenung tak percaya di hadapanku.

“Halo, kak Tyo.” Aku memutuskan membuka pembicaraan. Kak Tyo sedikit terkejut. “Boleh aku masuk?” Ia menganggukkan kepalanya. Aku pun melangkah masuk. Ia menutup pintu dan mengikutiku.
Kamarnya berantakan. Buku dan peralatan fotografi bercampur tak teratur di lantai. Hanya ada satu tempat tidur yang juga berantakan, dua sofa kecil yang beralih jadi tempat tas dan kamera, dan sebuah laptop yang menyala. Kulihat ia berusaha memindahkan barang-barang di atas sofa. Lalu mempersilakanku duduk di sana. Aku menurutinya, dan ia duduk di sebelahku. Rambutnya sedikit ia rapikan.

“Tidak kusangka, kamu akan datang secepat ini.” Ia memandangku tak fokus. Sedangkan aku terus memerhatikannya dari atas sampai bawah. Masih tak percaya dengan semua ini. Bahwa pria di depanku adalah kak Tyo, orang yang sangat melekat di otakku. Bahwa pria ini yang telah mengirim benda-benda itu.

“Kak, apa yang terjadi padamu?” aku memberanikan diri bertanya. “Maaf, kalau aku lancang. Tapi keadaanmu sungguh.. mengenaskan.” Aku menatapnya, mencari bola matanya. Tapi ia malah menunduk dan tubuhnya meluncur ke lantai. Ia merangkak menuju kakiku dan memeluk kaki kananku. “Kak, bolehkah aku sedikit merapikanmu?” tanyaku. Ia mendongak tak mengerti. Mandilah dulu dan keramasi rambutmu. Nanti aku akan memotongnya. Bagaimana?”

Kak Tyo mengangguk lalu berjalan ke kamar mandi. Sementara itu aku merapikan kamarnya. Aku sedikit terkejut menemukan dua bingkai foto di meja kecil samping ranjang. Foto di sana adalah fotoku yang diambil ketika di museum Fatahillah dan saat wisudanya.

Selesai ia mandi, aku menyuruhnya duduk di sofa yang sudah kuhadapkan ke cermin. Sehelai selimut miliknya kulingkarkan melewati bagian depannya. Dan aku pun melancarkan aksiku untuk mendandaninya. Entah dapat ide darimana, aku mengembalikan gaya rambutnya ke masa SMP dulu. Aku juga mencukur jenggotnya agar terlihat lebih rapi.

Saat aku memegang dagunya, ia menahan tanganku. Tiba-tiba wajahnya mendekatiku, lalu bibirnya menyentuh pipiku. Seketika aku menjauhkan wajahku dan tanganku yang bebas memegang lengannya. Mataku melotot dan sepenuh keyakinan kuucapkan, “Kak, kamu kenapa sih? Jangan begitu. Kumohon!”
Mendadak ekspresinya berubah, terkejut. “Maaf.. maafkan aku. Maafkan aku Ri.. aku sungguh.. bajingan!” ia terisak dan menundukkan kepala, “aku tahu aku gak pantas buatmu! Apalagi dengan kondisi sekarang ini. Aku benar-benar bajingan!” Ia mengangkat kakinya ke kursi dan menenggelamkan kepala diantara kedua lututnya.

Aku benar-benar iba padanya. Tapi tak kuasa menyentuhnya sedikitpun, waspada akan seperti tadi. Aku berjalan meninggalkannya untuk mengambil segelas air. Lalu kembali dan menyerahkannya, “ini. minumlah kak.”

“Pergilah.” Katanya selesai meneguk air minum. “Pulanglah dulu. Aku takut menyakitimu lagi. Kumohon.”

Aku bimbang dan akhirnya menurutinya. “baiklah, aku pulang dulu. Kalau kakak butuh apa-apa, sms saja. Aku pamit, Sampai jumpa!”

Aku bergegas melangkah keluar dan menutup pintu apartemen kak Tyo. Tapi aku tak beranjak dari depan pintu itu. Kusentuhkan telapak tanganku di daun pintunya, mengusapnya pelan. Seakan pintu itu adalah wajah kak Tyo.

Mendadak pintu terbuka. Aku gelagapan dan cepat-cepat menurunkan tanganku, sementara yang dibalik pintu nampak terkejut dan memberhentikan ketergesahannya. Kami saling menatap. Aku tahu, ada rindu yang terlukiskan. Aku tau, ada banyak cerita yang ingin terkuak. Aku tau, ada rasa yang terjalin diantara kami.

Tanpa kusadari, tangannya mengambil pergelanganku dan menyeretku masuk. Segera ia tutup pintu apartemennya dan memeluk tubuhku rapat-rapat. Ah, kali ini kubiarkan saja. Aku juga merindukannya. Kubalas memeluknya dan dia pun mempereratnya. Lambat laun isaknya kembali lagi.
“Gila. Aku benar-benar sudah gila. Aku gila tanpamu. Izinkan aku untuk jadi bajingan kelas kakap hari ini saja. Kumohon, Ri. Tinggallah di sini malam ini. Aku akan tidur di sofa. Aku janji.” Pintanya penuh rasa iba di telingaku.

“Hmm, baiklah. Lagipula esok aku tidak ada kuliah. Tapi kakak harus janji, tidak berbuat macam-macam padaku. Bagaimana?”

Pemuda berkulit putih ini mangacungkan kelingkingnya, “ya. Aku janji.” Aku pun menyambut kait kelingkingnya.

---

31.08.2011

Rimie Ramadan is comeback!!
with old-storage-drafts story
hope you enjoy!!

30 Agu 2011

Idul Fitri Ter(kacau+galau)

Terserah lo mau bilang tulisan gue ini menghukum atau apa. Yang jelas gue cuma mau mengungkapkan kekecewaan gue sama Kementerian Agama RI. Gue tahu ini bukan saat yang tepat karena mungkin ini semua akumulasi emosi gue pagi ini. Tapi yang jelas, di pagi yang seharusnya jadi berkah ini, gue dongkol setengah mati.

Tadi malem ada sidang itsbat yang disiarkan ke seluruh Indonesia. Gara-gara katanya hilal belum keliatan. Sidang itu berlangsung ramai, namun hanya keramaian untuk mendukung satu pihak, gue rasa. Segala bukti dan saksi yang diperoleh mayoritas menunjuk ke hari Rabu untuk 1 Syawal 1432 H. Dan minoritas saksi dan bukti dengan gampangnya ditolak begitu saja.

Please!! Dimana keadilan? Dimana yang katanya tenggang rasa? Dimana demokrasi?

Kayanya politik bahkan udah ikut campur urusan agama. Urusan akidah. Soalnya dari bukti dan saksi aja, udah ketahuan. Daerah-daerah yang dipilih sebagai lokasi pengamatan tuh 90 persen kuasa salah satu ormas yang menduduki mayoritas Kemenag RI. Sumpah gue gedek bangeeeet!!! Apalagi waktu debatnya itu. Sh*t banget. Masa begitu udah diputuskan sama Menteri Agama, ada sebuah argumen yang menunjuk bahwa hilal sudah terlihat disertai dalil-dalil yang gue rasa cukup kuat juga. Nah, terus ada satu orang lain ngacung buat ngelawan bantahannya itu. Terus beberapa orang lain, sekitar 2 atau 3, ikut ngacung. Tapi gue rasa argumennya Cuma nguatin si pembantah pertama.

