Di sebuah keramaian yang menggigit telinga di sanalah Ira berada. Di hari yang panas dan sumpek begini, dia harus mondar mandir mengatur segala kegiatan. Sungguh, dia tak akan tahan. Dia nggak bakalan tahan kalau harus terjadi seumur hidupnya.
"Ira!" panggil sebuah suara. Suara yang ia kenal."Kerupuknya udah
selesai. Nih, laporannya!!!" Pemuda itu menyerahkan 3 lembar kertas.
"Oke, Ris. You did it very best!" pujinya.
Faris tersenyum."Thank you. You too!" Dia tertawa. "Kamu jangan lupa makan,lho. Ntar sakit." ada nada khawatir dalam ucapannya.
"Tenang aja. Kamu gak lihat badanku? Cadangan makananku banyak..!" Ira dan Faris tertawa bersama. Sepasang kawan lama itu terlihat mesra.
"Ya udah. Aku lihat yang lain dulu ya!" akhir Faris. Melambaikan tangannya
sekali lalu berjalan menghilang di tengah keramaian.
Kalau saja. Kalau saja tak ada Faris yang juga menjadi panitia 17an. Ia tak akan sanggup mengatur semuanya. Menjadi seorang ketua pelaksana tidaklah semudah mengedipkan mata. Semuanya begitu mendadak. Aku mendadak jadi ketua. Dan Faris mendadak dipasangkan denganku sebagai wakil ketua. ‘Faris, andai kau tahu..’ batinnya sendu.
“Ira!!” Seru Liya dan Anur bersamaan. Sontak Ira kaget. Ia menghadapkan muka ke arah suara. ‘Oh, mereka.’ Batinnya. “Hei, kok bengong sih, Ra?” lanjut Liya.
“Tau nih, bengong sendiri gak ngajak-ngajak!!” Tambah Anur.
Ira meringis. “Nggak ada apa-apa kok,” Ia tersadar. “Eh, aku ke gudang dulu ya! Lupa ngambil karungnya! Daah..”
“Lho, Ira kok pergi?” Sapa Isa dari belakang tepat saat Ira berbalik.
“Iya, Ira mau ngambil karung dulu buat lomba balap karung.” Jelas Anur.
Ira akan menolehkan wajah secepat Ira menyadari siapa yang berdialog di belakangnya. Sudah jadi rahasia umum Anur dan Isa bersaing menyukai Faris. Entah mereka saling tau atau tidak. ‘Bukan urusanku.’ Batin Ira.
‘Tapi, bagaimana denganku? Apakah aku akan terus menutup diri? Apakah itu berarti aku membohongi hatiku? Tapi, aku juga nggak mau melibatkan diri dalam pertempuran itu. Cukuplah aku bangga sebagai yang mengenalnya paling dekat.’
Sesampainya di depan pintu gudang, Ira mendaratkan tangannya di handle pintu dan membukanya. Ia melangkah beberapa jejak sebelum mendapati sebuah tubuh tergeletak di lantai. Tubuh yang sangat ia kenal. Itu adalah raga Faris.
Ira menghampiri tubuh itu. Meraih tangannya. Memeriksa denyut nadinya.
Fuuh..ketakutannya berkurang. Faris cuma pingsan. “Pasti kecapekan kamu,” lirih Ira. Ia lalu meminta bantuan untuk membawa Faris ke UKS.
Namun Ira tak bisa menemuinya. Ira harus tetap standby untuk acara-acara berikutnya.
Sementara itu di dua lorong yang berbeda, yang bermuara ke sebuah lorong dimana terlihat pintu UKS tertutup rapat, berdiri dua orang gadis di masing-masing lorong. Kedua lorong itu penuh kekhawatiran tentang pasien yang ada didalam UKS.
Di lorong pertama ada Anur dan Diva. Sangat terlihat kecemasan di wajah Anur. Diva terus berusaha membuatnya kembali ke kelas.
Di lorong kedua ada Isa dan Ita. Ita terus memegang tangan sahabatnya. Agar dia tak terlalu membicarakan Faris.
Selesai acara. Dan laporan-laporan telah berada di tangannya. Ira merasa sudah cukup melakukan tugasnya hari ini. ‘Oh, iya.’ Ira ingat akan sesuatu. Ia lalu meninggalkan tempat dia berdiri.Ira berjalan cepat menuju UKS. Tanpa memedulikan Isa yang dilewatinya. Ira langsung memeriksa suhu badan Faris. Ia demam. Ira segera memencet nomor supirnya yang lebih ia hafal daripada nomor ibunya.
“Pak, tolong jemput ke sini, ya. Oh iya! Bawa Mang Dadang juga buat ngebawa motornya Faris. Oke! Makasih ya Pak!” Ira mengembalikan pandangannya ke wajah Faris. Yang ternyata sudah bangun dan memandang ke arahnya.
Tak dipungkiri, Ira salah tingkah. Tak nyaman.
“Makasih ya, Ra.” Ucap Faris. “Sorry, aku belum bisa jaga diriku sendiri. Gimana aku bisa njagain kamu?”
‘Heh?? Bilang apa Faris tadi?? Uwaa!!’ Pipi Ira merona.
“Dasar! Lagian kamu ini! Kan ibumu udah bilang badan kamu tuh lemah, sok-sokan nggak sarapan lagi!! Gini nih, akibatnya!!” Bentak Ira sayang.
“Huhuu! Aku dimarahin lagi! Ibu, aku dimarahin Ira! Huwee..Hehe!!” goda Faris. Ira tertawa. Faris juga.
‘Sungguh, aku ingin begini saja terkecuali Dia punya rencana lain. Aku menikmati kebersamaan yang seperti ini saja. Bukan yang terlalu berlebihan. Juga yang tidak memaksa.’ Batin Ira. ‘Ya Tuhan, jika Kau punya rencana lain di ujung persahabatan kami, maka aku ikhlas. Kalaupun tidak, aku ingin ini menjadi silaturahmi persahabatan yang abadi.’ Doanya.
Sementara awan mega mulai memerah di angkasa, mobil Ira sampai di sana untuk menjemput Ira dan Faris. Meninggalkan segala yang tertinggal. Dan yang harus ditinggalkan. Hari ini. 17 Agustus 2008. Tangis, luka dan jerit. Menguapkan doa di langit yang bisu.
Cikarang, 17 Agustus 2008
^Rimie Ramadan^
0 komentar:
Posting Komentar