Ketika kita memberi, menandakan kita ingin melihat orang
yang kita beri menjadi bahagia. Kita memberi, karena kita sayang. Kita memberi,
karena kita merasa cukup dengan apa yang dimiliki, karena itu kelebihannya kita
beri. Kita memberi, karena sadar orang yang kita beri lebih membutuhkan dari
kita, tanpa bermaksud mengangkuhkan diri bahwa kita “punya” atau meremehkan si
penerima bahwa dia “kurang”. Ketika kita memberi, kita tidak berharap imbalan
apapun melebihi sebuah senyuman.
Senyum bahagia yang membuat kita yang memberi turut merasa
bahagia, karena rasa sayang kita diterima dengan rasa syukur pada Pencipta.
Cukup pada Sang Pencipta, tak perlu kepada kita.
Cukup pada Sang Pencipta, tak
perlu kepada kita. Diulang? Ya, karena selama ini ada yang salah kaprah dalam
menerima sebuah “pemberian”. Pemberian yang tulus, ia artikan sebagai sebuah
hutang budi yang harus dibalas secara langsung, tunai. Hal ini yang justru
memutarbalikkan makna dari sebuah pemberian.
Mengartikan pemberian sebagai sebuah “suap” yang harus
dibalas agar “putih” kembali. Bahkan justru membuat sang pemberi merasa tidak
enak untuk memberi lagi di kemudian hari. Terkadang timbul rasa jengkel karena
mendapat “balasan” yang terlampau hebat. Huft, entahlah. Adek lelah, bang.
0 komentar:
Posting Komentar