Harapan gue agak menjulang begitu seorang pakar astronomi yang beberapa menit sebelumnya disiarkan khusus, unjuk tangan. Gue pikir, “Nah, gitu dong. Ada ilmuwannya. Ada yang beneran menguasai.” Tapi mungkin karena berusaha netral dan berdasar ilmu yang dipunya, nih orang malah seakan lemah berargumen. Dan muncul lagi bantahan dari orang sebelahnya, yang keliatan banget dari dandanannya nih orang berlatar belakang si ormas mayoritas. Sh*t.

Gue gak ngerti apa maksudnya si ormas mayoritas atau ormas-ormas lainnya. Maksudnya, apakah tujuannya politik semata atau “kesatuan umat”. Frase ini pun beberapa kali sempat muncul dalam adu argumen tersebut. Tapi lagi-lagi, kayanya ini penguasaan politik berkedok musyawarah.

Please dong!! Kesatuan umat yang diajarin ke gue dari jaman gue masih orok sampe sekarang tuh gak kaya gitu yaaa!!! Malu tau pak, sama anak-anak lo yang baru pada masuk TK Islam. Bisa-bisa besok tuh anak ngeraguin bapaknya beneran “ustad” apa “ustad KTP”.

“Perbedaan di antara kita memberi makna di kehidupan, sehingga dunia tetap berputar mengiringi zaman.. Tapi mengapa kita manusia tiada menyadari setiap perbedaan yang ada menjadi tragedi.” sebuah kutipan lagu “Satu Dalam Damai” yang dipopulerkan oleh Snada selalu membuat gue pege nangis. Karena kenyataan sekarang memang begitu.

Please Pak!! Kita sama-sama Islam, mbok ya gak usah ngotot gitu lah. Gak usah sampe puluhan orang ngacung Cuma buat manas-manasin. Semua punya dalil, semua bisa dibilang benar. Apa susahnya sih saling menghargai?? Cuma gegara syarat derajat hilalnya doang, kok repot? Tinggal disamakan beres kan?

Kenapa juga yang minoritas minta izin mengikuti keyakinannya, pake diketawain segala? Plis deh Pak Menteri, anda seharusnya di pihak netral, bukannya malah memimpin pengolokan?

Sedikit cerita. Kemarin bahkan ada tamu yang sedikit curhat ke ibu saya. “Ibu mah enak. Anak-anaknya udah pada gede. Udah bisa ngerti. Nah saya bingung mau ngejelasin ke anak saya yang baru lulus SD. Makanya ntar mau liat keputusan pemerintah dulu. Padahal saya biasanya ngikutin M, tapi kalo gak bisa jelasin ke anak, takutnya salah paham, ngambilnya yang enaknya aja. Gitu..”
Haduuh negeriku porak poranda. Mayoritas Islam, oke. Tapi, kok Islamnya pecah-pecah gini? Padahal Indonesia tuh kiblat kedua umat muslim lho. Masjidil haram aja berbagai macam solat masih menghargai kok.

Intinya semua keluhan ini tuh, kenapa mau nyatuin Islam aja susah? Kenapa harus pake dalil mayoritas? Selama itu ayat dan hadis masih shahih kan boleh aja diikutin. Kalo kitabnya/pedomannya jadi Tadzkirah tuh baru ngaco!!

Sekali lagi, tulisan ini bukan mau menjatuhkan salah satu ormas. Cuma keluhan seorang remaja muslimah yang limbung harus ngikutin nakhoda yang mana. Dan lagi selama bertahun-tahun kok Idul Fitri ini yang paling gak yakin ya rasanya? Apa perasaan gue doang? Huh.

“Dan ikutilah aku, khalifah-khalifah, dan pemimpin-pemimpinmu.” Kata Rasulullah begitu. Tapi kalo pemimpinnya aja terpecah-pecah kaya gini, ngikutin yang mana? Ya Rasul, di saat seperti ini aku benar-benar ingin engkau ada di sini. Ya Rasulullah Ya Habiballah aku rindu padamu..

25 Agu 2011

Learn from Singapore(1)

"Ayo, ayoo 3 menit lhoo!!" dan Klik. Tercipta sebuah senyuman penuh semangat dari para peserta KKA 2011 ini. Inilah kami, siap mengambil ilmu dari negara tetangga demi masa depan bumi.

--

Dan perjalanan pun dimulai. Sedikit demi sedikit hingga akhirnya kami menghalangi aktivitas pengunjung lainnya, kami berkumpul di Underpass bandara AdiSutjipto Yogyakarta. Berkerumun dengan berbagai macam posisi pada pukul 5 pagi. Menanti dengan penuh sabar. Bukan hanya perjalanannya, namun juga sarapan yang telah dijanjikan.

Pukul 6.30, panitia membagikan paspor serta seciprat kalimat pembuka perjalanan. Kemudian kami beruntun mengikuti panitia untuk check-in. Kami menjadi barisan yang mencolok dengan seragam almamater tercinta. Bagasi, Check-In, Imigrasi, dan take off. Oke, sebab keterlambatan pesawat kami tak jadi berfoto di depan pesawat Air Asia QZ 7138 yang menggendong kami menyebrang samudera.


19 Juli 2011 sekitar pukul 10 kami tiba di Singapura. Singapura memiliki waktu 1 jam lebih cepat dari WIB. Dan ini yang menjadi pertanyaan kami, karena secara garis bujur ia berada di wilayah yang sama dengan WIB.

Tour guide di sana bernama Pak Wang dan Pak Amin. Masing-masing nantinya ikut di dalam bis. Kami diantar untuk menyimpan bagasi terlebih dulu di bis sebelum mengelilingi terminal 1 dan 3 Bandara Internasional Changi.

Terminal 1 saja penataannya cukup nyaman. Apalagi dengan taman indoor namun aku ragu tanaman itu semuanya asli. Tapi cukup menyenangkanlah melihat hehijauan sana sini. Belum cukup lena dengan terminal 1, kami harus menuju terminal 3 menggunakan monorail. Kendaraan yang batal dijadikan alternatif transportasi di Jakarta. Dua lapis pintu monorail hanya terbuka beberapa menit. Jadi siapa cepat dia dapat, sesuai dengan pola aktivitas di negeri Merlion ini.

Terminal 3 Changi Int'l Airport
Tak lama keluar dari monorail, mata kami disuguhi suatu ruang luas yang dihiasi oleh sekumpulan kupu-kupu di atasnya. Bukan sungguhan, melainkan sebaris teknologi shading yang belum terjamah oleh pikiran kami. Belum lagi di sebelah kanan anda akan menjumpai tembok yang disulap jadi hutan mini dengan 10.000 tanaman yang ada di Singapura. Tembok itu dipercantik dengan sebuah air terjun buatan. Di sini kami juga menemukan box-box AC 3x3 meter yang cukup menyejukkan dan menghemat energi.



Tak hanya itu, suasana ruang tunggu sekaligus galerinya pun cukup atraktif. Pemandangan dari jendela langsung mengekspos pergerakan pesawat yang datang dan pergi. Tak banyak pengunjung ke terminal ini karena hanya penerbangan tertentu saja yang diatur di terminal ini. Kami termasuk yang beruntung dapat menikmati keindahannya.


Kami langsung beranjak menuju bis setelah sempat membeli SIMCARD Singapura yang harganya 18 atau 25 SGD di sebuah money changer. Dari sebuah Bandara Internasional yang cukup bikin iri sekaligus kagum, kami bertolak ke destinasi selanjutnya.

City Square Mall





Sebuah mall bertajuk Eco-Friendly dan pernah mendapat penghargaan Green Mark Platinum Award oleh the Building and Construction Authority (BCA). Adalah untuk makan siang selain tujuan utama sebuah kelompok yang meneliti objek Green satu ini. Perut lapar dan hanya mencerna makanan halal membawa kami ke The Banquet dan saya mencicip Bibimbap (semacam nasi pecel khas Korea). Jujur saya agak kecewa karena bumbunya kurang nendang. Setelah makan, kami berpencar sesuai tujuan masing-masing. Aku berkelompok dengan Uti, Riska dan Bubos hanya berkeliling mencuci mata.

Dan akhirnya menghabiskan waktu bersantai dengan segelas Jus Dragon Fruit yang penjualnya susah diajak kompromi dan pelit senyum (dan ternyata memang orang Singapura sebagian besar begitu). Difotoin sama bapak2 di meja sebelah pula setelah aku iseng ber-self timer.

Ah, ternyata peristiwa agak mengenaskan terjadi. Kami ber4 dan beberapa lainnya nyaris ditinggal karena miskomunikasi. Sudahlah, lupakan edisi pengejaran dari city square mall hingga ke masjid depan mustafa itu!!

Fragrance Hotel-Pearl
Dimana kamu tinggal? Fragrance Hotel, pak. Fragrance yang mana? Aduh, yang mana ya, lupa pak.



Hati-hati dalam mengingat nama Fragrance Hotel di Singapura. Karena nama Fragrance Hotel banyak dijumpai. Fragrance Hotel-Pearl, lorong 14 Geylang. Salah-salah, kamu dibawa ke Fragrance Hotel yang di Telok Blangah. Hayah kono!!

Fragrance Hotel-Pearl terletak di kawasan Geylang. Kawasan yang terkenal akan prostitusi semacam Sarkem. Suasana malam lebih semarak ketimbang siang di daerah ini. Berjajar aneka tempat makan juga yang bisa dicicipi. Tapi yang halal bisa dibilang langka. Kami mampir di salah satu warung India agar aman, bernama Bilal restaurant yang mencantumkan halal di posternya.



Dan malam yang semakin larut mulai menyeret kami agar segera bersandar di bantal-bantal empuk. Hemm, selamat malam!!


---

25.08.2011

Ria R. Ramadan
photos CR: eka, uti dan saya sendiri
Wish your trip also be good!!

Tangerang Gituu

Tangerang dengan kemetropolisannya menyambutku dengan aneka nostalgia masa remaja. Even I'm still teens, the last teen. Direncanakan sebagai kota metropolis sekunder segalanya terasa lebih mudah meski keaslian adat budayanya sudah melebur bersama limbah kendaraan bermerek. Dan beberapa waktu lalu, sungguh menjadi pikiranku untuk menggali kembali adat dan budaya masyarakat asli Tangerang. Dipadukan dengan sentuhan teknologi. Jadi akan tercipta semacam Tamanpintar, yang satu kompleks dengan Taman Budaya Yogyakarta dan pusat jendela dunia, Shopping Book Market.

Apalagi sekarang di kawasan Gading Serpong telah berdiri kampus UMN dan sekelilingnya menjadi kawasan terpadu. Sepertinya layak dicoba apabila ada pendukung dan dana, serta perencanaan yang matang. Untuk sementara ini hanya wacana saja. Jika ada yang mau mengembangkan, mohon komentar di blog ini. Terimakasih.

18 Agu 2011

Your Existence

You're not special, I know
Just one of a kind, you showed
and there's no important when i met you
Never had any wonder we can go this far

A)But your voice (your voice)
Seems a healing one for me
The way you caress me (caress me)
That made me so comfort along with you

B)And your eyes (your eyes)
never thought it would see my heart
see me through (see me through)
Then get a place inside, oh you

I've been having a lot of romance scenes
But no one seems like this
I am obviously running into you
Can't believe that
now I've fallen in love with you

*repeat A, B,

Hoping someday
We complete each other's piece
to build many more stories
and forever
til the day has come
we treasure our lives together

---

18.08.2011
Rimie Ramadan

dedicated to somebody,
"I know you will read it even you wouldn't understand"
the pieces of hope he given me these days

thank you for read and sing together!! (this is a song, you know)

16 Agu 2011

17

berkorban darah tiada lelah
lengan kekar dengan baju dilinting
gagah berani mengusung bambu runcing

ingatkah kau kala seorang
berkorban tanpa kenal kata pamrih
tak peduli berapa keringat yang terperas
demi melindungi ribuan jiwa yang tertindas

ia yang berlari
tergopoh-gopoh bersembunyi
hanya dalam hitungan jari

bayangannya menghilang lewat pintu belakang
seakan ia buronan
padahal ia pahlawan

dan ketika sosoknya yang tegar dan radikal
terdeteksi memeluk dahan apikal
di antara daun-daun dan buah kelapa nan segar
dan akhirnya, CTAAR!!

Seketika darahnya memancar
menyedot kesadarannya
menumbuhkan rasa penghargaan kepada sosoknya
dan menghantarkan jiwanya
ke haribaan Sang Pencipta

Ya Allah, inilah seorang pamanku
satu dari berjuta pemuda
yang merelakan jiwanya demi Indonesia
semoga Engkau meridhai keikhlasan beliau
dalam menghabiskan masa mudanya
demi keluarga dan kemerdekaan bangsa


----

16.08.2011

Rimie Ramadan

also posted in abdulkaharfamily.blogspot.com

"Bangsa yang besar adalah yang menghargai jasa pahlawannya"
Memperingati hari kemerdekaan Republik Indonesia ke-66

13 Agu 2011

diam!
sudahlah. tak guna kau bicara
sembunyi saja dibalik kepalsuanmu%
tak ada yang tahu

diam!
kujadikan kau panutan
seenak jidat kau belotkan
aku
ke dalam jurang tanpa dasar

apa guna kau?
apa kau peduli?
setitik pun tak tergambar
di belangmu yang amburadul

kau masih berharap
aku
percaya?
sudah
logam bisa mencair
air pun bisa jadi badai

kita
pisah
kau di tempatmu
aku di jalanku

Rimie

10 Agu 2011

Mimpi, Pertanda?

Sekitar 3 hari dari hari ini, aku membuka mataku dengan tersenyum. Aku memeluk guling dan menarik selimutku lebih erat. Seolah jika aku melakukannya, mimpi itu akan berlanjut. Seakan mimpi itu nyata, aku bergumul dalam selimutku menghangatkan diri.

"Hah.. sampai sudah di bukit ini!!" ucpku ceria. Ketika itu aku bersama beberapa orang yang aku lupa wajahnya. Kami bermain-main cukup lama. Sementara hawa perlahan menyejuk dan seketika kami berpandangan. Tak lama kemudian, butir putih mulai turun dari langit. Laksana awan yang diparut hingga berbutir kecil. Perlahan, dengan kilapnya menembus bidang terdekat. termasuk tanganku. Melebat, menyeruak dan dalam sekejap semua pemandangan hijau itu berubah menjadi hamparan salju. Indah dan terasa nyata.

Lalu 2 hari setelah itu, atau malam kemarin, aku kembali terbangun dengan mimpi yang berkesan. Namun kali ini aku kebagian mimpi tentang seorang anak kecil. Entah siapa anak kecil itu, aku juga tak kenal. Bahkan tak tahu. Mendadak menjadi tokoh utama di mimpiku. Dan membuatku banjir airmata.

Aku melihat kelahiran bayi kecilnya. Dia menangis meraung, berbarengan dengan ditaruhnya bayi merah lain di sebelahnya. Tak dinyana, keduanya bertetangga dekat. Keduanya tumbuh bersama. Hingga suatu hari, si anak tokoh utama ini harus pindah ke ibukota. Meninggalkan kampung halamannya untuk waktu yang cukup lama, hidup di rumah kerabatnya tanpa didampingi orangtua.

Persahabatan yang kental ternyata dapat diperdaya oleh waktu.

Suatu hari yang biasa, si anak ini disuruh pulang kampung oleh ibunya. Menurutlah si anak dan esoknya segera menuju kampung halamannya. Sesampainya di rumah, ia melihat kedua mata ibunya lebam seperti bekas menangis ditambah beberapa jejak airmata di pipinya. Ia bertanya pada ibunya perihal keadaan beliau. Namun sang ibu hanya menyuruhnya bersiap-siap, agar segera berangkat. Tanpa banyak omong sang anak lagi-lagi menurut. Usianya yang masih cukup muda ketika itu, mungkin sekitar 8 tahun, masih dalam masa ogah membantah. Baju yang ia siapkan ternyata telah diganti oleh sang ibu begitu ia selesai mandi. Kemeja putih, dasi hitam dan setelan hitam. Ia berpikir, "Apakah seformal itu acaranya?" sampai harus memakai setelan.

Lagi-lagi ia menurut. Ia memakai baju itu dan bersisir. Beranjak dari kamar, ia melihat ibunya telah rapi dan siap di depan pintu. Mereka pun berangkat. Sepanjang jalan sang ibu tak henti menyapu sudut matanya. Si anak tak henti menanyai dirinya sendiri.

Sampailah mereka di suatu gedung yang mirip rumah duka. Dan ternyata benar. Dari luar terlihat busana-busana gelap dan pita-pita hitam berjajar. Pertanyaan berikutnya adalah "Siapa?" dan segera ia mendapat jawabannya.

Di peti yang berukuran lebih kecil dari peti dewasa, ia melihat jenazah teman kecilnya terbujur dengan busana terbaiknya. Matanya memejam, tak ada lagi kilau nakalnya. Tangannya menyatu di dada. Seakan kedamaian telah menyelimutinya. (di sini aku mulai ikut menangis)

Tubuh si anak gemetar. Ia segera berlari keluar, meninggalkan sang ibu. Ia berhenti di undakan dekat sebuah kolam dan terisak sendirian. Cukup lama, sebelum ada seseorang menghampirinya. Orang itu memberikan sebuah amplop dan kotak berpita.

Ia membuka amplop berisi surat tersebut. Isaknya kembali menderas. Surat itu berisi permintaan maaf dan ucapan terimakasih. Serta mengungkit beberapa kenangan mereka. Belum cukup, ia membuka kotak berpita. Isinya foto2 beragam sejak mereka masih bayi hingga sesaat sebelum keberangkatannya ke ibukota.

Dan seketika tangis itu membawaku ke kehidupan nyata. Dan aku masih terus menangis entah untuk berapa lama. Percaya atau tidak, ini mimpiku. Bukan karangan semata. Entah untuk apa mimpi ini hadir di tidurku. Yang jelas satu hal yang kupetik, "Persahabatan itu dijalani lebih dari satu pihak, namun jika pihak lainnya telah tiada, persahabatan itu tetap nyata."

Ria R Ramadan
10.08.2011

4 Agu 2011

Hikari no Dojou (1)

Prolog
Terjadi pencurian di sebuah bank dan toko perhiasan di daerah Kyoto yang terjadi pada satu malam. Tindak pencurian ini sungguh meresahkan warga masyarakat hingga mereka berbondong-bondong mendatangi kantor polisi di komplek tersebut untuk mengajukan komplain. Mereka mengenali ciri-ciri pencuri itu sebagai pemuda kurus dengan mata yang tajam.
“Hikari-san, kau tangani kasus ini, oke? Aku tak mau lagi mendapat laporan dari masyarakat saat aku menghadiri pesta ulangtahun presiden besok.” Kata Inspektur Kepala.
“Siap, komandan!” jawab polisi tersebut seraya menghormat.
1
Bruk.
Tap tap tap.
“Onee-chan!” Seorang gadis berwajah imut memanggilnya.
“Ssht!! Pelankan suaramu, Aya-chan!!”pencuri bernama Hikari menjulurkan telunjuknya mengunci mulut sang adik. Gadis itu mengangguk lalu membantu membawakan barang-barang hasil curiannya. Hikari pergi ke kamarnya. Aya mengikuti kakaknya.
“Kak, kamu tidak apa-apa?” Dia bicara selirih mungkin agar tak ada yang mendengar. Tangan kanannya mengusap pelan wajah kakaknya yang telah bebas dari topeng ninja. Aya mendesah, “Kukira kau sudah tahu baik aku mencemaskanmu. Yah, tapi.. apa boleh buat. Gomen ne,” Aya membungkuk. Air matanya mulai jatuh ke lantai kayu.
Hikari memandanginya untuk sesaat sebelum mengelus rambut saudara semata wayangnya. Perlahan dia mendekati Aya dan memeluknya. Menukar perih dan kekuatan satu sama lain. “Jangan cemas, Aku akan selalu melindungimu. Aku janji.”
2
Kimizuki Hikari berjalan-jalan santai hingga sampai di sebuah taman kota. Tangannya menggapai sebuah bangku. Lantas ia duduk di sana. Cukup lama ia melamun, hingga tak menyadari seorang gadis duduk di sebelahnya. Gadis itu menepuk bahunya. “Mau minum?”
Lamunan Hikari buyar serta merta menengok ke sumber suara. Ia melihat tangan berkulit kuning langsat menyodorkan minuman kaleng yang sudah dibuka. Ia kemudian menatap sang empunya dan menggeleng, “Tidak. Terimakasih.”
“Cih. Kau ini, baiklah kalau kau takut kuracuni,” tangan gadis itu kembali masuk ke plastik yang dibawanya, “nih. Masih utuh, belum dibuka.” Sodornya lagi.
“Haah. Baiklah. Jangan menyesal ya.” Hikari menyambar sekaleng minuman lainnya dari tangan gadis itu. Ia mendengar gadis itu terkikik. Ia pun ikut tertawa.
“Hei, siapa namamu Tukang Paksa?” tanya Kimizuki Hikari selesai mereka tertawa.
“Jangan panggil aku seenaknya, ya! Namaku bagus. Hikari. Shouto Hikari.” Jawab gadis itu mantap.
Tapi pemuda di depannya malah tersentak hingga nyaris tersedak. “Uhuk. Kok.. sama? Namaku juga Hikari. Tepatnya Kimizuki Hikari. Salam kenal.” Ia menjulurkan tangan dan segera dijabat oleh Hikari.
3
Malam itu Hikari tidak melakukan aksinya. Ia terdiam di kamarnya. Badannya cukup lelah setelah membersihkan seluruh dojo sore tadi. Aya masuk ke kamarnya setelah mengetuk pintu. “Kak, makan.”
Hikari bangun dari tempat tidurnya. Lalu mengikuti adiknya ke ruang makan. “Masak apa kau malam ini?”
“Yakiniku ditambah Sup miso. Oya, aku juga membeli buah peach di pasar tadi.” Jawab adiknya.
Selera makannya terbit mendengar makanan kesukaannya itu disebut. “Sepertinya lezat nih.” Ia duduk di salah satu sisi dan mengambil mangkuk Sup miso. “Tapi ingat, kau jangan berfoya-foya lho.” Nasehatnya sebelum menyeruput kuah miso kesukaannya.
Aya tersenyum. Bersiap mengambil mangkuk nasi. Dengan sumpitnya ia mengambil potongan-potongan daging yakiniku ke atas nasinya. “Malam ini kau pergi?”
“Tidak.” Hikari mengikuti adiknya, menyuap sekali sambil melanjutkan. “Aku lelah habis membersihkan dojo. Lagipula tangkapan kemarin cukup banyak bukan? Bisa untuk sebulan lah kira-kira.”
“Syukurlah. Aku akan tenang kalau begitu.”
4
Shouto Hikari kembali menjalankan aksinya. Ia bersembunyi di antara dahan-dahan pohon. Mengamati situasi target tangkapannya kali ini. Setelah dirasa cukup aman, ia mulai menuju ke atap. Target kali ini adalah rumah seorang pejabat yang dikenal sombong dan pelit. ‘Sedikit memberi pelajaran. Anggap saja balas dendam dari rakyatmu.’
Ia merangkak menuju sebuah jendela, menurut pengintaiannya jendela itu telah lepas engselnya. Dengan mudah ia masuk ke dalam. Ia memastikan tak ada yang menyadari keberadaannya. Lalu secepat kilat ia menyikat barang-barang mewah di rumah tersebut. Sejumlah perhiasan, uang dan beberapa koleksi benda antik yang pasti mahal itu ia bungkus rapi.
Tapi ketika ia hendak keluar dari jendela yang sama, ia menemukan seorang polisi sedang berpatroli di bawah sana. Dan sepertinya ia pernah tahu wajah orang ini. Segera setelah jaraknya cukup jauh, dengan lihai Hikari keluar dan melompat melalui atap-atap rumah hingga kembali ke dojonya.
5
“Onee-chan.” Aya memanggil namanya saat Hikari sedang melatih murid kelas khususnya.
“Ada apa, Aya-chan?” tanyanya lembut kepada adik satu-satunya itu.
Muka Aya sedikit bersemu merah. Pandangannya juga tidak fokus, terbagi antara memandang kakaknya dan sekumpulan murid di hadapannya. “Ano.. persediaan ocha kita habis. Bisakah kau membelikannya di warung ujung jalan?”
Hikari tersenyum simpul. “Aah. Boleh saja. Tapi..” Hikari menolehkan kepalanya ke murid-muridnya sebentar kemudian memandang Aya lagi. “Kau janji menceritakannya nanti malam. Oke?” suara Hikari membisik.
“Onee-chan!!” Pipi Shouto Aya semakin memerah digoda kakaknya. “Baiklah. aku janji. Oya, bisakah kau juga membeli kue kering? Untuk camilan.”
“Baiklah gadis keciil!!” Hikari mengelus dagu Aya. Membuat Aya semakin ngambek dan meledaklah tawa Hikari.
6
Hikari baru saja menyelesaikan permintaan Aya. Ia pun hendak kembali ke rumah mereka yang berfungsi sebagai dojo. Namun sebuah papan informasi menyeret matanya. Sebuah poster ukuran A3 memasang wajah seseorang yang berbalut seragam ninja. Di bawahnya tertulis “Pencuri Kelas Kakap. Bagi yang menemukannya segera lapor ke pos polisi terdekat. Akan diberikan hadiah sebesar 10.000.000 yen.”
Hikari tersenyum. ‘Jumlah kecil. Tak seberapa dengan hasil tangkapanku. Cih. Dasar pemerintah.’ Ia masih memandangi gambar itu cukup lama.
“Hei sedang apa kau, Shouto-san?”
Sebuah panggilan mengagetkannya. Ia menoleh, dan terpampang sebuah wajah yang ia kenal seminggu lalu. “Ah, tidak. Aku hanya terpesona dengan hadiah sayembara ini. Besar sekali.” Katanya mengelak.
Polisi bernama sama dengannya itu mendekati dan sama-sama melihat poster yang ia buat. “Hm. Setimpal kok dengan buronannya.” Kimizuki Hikari menoleh ke gadis di sampingnya. “Kau tahu, dia pernah mencuri di bank dan toko perhiasan sekaligus, dan keduanya dilakukan pada malam yang sama!!” cerita Hikari menggebu.
‘Tentu saja aku tahu. Bodoh.’ “Ah, benarkah? Itu benar-benar gila!” katanya bohong.
“Oh, ya. Ngomong-ngomong dari mana kau? Mengapa berpakaian seperti itu?” tanya polisi muda itu, seakan menginterogasi. Hikari menatap gadis di depannya dengan raut bingung.
“Ini. Aku baru saja membeli ocha dan beberapa kue kering pesanan adikku. Dan akan kembali ke dojo.” Hikari menunjukkan bungkusan coklat yang ia bawa. “Oh, aku belum memberitahumu ya. Kimizuki-san, aku ini pelatih karate.”
7
“Kimizuki-san, aku ini pelatih karate.” Kalimat itu terus bergema di telinga Kimizuki Hikari. Ia membayangkan wajah gadis bernama sama itu, tak habis pikir. ‘Wajahnya imut. Badannya yah, cukup tinggi sih. Aku tak menyangka dia sudah jadi pelatih.’
“Hei. Kenapa kau melamun, Hikari-san?” tegur seorang polisi wanita berpangkat jendral. Dia Fujiwara Ito, Wakil Kepala Inspektur di perfektur ini.
Hikari-san hampir saja terjatuh dari “kursi goyangnya”. Seketika ia menggeleng, “Ah, tidak. Saya hanya memikirkan taktik untuk menangkap pencuri itu. Bukankah itu sudah menjadi tugas saya?” jawabnya bohong.
“Oh. Baguslah kalau begitu. Tapi kuharap kau segera menyusun strategimu itu. Jangan Cuma dipikirkan. Mengerti?”
“Siap, komandan!” Ia menghormat sambil menegakkan kembali duduknya.
8
Makan malam Hikari dan Aya berlangsung sepi. Aya yang biasanya membuka percakapan, kini bungkam. Akhirnya selesai makan, saat mereka menikmati ocha yang baru dibeli sore tadi, Hikari membuka percakapan.
“Aya-chan. Seleramu bagus juga rupanya.”
Glek! Hampir saja Aya menyemburkan sisa dalam mulutnya. “Onee-chan!” dilihatnya Hikari tertawa puas.
“Haha. Maaf dik. Tak kukira kau sekaget itu. Kau benar-benar menyukainya ya?” selidik Hikari.
Muka Aya memerah lagi. Kali ini persis seperti kepiting rebus.
“Setahuku, dia itu belum lama tinggal di sini. Baru dua tahun sepertinya.” Tutur Hikari. “Orangtuanya bercerai. Ia dan ayahnya pindah kemari lalu ayahnya menikah dengan orang sini.”
“Ya. Beliau aslinya dari Korea, tapi cukup fasih bahasa Jepang. Ayahnya seorang penjaga barang yang transit di pelabuhan. Makanya bisa bermacam bahasa. Terutama Jepang.”
“Ahahaa.. sepertinya kau benar-benar sudah dekat dengan Park Seungji!! Ahahahaahaa..” tawa Hikari sungguh lepas malam itu. Membuat muka Aya semakin matang.
“Hikari onee-chan!! Dia kan cukup terkenal diantara para murid. Aku hanya sering mendengar obrolan mereka saja! Lagian dia lebih sering memujimu daripada aku. Dia sangat mengagumi dirimu Onee.” teriaknya malu.
“Hahahaa. Terserahlah Aya-chan. Tapi, kuberitahu sesuatu. Jangan cemburu padaku. Karena aku tak suka padanya. Lagipula menurutku, itu hanya alasan untuk mendekatimu. Hyahahahaa..”
Bibir Aya melengkung ke atas. Tapi tak dipungkiri, pipi dan hatinya makin bersemu.

NYAMBUNG

2 Agu 2011

Thank God It Ends

After some times I finally had courages to send a 'usual' sms.
Some times that I can't call it short.
That loser soul, tried to throw it further.

See my phones a while then leave
to take a break for my all-day fasting
Cause I really think that's a usual thing
and I leave it some times without notice

I'm eating my meal when my sister's shouts
"New messages in your inbox!!"
Nothing shocks, cause friends I sent them too
"Ok, after finished rite?"

I take my phone and find inbox
the usual friends replies and some ads
what takes my eyes out is that number
that I remember out of my mind

Still gives me shocks
It likes saying goodbye
to the cold symptoms between us

thanks anyway being that nice
now I can clearly smile

---

Rimie Ramadan
02.08.2011

29 Jul 2011

White Rose : A Story of Kim Jinyeong and Kyoko Matsumoto

Episode 7-

“Jinja? The formal engagement day will be arranged sooner?” His parent just smile happily.
“Wah, sis-in-law really talented! I’m glad she can passed it, even when her look can be the model herself!” Jinsung get a pinch from his brother
Jinyeong looks at him devily. “Hey, brother. If you dare to like her, you know what will I do to you, right?”
“I-don’t-care!!” Jinsung laughs. “Argh!! It’s hurt Hyung!!” Jinyeong pinches him more.
***
Kyoko smiles so brightly this noon. She already stands since 15 minutes ago. She can’t wait more because they’ll have a costume fitting for the engagement day. But cluelessly Jinyeong didn’t come up yet. She sits, and stands, and walks around then sits again. Then she decides to stand again. Til the school’s getting almost no one.
All of a sudden, some beggars come up and try to flirt Kyoko. They’re surrounding Kyoko, one of them catch Kyoko’s bag. Kyoko seemed really frightened. She wished somebody come up and help her. But there seemed no one will.
Louis has just finish his last practicum in Science Club activity. He packs her backpack and get out from laboratory quickly. “It’s almost match time. Crap!!” He’s going to slap her head but seeing a student being bullied by beggars, he won’t. He keeps hiding for making strategy. He comes to the crowd and try to punch them one by one. One man which holds Kyoko tightly, being punch by him at the back. He fights them and take Kyoko’s bag with a great smile. But..
“BUGH.”
One of the beggars hit him from backside and made him fell down. The other two beggars kick him while the rest of them take their bikes. Louis get much hurts and bleeding. He’s trying to get up when the beggars come to their friends on bikes. Since he could stand weakly, a beggars bike hit them instead. He fell and rolling on the ground til his body faces the pedestrian. All the things getting dark around him and blackout.
***
“Craack!”
A doctor and some nurses come out from the surgery room. Kyoko and Jinyeong get up and asks the doctor quickly about Louis condition.
“Are you his family?” said the doctor. Both of them shake heads. “It’s better if his family here. Because he lost much blood. And usually family’s blood-related is easy to adapt with patient’s body. So when they will come?”
“Mm, He only has dad. And he’s working now. Usually he comes home about 9 pm. Isn’t it too long if we’re waiting? Can it be replace, doc?” Kyoko said carefully.
The doctor thinks a while said, “Ok. His blood type is AB+. Do you have one?”
Kyoko shakes her head again. But Jinyeong nods certainful. “I’m ready doc.”
***

28 Jul 2011

Mistake

Sorry
First word I'm gonna say
Yesterday and even today
Things I wished the wind to bring away

Don't know which way to choose
And how to find a way back
on being like yesterday

I can't forget you
nor erase you out of mind
Just because that mistake
I'm cruel if doing so

This last days
before the day of forgiveness
Days ago
Said you had forgiven me and let go

I said nothing but regrets
You left me by the uncertainties
Which never cracked til tomorrow

Times and times you said enough
Times and times I tried to make it enough
Stopping the uncertain things which was chasing me around

Times and times I tried
To forget the mistake we had
Not to erase your owner pet

25 Jul 2011

kolam kata tanpa makna

Surya masih menggagah di tengah rapuhnya negri. Memberi energi bagi setiap individu di muka bumi.
Alangkah sabarnya ia menyaksikan bumi disiksa makhluk2 mini tak berhati. Sering ia berdialog dgn langit mengadukan rasa perih nan ibanya kepada kekasih langit. Sungguh ia tak pernah bermaksud menyimpankan panas radiasinya hingga menutup kulit bumi. Semua ini hanya ulah dua tangan dan kaki manusia.

Melihat hijaunya rumput (negri) tetangga. Hal plg menyedihkan yg kurasa. Bukan. Bukan sekedar kehijauannya. Jika dibanding negri ini, mereka kalah. Hanya saja kekompakan mereka dlm.memajukan bangsa sendiri. Kejujuran yang jarang tampak d bumi pertiwi. Modal yg mereka dapat dari Allah hanya sekedar pulau tanpa beban gempa. Bahkan penduduk asli saja mereka tak punya. Namun hanya dlm waktu 70 tahun mereka perbarui semua.

3 Jul 2011

My Love

(Sebelum baca, kukasitau "aku" di sini cowok, lhoo. met baca!!)



I know I've fallen in love when you're coming down to my eyes

Wanna make you, wanna feel the beauty as you are

I wanna tell you some I'm not a man who say in lies

Wanna love you I wanna hold you can you be the part of my life




Ya, harus kuakui aku jatuh hati sejak melihatmu. Saat itu kau menjadi seorang penjaga kasir di sebuah swalayan. Aku sempat mematung sebelum mendengar panggilanmu untuk giliranku membayar. Sejak itu, di hari yang sama setiap minggu aku ke sana, entah membeli apa. Yang penting aku dapat antre di kasirmu.



I imagine you smiling at me,

I imagine you holding my hand, oh oh

Cast a spell and hope you become my love

I imagine you sleeping in my arms

I imagine you kissing me oh oh

What a sweet imagination



My heart keeps on going thump thump
When you look at me, you keep on smiling without you even noticing, and before you even realized, you started to fall for me



You’ve fallen for me, fallen for me, you melted because of my sweet love
You’ve fallen for me, fallen for me, you’ve fallen for the look in my eyes



See my eyes, You’ve fallen for Me

See my eyes, You’ve fallen for Me




Semakin sering aku datang ke sana, hingga kau pun hafal dan mulai tahu faktor X dari kunjunganku setiap minggu. Kau pun akhirnya memberikan nomormu agar kita bisa bertemu di luar swalayan. Dan kita semakin sering bertemu. Awalnya aku sedikit canggung namun kelamaan aku melihat kecanggungan itu berpindah padamu. Ah, mungkin bukan canggung tapi malu. Rona merah jambu itu sungguh mencuat diantara putih pipimu. Ya, aku tahu kau mulai membalas perasaanku.



I’ll also confess to you I love you I love you, Now I shall confess to you that I love you

I also love you love you my feelings are telling you that I love you



Akhirnya aku berani mengatakannya. Malam Tahun Baru menjadi saksi pengakuan itu. Tepat tiga hari menjelang ulangtahunmu. Dan tepat di hari itu kau memintaku untuk mendaftarkan namamu di agensiku sebagai model. Yah, notabene aku seorang wartawan majalah fashion.



Kabar bahagia itu-kau diterima sebagai model- datang bersamaan dengan kecemasanku. Karena pekerjaan model itu sangat riskan. Ya, riskan untuk hatiku. Risih rasanya melihatmu dipasangkan dengan lawan jenis. Tapi apa mau dikata, aku telanjur mendukung semua pilihanmu.



2 bulan berjalan, dan kau semakin ahli berlenggak lenggok di depan kamera. Tubuhmu yag proporsional dan wajahmu yang menawan tak pelik membuat beberapa teman modelmu mengutarakan perasaannya padamu. Dan kau menolak mereka demi aku. Aku sangat bangga, kau tahu?



Tapi ternyata tak ada gading yang tak retak. Sepulang dari kamp pemotretan di Bali, kau bertingkah sedikit aneh. Ya, kau memang masih tersenyum padaku dan bertingkah ceria. Tapi terkadang keceriaanmu berlebihan. Membuatnya terasa dusta. Bahkan kau jadi lebih sensitif saat aku tanpa sengaja menyinggung kedekatanmu dengan seorang fotografer. Maaf, awalnya aku tidak cemburu tapi reaksimu membuatku begitu.



Keanehan itu bahkan menjadikanmu dingin setiap kali aku menelponmu. Seringkali kau tolak telpon dariku. Entah pekerjaanmu atau harus menjaga rumah, berjuta alasan kaubuat untuk menghindar dariku. Bahkan sampai pada suatu saat nomormu tak dapat kuhubungi lagi.



Akhirnya aku mendapat suatu kabar dari rekan sekerjaku. Ia tak sengaja melihatmu berciuman mesra dengan sang fotografer. Sungguh aku muak mendengarnya. Aku ingin segera mendengar penjelasanmu. Aku berharap itu hanya mimpi atau angin lalu. Tapi berkali-kali kucoba menghubungimu tetap tak bisa.



I get a feeling that you’ll leave me (Don’t give up)

You keep giving me all these excuses (Don’t give up)

Your cold Bye Bye that felt different from before (Don’t give up)
I cannot let you go (Because I love you)



You told me you love me but now, why you say goodbye?
I cannot let you go like this, never (because I love you)



Don’t try to leave me
with only an excuse



Please don’t go go go, Please don’t go

Can you please look back at me just once?

Please don’t go go go, I don’t like sad good byes
Please come back to me, because I love you



Berkali-kali kuyakinkan hati untuk bersabar dan memaafkanmu. Aku terlalu mencintaimu dan tak sudi merelakanmu. Selalu berharap kau kan kembali padaku. Hingga akhirnya..



Aku berbelanja di swalayan tempatmu dulu bekerja. Tanpa sengaja aku melihatmu di satu lorong. Berdua dengan seseorang yang kukenal. Ya, siapa lagi kalau bukan fotografer itu? Kau sempat melirikku dan terkejut. Aku menunduk kemudian mendongak lagi, dan jelas terdengar di telingaku “tidak. Bukan apa-apa kok.” Diakhiri senyuman manismu untuk pria di sampingmu itu.



Aku melihatmu, dengan tangannya yang tak lepas dari pinggangmu. Memelukmu erat di luar busanamu yang semakin minim. Aku hanya bisa mengepalkan tangan dan menahan geram.



Erasing the memories, erasing it with the tears

You, who I can’t contain in me

Pushing away the memories, pushing away the pain
So that you can’t linger in me



Throwing away the memories, throwing it away with the tears

So that I won’t have any hope
So that you wouldn’t even know my yearning heart



Even if I push you away painfully (I just wait for you)

I miss you still, I don’t think I can stop it (I can’t do anything about it)
Perhaps I still can’t send you away



Even if I throw you away, you grow in my heart

You become the tear that never dries

Even if I erase you, you grow again
You become the scar without the pain



Day by day, my love that has faded

Now I can’t even catch my love
No matter how hard I try



I swallow the tears so I can’t raise my chin

With the yearning that dug into my heart
So that even my warn out heart won’t notice



Even if I push you away painfully (I just wait for you)

I miss you still, I don’t think I can stop it (I can’t do anything about it)
Perhaps I still can’t send you away




Even if I throw you away, you grow in my heart

You become the tear that never dries

Even if I erase you, you grow again
You become the scar without the pain



Day by day, my love that has faded

Now I can’t even catch my love
No matter how hard I try



Your gaze that was always nerve wrecking (It always captured me)

The hoping that you will run to me (You keep giving me bruises)
Now you can’t even come to me anymore



Even if I throw you away, you grow in my heart

You become the tear that never dries

Even if I erase you, you grow again
You become the scar without the pain




I love you, I just love you

I can’t even hug you when I can bear the pain

No matter how hard I try to catch you

No matter how many times I call you my love
It doesn’t work




“Aaarghh… Shit!!!!” Bugh! Apa kau lihat? Bahkan dinding itu jadi korban efek domino yang kau berikan padaku. Kau benar-benar.. Argh!! Bahkan aku tak bisa mencapmu dengan julukan-julukan hina. Entahlah, walaupun aku tahu kau berkhianat terhadapku aku tak bisa membencimu. Tak bisa. Arrrgghhh!!! Praang!



Esoknya kau menelponku tanpa kuduga. Kau bilang mau bertemu, di tempat biasa. Oke, aku akan datang. Aku sungguh bersyukur kala mendapatimu duduk sendirian. Setidaknya tidak bersama dia.



“Maaf, selama ini aku berbohong dan akhirnya kau tahu. Jadi, kuharap kau bisa mengerti.”



Ya, aku mengerti. Mengerti bahwa kau memintaku untuk mengakhiri hubungan ini.



“Maaf, selama ini aku mencintai dia. Jangan salah paham, bukan karena uang. Tapi aku benar-benar mencintainya. Dan dia mengajakku menikah.. bulan depan. Ini,”



Tanganmu yang halus menampilkan sebuah kertas indah dari dalam tas kecilmu itu. Betapa aku ingin menggenggam kembali tangan itu. Tapi segera kutahan ketika sebuah undangan terlihat di mataku. Indah, ya sangat indah. Harapan agar namaku yang tertulis di dalamnya segera kutepis. Ini untukmu, dan aku belum bicara sepatah kata pun.



“Kuharap kau bisa datang. Terimakasih dan maaf telah menyakitimu sedalam ini.” katamu seraya membalikkan badan.



Kau.. sungguh.. “Tunggu.” Ah ini saatnya, kau berbalik dan menatapku. Tapi sedari awal kusadari tatapanmu hambar. Kosong. Bahkan tak ada senyuman ceria lagi. “Apa kau tidak ingin mendengar sesuatu dariku?”



“Baiklah, apa itu?”



“Sakitku.. tidak bisakah kauobati? Kumohon hari ini saja, sisakan waktu bersamaku.” Aku tahu aku seperti anak kecil tapi aku tak tahu apalagi yang harus kukatakan.



“Maaf. Tapi kurasa tidak bisa. Hari ini jadwal pemotretan benar-benar penuh. Belum lagi mengurus agenda pernikahan itu. Kau tahu sendiri aku orangnya banyak repot. Hahaha.” Tawamu hambar.



Aku membuang napas pendek. “Baiklah. Selamat jalan. Semoga persiapannya lancar.”



Hari pernikahanmu pun tiba. Diiringi hujan deras aku melangkah keluar kontrakan sempit ini. Langkah demi langkah hingga tiba di suatu tempat. Tidak, jangan sangka aku menuju ke resepsimu. Langkah ini, menuju ke tempat aku jatuh cinta padamu.



Aku membeli barang yang sama walaupun tak kubutuhkan. Menuju kasir yang sama dengan pandangan hampa. Di sana sang kasir--yang sekarang adalah laki-laki—menegurku karena giliranku tiba. Aku membayar semua barang dan beranjak keluar.



Baru kusadari di luar ternyata hujan deras. Dulu tidak seperti ini. Tidak ada hujan yang menyerang. Aku tetap melangkah, menerabas hujan yang menusuk badan. Dan perlahan, kukeluarkan tangis yang tertahan. Menyadari, bahwa dulu dan kini tak lagi sama. Cerita indah itu telah berganti.



No one ever sees, no one feels the pain
Teadrops in the rain



I wish upon a star, I wonder where you are

I wish you're coming back to me again
And everything's the same like it used to be



I see the days go by and still I wonder why

I wonder why it has to be this way
Why can't I have you here just like it used to be



I don't know which way to choose

How can I find a way to go on ?
I don't know if I can go on without you oh



Even if my heart's still beating just for you

I really know you are not feeling like I do

And even if the sun is shining over me

How come I still freeze ?

No one ever sees, no one feels the pain
I shed teardrops in the rain



I wish that I could fly, I wonder what you say

I wish you're flying back to me again
Hope everything's the same like it used to be



I don't know which way to choose

How can I find a way to go on
I don't know if I can go on without you, without you



Even if my heart's still beating just for you

I really know you are not feeling like I do

And even if the sun is shining over me

How come I still freeze ?

No one ever sees, no one feels the pain
I shed teardrops in the rain



Oh... I shed teardrops in the rain
Oh... Hey... Teardrops in the rain



Even if my heart's still beating just for you

I really know you are not feeling like I do

And even if the sun is shining over me

How come I still freeze ?

No one ever sees (no one) no one feels the pain (no one)

I shed teardrops in the rain

Teardrops in the rain

Teardrops in the rain
Teardrops in the rain...

---

Rimie Ramadan

03.07.2011

Inspired by CNBLUE’s songs



Disclaimer: All the songs n lyrics belong to CNBLUE and Boices’ page who translated them.

Gomawayo chingu. Kamsahamnida..

Is this story deep enough? Hehe.. lagi pengen refreshing sih.

di awal berasa cuma kerangka karangan doang haha..

worse? better? need ur comment please.. thank you

26 Jun 2011

racun

Dalam diam, senyumku mengembang
Teringat mimpiku dalam memori dulu
Semua asa yang berakar padamu

Entahlah
Seakan kau panduku dalam tingkah laku
Kau laksana guru yang ajari ku untuk butuh
Ilmu sudah, dirimu pun sudah

Laksana terukir dalam batu
Namamu yang takkan lenyap sekalipun aku terlelap
Pun dalam mimpi kau muncul tanpa permisi
Dan nyanyikan satu melodi

Tak pelik asaku melayang semakin tinggi
Menyebut namamu adalah refleksku
Bahkan dalam pengabulan doa

Maaf jika yang terjadi hampir serupa
Dengan doaku selama itu
Tapi yakinkah engkau akan aku
Yang selama ini terus menatapmu di kejauhan
Dan tak yakin bahkan nadi terdalamku
Untuk jadi milikmu
Hidup bersamamu rasanya
Aku tak punya harga

---
Rimie Ramadan
26.06.2011

Di sela keraguan

23 Jun 2011

Tampilan Baru : Tampakkan Jati Diriku

Liat kan background blogku sekarang? Mungkin yang belum pernah ketemu atau kenal sama aku, kuperkenalkan. Gambar mirip tulang ikan di belakang adalah tanda tangan (ikon)ku sebagai Rimie Ramadan. Dibacanya Rimie.

Asal muasal logo ini adalah ketika aku SMP. Berawal dari pengen bikin 'new signature' yang simpel dan cepat. Eh, malah kebikin buat nama penaku ini. Rimie Ramadan.

Saking mudah dan cepat, aku kesenengan menuliskannya di setiap barang yang kupunya. Mulai buku tulis, buku teks, bahkan ada juga di tasku. Sejak saat itu, tanda ini menjadi identitasku. Bahkan melebihi tandatanganku yang asli.

Sampai suatu saat, ada cerita lucu yang selalu kuingat. Masa SMAku, dimana sekolahnya berasrama dan asramanya tak begitu jauh dari sekolah.

Siang itu, kami baru mendapat buku-buku tambahan dari sekolah. Lalu saat jam makan siang kami beramai-ramai menitipkan buku itu di asrama. Sepulangnya, kami berduyun menuju tumpukan buku itu dan sibuk mencarinya. Aku sempat nyeletuk "Haduh, banyaknyoo. Mana punyaku belum dinamain lagi!"

"Bukannya udah ya Ri?" seorang fellow (sebutan guru asrama-pen.) menjawab celetukanku.

"Hah? Masa sih Miss?" Aku ingat sekali aku belum menamainya. Hanya meninggalkan tandatangan yang mirip logo IeBe itu.

"Kayanya tadi Miss liat deh ada namamu," jawab guru itu.

Lalu seorang teman memanggilku, "Ri. Ini punyamu." dia memberikannya padaku. Aku menerimanya dengan tersenyum lega dan mengecek apa benar namaku tertera. Kubolak-balik tapi tak kutemukan.

"Tuh kan miss, gak ada.."

"Ini apa?" tunjuk fellow itu pada "tulang ikan" itu. Dan itu sukses membuatku ber-O ria.

Back to the main topic. Ni background kupilih basicnya hijau. Karena sejak dulu aku emang suka warna hijau. Warna alam tepatnya. Tapi lebih dominan ke biru dan hijau. Dan sekarang lebih gandrung ke hijau.

Warna hitamnya.. emm.. biar keren aja sih. Kalo jadi desktop wallpaper kan jadi bagus. Hehe. -norak amat alasannya.

Hemm, tapi aku merasa kurang sreg sih pas diterapkan di blog. kayanya berat sebelah. Ramai di sebelah kiri. Gimana menurut kalian? Komentar doong. Hehe. Maaf kalo desainnya nyakitin mata :D

Salam hijau dalam damai :)
Rimie Ramadan
23.06.2011